Ihirrrr udah tauuu :))
“Aku ingin marah, tapi ya sudahlah. Kau memang tidak akan pernah mendengar keberatan maupun nasehat dariku,” keluh Ian.“Apa juga yang membuatmu berpikir aku akan mendengar nasehat dan keberatan darimu? Kau bukan ibuku!” desis Ash, sambil menampar kepala Ian yang muncul di bagian atas kursi kemudi.Ian mengantarnya pulang dari rumah sakit, tapi Ash tidak akan berterima kasih kalau pertolongannya dibarengi dengan omelan yang menyebalkan.“AW!” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya.“Tapi mungkin Ian ibu pengganti yang cocok untukmu. Perhatiannya padamu memang seperti seorang ibu,” sahut Mae, yang juga duduk di belakang—di samping Ash.“STOP IT! Sudah cukup aku menjadi supir kalian hari ini. Jangan menambah peran menjadi ibu juga!” sergah Ian, sambil membelokkan mobil ke gerbang mansion lalu membuka jendela agar terlihat oleh bodyguard yang langsung mengenali dan membuka gerbang.“Aku juga tidak mau. Siapa juga yang mau punya ibu laknat sepertinya?” Ash menggeleng juga.“Laknat? Aku sud
“Ya, kami tahu keadaan masih berbahaya. Kami juga tidak mencoba kembali ke Reading,” kata Ash, dengan tenang.“Good.” Rowena kembali mengangkat buku dan membaca. Pembicaraan pendek yang canggung.Mae menyenggol lengan Ash. Ia lega Rowena tampak tidak peduli atas penilain tentang rumahnya, dan menyuruh Ash untuk bertanya atau memulai pembicaraan.Memulai hal yang sebelum ini tidak pernah dilakukannya—menormalkan hubungan diantara mereka.“Mmm… Kau tidak pergi kemanapun hari ini?” tanya Ash, memaksakan diri, dan menurutnya pertanyaan itu pantas.Rowena menurunkan bukunya lagi, dengan wajah bingung. “Kau bertanya padaku?”Sangat langka, sampai ia tidak percaya.“Well, yeah. Obviously.” (Sudah jelas)Ash menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyembunyikan kecewa karena usahanya untuk tidak menjadi canggung, malah tidak dimengerti.“Oh…” Rowena masih berwajah tidak percaya, tapi mencoba menjawab. “Dean—menyuruhku beristirahat. Agak tidak sehat.”“Ah, benar. Jay mengatakan kau tidak bisa m
“Kau kurus.” Dean berkomentar dengan jujur saat melihat Carol masuk. Dean tidak memakai ruangan sipir, tapi menyamarkan kunjungannya sebagai pengacara. Brad punya cukup waktu untuk menyiapkan surat-suratnya.Memang agak lebih repot karena Dean sampai harus memakai masker dan kacamata untuk menyembunyikan diri, tapi lebih aman. Kalau sampai Stone bisa melaporkan siapa yang ditemui Carol, maka bisa jadi Randall akan mendapat laporan juga.“Anda terlihat tampan, seperti yang saya ingat dua puluh tahun lalu.” Carol tersenyum manis dan duduk dihadapan Dean.“Apa kau memakai parfum?” tanya Dean. Hidungnya tidak amat sensitif, tapi mustahil mengabaikan aroma menusuk yang dihamburkan Carol saat ia bergerak.“Oh… Salah satu teman sel saya meminjamkannya. Saya ingin memberi kesan baik. Bagaimanapun saya akan bertemu dengan tokoh terhormat hari ini.” Carol tampak menyelipkan rambut ikalnya yang kelabu ke belakang telinga.Mata Dean langsung menyipit. Ia tidak ingin berpikir sejauh itu, tapi gera
“Ulangi.” Dean meminta pengulangan bukan tidak paham, tapi mengulur waktu agar bisa berpikir.“Mungkin ini sedikit mengejutkan untuk Anda dan tidak masuk akal, tapi percayalah. Saya punya informasi yang bisa menjatuhkan Sir Monroe.”Carol lalu tampak menunduk lagi dan menangis.“Saya bukan ingin berniat buruk atau mengadu. Tapi saya ingin sedikit keadilan untuk salah satu anak asuh saya yang tersakiti. Sir Monroe telah melakukan hal yang buruk kepadanya. Dulu kami tidak bisa melakukan apapun karena kekuasaannya, karena itu saya meminta tolong pada Anda, agar anak asuh saya ini mendapat keadilan.”Dean sampai berpura-pura batuk karena harus menutupi tawa tergelak. Usaha Carol untuk membuat dirinya tampak mulia tentulah pernyataan yang paling menggelikan diantara semua yang dilakukan Carol sejak tadi.Carol berusaha memperbaiki karakternya dengan menjadi tidak egois, dan menyebut kalau apa yang dilakukannya saat ini untuk orang lain.“Anak asuh ini—”“Namanya Mary Gardner. Dia sekarang
Kalau Carol sampai menghubunginya—orang yang selama ini dianggapnya menyeramkan, itu berarti tidak ada jalan lain. Perundingannya dengan Randall amat gagal intinya.“Katakan di mana, atau aku akan pergi dan kau tidak akan mendapatkan apa-apa,” desak Dean sambil berdiri dan mengancingkan jas—menggertak.“Akan saya katakan.” Carol memang tidak punya jalan lain memang. “Ada di rumah sakit Faraday. Data itu tidak ikut disita, karena Mary tidak terdaftar sebagai pasien Faraday. Pasti masih ada disana, karena gedungnya belum laku,” kata Carol. Kalau tahu akan berguna, Carol pasti menyimpannya dengan lebih baik. “Visum itu ada diantara file lama di gudang rumah sakit.” Carol memberi detail lebih.Faraday menceritakan dengan cukup jelas bagaimana polisi membawa semua file yang mengandung namanya. Tapi file Mae sama sekali tidak tertulis namanya, karena itu pasti selamat. “Oke. Aku akan memeriksanya.” Dean mengangguk dengan amat puas.“Tunggu, Sir. Bagaimana—”Karena sejak tadi Carol menampi
“Itu… Ya, kami sudah tahu siapa.” Dean bergumam lalu sedikit memaksa Ash untuk masuk ke mobil. Mendorongnya dengan paksa karena Ash mulai marh dan memberontak.“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?!” Sasaran amarah pertama Ash tentu saja Stone yang kini ikut duduk di depan bersama Brad yang langsung menjalankan mobil. “Karena saya ingat bagaimana Dexter Jones hampir mati dua kali di tangan Anda setelah menyakiti Mrs. Cooper.” Stone dengan tenang menjawab, sementara Ash mendesis.Stone salah tentu. Ash tiga kali hampir membunuh Dexter. Stone tidak mengetahui yang kedua. Tapi penjelasan itu cukup untuk membuat Ash paham. Stone bisa dan mungkin pernah membunuh penjahat, tapi ia polisi, dan solusi pertama yang diinginkannya tentu menangkap penjahat, bukan membunuhnya.“Aku juga tidak setuju kau langsung membunuhnya. Aku mengerti seperti apa pekerjaanmu, tapi selama ini bukan pekerjaan aku tidak mengizinkanmu membunuh, dan kau harus patuh. Aku mungkin bukan Parker—atau Jenderal Posey, t
“Ash katanya harus pergi ke suatu tempat.”Dean menjelaskan sebelum diminta saat melihat Mae menjulurkan kepala untuk memeriksa siapa yang ada di balik punggungnya saat mereka bertemu di lorong. Dean baru saja kembali dan hanya ada Brad yang mengikuti.“Oh.” Mae yang memang mencari Ash, langsung mundur dan sedikit malu karena begitu mudahnya terbaca.“Kalau begitu, permisi.” Mae akan kembali ke kamar Ash. Ia keluar bukan khusus mencari Ash sebenarnya, tapi untuk mengambil botol minum di dapur.“Apa kau sudah makan malam?” tanya Dean, menghentikan langkah Mae.“Mmm… belum.” Meski sudah sedikit terlambat, Mae berencana menunggu Ash sebenarnya.“Makanlah bersama aku dan Ro. Ash mungkin masih agak lama kembali. Dia bersama Louis, jadi kau tidak perlu khawatir.” Dean melambai, meminta Mae mengikutinya.Mae tidak punya pilihan menolak, karena Dean juga sudah melangkah ke arah ruang makan.Rowena yang sudah duduk, terlihat kaget melihat Mae, tapi tidak berkomentar. “Malam, Ro. Apa keadaanmu
“Aku sebenarnya perlu bertemu Mae untuk tahu dengan pasti. Dari cerita itu, sepertinya Mae mengalami sedikit kemunduran.” Lynch membahas bagian di mana Mae sangat shock sampai tidak mengenali sekitar setelah bertemu dengan Randall.“Aku belum bertanya, tapi menurutmu?” Ash tidak tahu apakah bisa membujuk Mae untuk menemui Lynch.“Kalau menurut pembicaraanku terakhir dengannya, Mae tidak akan mau. Dia sudah tidak lagi menganggap aku sebagai dokternya. Bukan hal yang negatif, Mae sudah merasa baik-baik saja saat itu. Tapi ini juga membuatnya akan lebih sulit untuk menemuiku.” Pendapat Lynch juga masih sama. “Masalah utama Mae adalah ketakutan. Pria itu menanamkan kebencian pada Mae, tapi yang paling parah adalah ketakutan. Mae membencinya— sampai tidak ingin mengingatnya, tapi sekaligus sangat takut sampai tidak bisa menghadapi ingatannya.”“Jadi tidak bisa?” Ash bertanya dengan ada kecewa yang tidak bisa ditutupi.Lynch mengangkat bahu dengan kekecewaan yang sama. Ia tentu ingin memban