Lhooo Dean?
“Oh? Ya! Namanya Mary.” Dean menepuk tangannya.“Tapi aku memberikannya bukan? Aku tidak menolak atau menghancurkan. Aku ragu, tapi katanya harus, jadi aku menyetujuinya. Seharusnya bukan itu.” Dean menggeleng, menganulir karena tidak ada yang hancur dari permintaan itu.“Tidak semulus itu. Anda meminta saya menyelidiki sebelum memberi, tapi tidak jadi karena pada alamat itu sudah tidak ada apapun. Terjadi kebakaran, dan tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang tahu penghuninya kemana.” Brad menjelaskan lanjutannya, karena ingatan Dean amat kabur disana.Dean bukan merasa hal itu tidak penting, tapi memang bebannya saat itu sedang amat berat. Permintaan itu datang bersamaan saat masa kampanyenya yang pertama untuk menjadi perdana menteri. Pertama kali Dean berusaha sangat keras untuk menang.“Ah, benar. Kebakaran itu. Apa yang terjadi?” Dean lupa detail kejadian setelahnya.“Tidak ada. Saya melaporkan keadaan dan sudah. Saat saya mengatakan keadaan rumah itu pada Sir Cooper Junior, katan
“Kalian belum selesai?”Ash mengetuk dan membuka pintu kamar Amy, untuk melihat keadaan. Amy dan Mae masih duduk di teras.“Aku bilang tidak boleh masuk!” Amy memekik marah, dan melotot pada Ash“Kami harus pulang, Amy.” Ash menjelaskan sambil melambai memanggil Mae.“Kenapa begitu? Kue ku belum habis.” Amy cemberut sambil mengangkat piring kuenya yang masih tersisa separuh.“Aku sudah meminta izin dari pelatih tadi. Khusus hari ini boleh makan kue sebanyak mungkin.” Amy menghempaskan diri ke kursi dengan kecewa. Memang bisa saja memakan sisanya setelah Mae pulang, tapi tidak istimewa lagi menurut Amy.“Kau perlu izin untuk makan kue?” Ash terkejut.“Tentu saja! Kau pikir aku akan bisa melompat kalau ukuranku dua kali lipat sekarang?!” Amy membentak dengan tidak sabar karena menurutnya hal itu jelas.“Maaf, Amy. Tapi kami harus pulang. Terus terang saja, kepalaku sedikit pusing sejak tadi.” Mae menepuk pelan pipi Amy, meminta pengertian.“Pusing? Kenapa? Apa kau hamil? Temanku ada yang
“Ceria sekali.” Ash memandang Stone yang menghampiri meja tempatnya duduk. Mereka kembali bertemu di cafe, masih di dekat apartemen Ash.“Karena saya memang membawa kabar baik.” Kegembiraan dan semangatnya itu sampai membuat Stone tampak beberapa tahun lebih muda.“Kau menemukan apa?” tanya Ash, ikut bersemangat dan menyingkirkan teh pesanannya.Stone menyerahkan map yang kemarin diberikan oleh anak buahnya.“Wow!” Ash tentu saja terkejut melihat betapa banyaknya usaha yang dilakukan Mama Carol untuk mencari sumbangan.“Dia mengambil uang Mary dan masih melakukan ini?” Ash sudah tidak bisa lagi berprasangka baik pada Carol.“Dia memang memanfaatkan keadaan untuk mencari uang—semaksimal mungkin. Memetik dari aneka sumber apapun, yang sekiranya bisa menghasilkan uang akan dilakoninya.” Ash menggelengkan kepala saat membalik halaman demi halaman.“Eksploitasi. memanfaatkan keadaan untuk menghasilkan uang kata lainnya adalah eksploitasi,” kata Stone.“Dan bukan yang terburuk.” Stone memba
“Mama.” Daisy merintih memanggil, karena persediaan tabung oksigennya habis. Nafasnya sudah sesak semenjak bangun tadi, berusaha diabaikan tapi semakin buruk. Ia tadi memang tidak mengeluh karena itu Mama Carol tidak menyediakan tabung oksigen baru di samping ranjangnya.Biasanya saat persediaan menipis, Daisy langsung menyebutnya agar Mama Carol menyediakan yang baru. Tapi setelah mengetahui apa yang dilakukan Mae, Daisy memang mengurangi keluhannya. Sekarang saja kalau tidak benar-benar sesak, Daisy akan memilih menahan sakitnya, agar persediaan oksigennya tidak habis. Habis berarti memerlukan uang untuk membelinya, Daisy tidak mau memakai uang Mae.“Mama—” Karena tidak mendapat jawaban, Daisy akhirnya meraih rak obat yang ada di samping ranjangnya, menariknya agar jatuh atau menimbulkan suara keras. Lebih keras dari rintihannya sampai Mama Carol mendengar.Tapi untuk menggeser pun sudah tidak mampu, kekuatan tangannya tidak ada—terlalu lemas. Daisy akhirnya mengambil salah satu tab
“Apa… Tunggu!” Sebelum Carol bisa mencerna, sudah ada polisi wanita yang menyambar tangan dan menarik tanganya ke belakang punggung.“AW! Punggungku—Ah… Sakit!” Carol mengeluh, membungkuk dan menangis kesakitan. Berusaha menarik simpati dan berhasil, karena tangan yang mencengkram lengannya mengendur. Carol sudah hampir tersenyum, sampai terdengar bentakan berikutnya.“Jangan tertipu! Dia sangat sehat.” Polisi itu datang dengan informasi lengkap, dan tentu cengkraman itu kembali menguat dan jeritan Carol juga semakin membahana.“KALIAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI! Apa ini?!”Tidak ada yang memperdulikan tapi. Semua polisi itu bergerak dengan cekatan, sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selain yang membawa Carol ke mobil, ada sekitar lima yang masuk ke dalam rumah itu sambil membawa kardus besar.“Kumpulkan semua benda yang sekiranya menjadi bukti—sesuai briefing. Periksa setiap sudut, jangan sampai ada yang terlewat. KERJAKAN!” Salah satu polisi yang memimpin mulai memberi perintah, da
“Jangan, tarik yang ini dengan tangan kanan, lalu tahan memakai jari telunjuk. Kau tidak boleh menarik semua, atau benangnya akan kusut.”Dengan sabar, Ash menunjukkan contoh yang dimaksud agar Mae bisa mengikuti langkahnya. Mereka sedang merajut tentu. Kegiatan yang dipilih oleh Mae, karena ingin mendapatkan ketenangan—seperti yang dipromosikan Ash.Kepala Mae rasanya semakin sakit saat harus memikirkan masalah Rowena. Meski sudah punya rencana, tapi gelisahnya tetap datang. Tapi merajut sejauh ini hanya membuatnya semakin emosi. Meski Ash sudah menjelaskan dengan detail, memberi contoh, sampai memilihkan cara termudah, yang dihasilkan Mae lebih mirip gundukan benang kusut.“Aku menyerah!” Mae melemparkan hakpen dan benang ke atas meja lalu menghempaskan diri ke sofa. Berbaring miring dengan lelah.“Mungkin aku tidak berbakat, seperti kau saat menghias kotak.” Mae meraih tangan Ash yang sejak tadi duduk di samping sofa.“Bagaimana tangan ini bisa merajut tapi tidak bisa menempelkan m
“Tidak. Aku ingin melihat Daisy dulu. Aku mohon.” Mae mendahului saat melihat Stone mendekatinya, begitu mereka sampai di rumah sakit. Perjalanan mereka panjang untuk bisa sampai di rumah sakit, karena Daisy dibawa ke RS yang masih dekat dengan Bakewell.Tapi Mae selalu menolak saat Ash mencoba menjelaskan keadaan. Mae tidak merasa mampu menerima keterangan apapun saat ini. Ia lebih butuh untuk tahu keadaan Daisy daripada yang lain. Mae tahu kelemahannya sendiri setelah beberapa kali kehilangan arah saat mencoba mengelola kekacauan emosi dan keadaan yang beruntun. Ash ada di dekatnya—Mae tahu akan ada yang menjaganya, tapi Mae tidak mau melewatkan apapun karena pikirannya yang kacau. Mae lebih memilih untuk tahu satu demi satu—dan yang pertama adalah keadaan Daisy.“Nanti.” Ash memberi gelengan juga pada Stone. Mereka menaiki mobil terpisah tadi, dan sampai di rumah sakit pada saat yang hampir bersamaan.“Disana. Ms. Daisy sudah dipindahkan.” Stone memberi petunjuk dengan jari agar M
Fokus mata Mae yang tadinya bertebaran ke segala arah, akhirnya menatap warna biru yang ada persis di hadapannya. Mata biru yang selalu menjadi kepercayaannya itu, saat ini mengatakan hal aneh. Hal yang terdengar bodoh malah. Mae mendengus dan menegur akhirnya. “Kau itu bicara apa? Kau mirip sekali dengan Amy saat sedang jahil. Jangan main-main pada saat seperti ini, bukan waktunya.”Ash menggeleng. “Mary, kau pikir kenapa Stone ada di sini? Dia bukan petugas paramedis yang menjemput pasien. Stone adalah polisi, bukan paramedis. Keberadaannya seharusnya memberitahumu kalau keadaan tidak baik-baik saja bukan?” Perlahan Ash menjelaskan lagi. Ia tahu akan mengulang penjelasan itu karena tidak akan mudah diterima Mae. Ash akan mengulanginya meski ratusan kali, asalkan Mae terlepas dari ketergantungan pada Carol dan Faraday.“Tapi—” Mae menatap Stone yang menunjuk kursi di pojok—memang ada untuk keluarga pasien yang menunggu hasil tes. “Silakan,” katanya. Mengajak Mae duduk agar mereka b