Hilih si Ro, tau aja ada orang seneng :(
“Rowena Cooper? Lady Rowena Cooper istri perdana menteri?” Gina bereaksi lebih cepat dari Mae saat mendengar nama itu.“Namanya saja yang sama mungkin. Ada banyak Cooper di Inggris.” Poppy mengangkat bahu.“Tapi tidak banyak Rowena. Itu nama kuno.” Gina menggeleng, sulit percaya. Nama itu menjadi terkenal sekarang, tapi karena Rowena Cooper yang membuatnya terkenal. Nama itu sama jarangnya dengan nama Vaughn—keluarga aslinya.“Kalaupun iya, mungkin dia memang ingin membeli tempat ini saja. Untuk investasi?” Poppy membuat tebakan lain. Keluarga bangsawan memang terkenal memiliki banyak tanah. Kekayaan mereka paling umum berasal dari sana.“Bisa jadi.” Gina membenarkan.Percakapan yang tidak penting untuk Mae dan Daisy yang saat ini saling berpandangan. Mereka tahu benar siapa dan kenapa.“Maaf sekali lagi. Kami akan segera mengurus pembatalan kontrak dan ganti rugi pembatalan. Syukurlah Anda belum mengubah banyak hal.” Wanita itu memandang perubahan yang dibuat Mae di area dalam toko ya
“Kau perlu bantuan?” Dengan tongkatnya, Daisy mendekati Mae yang sejak sore tadi sibuk di dapur. Saat ini hampir tengah malam.“Tidak perlu. Sudah hampir selesai.” Mae menghapus tulisan yang dibuatnya memakai cream, lalu mengulanginya lagi.Menulis diatas kue butuh keahlian khusus, Mae butuh berlatih setelah sekian lama tidak membuat kue yang mengandung tulisan. Ia membuat kue seperti itu hanya setahun sekali tentu, untuk ulang tahun Daisy saja, tapi sudah pernah.Semua ilmu Mae datang dengan belajar sendiri, membaca dan mengikuti ratusan resep, ratusan video juga, dan tentu banyak percobaan gagal. Ilmu dan keahliannya berasal dari tekun.“Yang tadi sudah bagus. Warnanya juga cantik.” Daisy kaget saat melihat Mae menghapusnya memakai pisau palet. Mae paling tidak sudah mengulang lebih dari sepuluh kali semenjak Daisy datang.“Ini hanya latihan, aku akan membuat yang lebih bagus nanti.” Mae tersenyum sambil menyiapkan cat—cat dengan bahan yang khusus untuk makanan dan aman dikonsumsi. M
[DUA PULUH TAHUN LALU]Dean mengetukkan jari pada roda kemudi, sedikit gelisah karena menunggu tanpa kepastian. Sudah hampir satu jam ia ada di dalam mobil. Dean sudah mendapat informasi dari Carol Jobs tentang dimana Ash, tapi belum tahu apakah Ash akan mau bicara padanya.Penolakan keras Ash kemarin cukup membuatnya terguncang. Bukan tidak terduga, tapi Dean tidak menyangka Ash akan bereaksi sangat negatif. Melelahkan juga pastinya, karena di sisi lain, Dean masih harus membujuk Rowena.Kalau bisa, Dean akan memilih waktu yang lebih tepat untuk menjelaskan semua yang terjadi pada Rowena, saat semua sudah lebih tenang. Sayangnya Rowena tahu lebih cepat daripada dirinya, karena surat tentang Tillie jatuh ke tangan Rowena terlebih dulu.Mereka tidak pernah memisahkan surat masing-masing karena memang tidak ada rahasia apapun yang merasa perlu disimpan. Sekretarisnya hanya akan membawa semua surat yang datang ke ruang kerja, dan Rowena yang akan memilih sendiri surat mana untuk siapa.
Ash benci mengakuinya, tapi dirinya memang belum cukup umur. Kemarin Ash merasa mampu melakukan segalanya, akan tenang saat menghadapi situasi apapun, tapi rupanya tidak.Ash sampai tidak ingin mengingat kepanikannya tadi, terlalu malu, apalagi kalau sampai mengingat air matanya..Ash melirik ke arah Dean yang tampak bicara dengan dokter untuk mendengar keterangan tentang Mary. Itu juga yang menjadi pembedanya, dokter tidak menganggapnya cukup dewasa untuk mendengar diagnosa apapun. Ia langsung beralih saat melihat Dean tadi.“Mary akan membaik dengan cepat. Ia rupanya alergi pada serbuk sari bunga. Sudah tenang sekarang.”Dean menjelaskan, sambil menunjuk ranjang tempat Mary berada. Ia tertidur dengan mudah. Bukan hanya karena obat, tapi juga lelah menangis.“Kalau tidak ada komplikasi lain, ia bisa pulang nanti. Tidak perlu menginap.” Dean lalu menunjuk ke arah resepsionis—ke arah telepon.“Aku sudah menghubungi Carol Jobs juga dan menjelaskan semua. Aku akan bertanggung jawab atas k
“Rasanya aneh. Terlalu kebetulan.” Dean kembali menatap Mae.Mencoba mencari kemiripan antara gadis yang tercekik dan berwarna merah itu. Tapi Dean bertemu dengannya terlalu sebentar, dan memang Mae tumbuh jauh berbeda dengan Mary yang dilihatnya dulu.“Benar… kebetulan sekali.” Mae menghindari pandangan curiga Daen, mencoba terlihat normal.Mae bingung. Ia ingin mengaku, tapi Ash jelas tidak menginginkannya. Kalau Ash mau, ia pasti sudah menjelaskan pada ayahnya tentang hubungan mereka di masa lalu. Kenyataan kalau Dean saat ini masih perlu menebak-nebak, berarti membuktikan kalau Ash menyembunyikannya.Mae belum lupa kepanikan Ash saat dirinya menyebut Bakewell kemarin—tapi sampai sekarang lupa bertanya kenapa. Lalu mengingat reaksi Rowena yang sensitif dengan latar belakang, Mae tidak ingin menceritakan apapun lagi tentang masa lalunya pada keluarga Ash.“Apa…”“DADDY!”Amy yang muncul di belokan, memekik sekuat tenaga, lalu berlari dan melompat ke dalam pelukan ayahnya. Membuyarka
Ini pesta ulang tahun paling akrab yang pernah dihadirinya. Mae merayakan ulang tahunnya dengan Daisy saja—dan sebaliknya, tapi terkadang lupa karena Daisy sedang amat sakit. Ini juga pesta pertama yang bisa dinikmati Mae, karena mudah saja bersimpati pada emosi Amy yang meledak-ledak itu.Kini Amy memekik girang ketika melihat glitter ikut beterbangan saat ia meniup lilinnya. Mae memang menaburkan glitter yang juga bisa dikonsumsi di bagian bawah lilin. Jumlahnya tidak banyak, tapi karena Amy meniupnya dengan sekuat tenaga, glitter itu beterbangan, mengundang gelak tawa yang ribut khas anak pra remaja.“Daddy, aku ingin liburan ke Perancis.” Amy tiba-tiba menyebutkan keinginannya.“Bukankah seharusnya tidak boleh? Tidak akan terkabul.” Mae menyahut heran. Ia tidak percaya dengan takhayul, tapi setahunya permintaan saat meniup lilin ulang tahun harus dirahasiakan agar terkabul.“Siapa bilang? Justru aku harus mengatakannya agar terkabul.” Amy terkekeh riang sambil menatap ayahnya. Dea
“Ada apa, Ro? Kenapa kau marah?”Dean bertanya sambil menahan lengan Rowena agar tidak berjalan semakin jauh. Mereka belum sampai ke kamar—masih di dekat pintu teras samping, tapi sudah cukup jauh dari ruang tempat pesta itu.“Untuk apa kau membantunya?!” bentak Rowena sambil menyentakkan tangan Dean.“Huh? Karena memang Mae butuh bantuan?” Dean dengan heran menatap tangannya. Ia tidak merasa telah melakukan kesalahan besar sampai harus mendapat kekasaran sejauh itu.“Tidak perlu!” Rowena masih membentak.“Apa maksudmu, Ro? Ash sangat menginginkannya. Aku akan membantunya. Ini akan membuat Ash akan kembali ramah padaku.” Tujuan Dean seharusnya jelas untuk Rowena.“Selalu begitu! Apa perasaannya begitu penting untukmu?!” Rowena mendengus sambil bersedekap. Amarahnya sudah bercampur sekarang.Dean menghela napas, dan mengelus lengan istrinya dengan lebih lembut. Paham kalau amarah itu harus dilawan dengan lunak.“Ro, aku tahu ini berat untukmu, tapi aku tidak bisa tenang saat tahu Ash be
Mae membanting kemudi ke arah samping, menghindari mobil yang muncul dari belokan. Tidak kencang, Mae saja yang tidak melihat karena memang pandangannya tertutup air mata.Mae tidak peduli keadaan tapi, ia kembali menginjak gas dan mobilnya melaju lagi. Ia tidak tahu sedang ada dimana, karena memang tidak memilih ke arah mana. Mae hanya sembarangan berbelok setiap kali menemukan pertigaan atau perempatan. Ia hanya ingin menjauh, tanpa tahu juga sudah berapa lama melaju, Mae bahkan tidak menyadari kapan hari terang telah berubah gelap.“Pantas—pantas saja.”Mae bergumam sambil menghapus air matanya. Tangannya tampak gemetar, campuran dingin dan terguncang. Mae tidak sempat mengambil mantel maupun sarung tangannya saat berlari keluar tadi. Mae hanya sempat membawa ponsel karena memang ada di kantong celananya. Tasnya saja masih tertinggal, bersama dengan aneka alat dan perlengkapan membuat kue yang dibawanya tadi. Pemanas di dalam mobil cukup membantu, tapi dingin yang dirasakan Mae l
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga