Wkwkwk pinter Dean
Kalau Carol sampai menghubunginya—orang yang selama ini dianggapnya menyeramkan, itu berarti tidak ada jalan lain. Perundingannya dengan Randall amat gagal intinya.“Katakan di mana, atau aku akan pergi dan kau tidak akan mendapatkan apa-apa,” desak Dean sambil berdiri dan mengancingkan jas—menggertak.“Akan saya katakan.” Carol memang tidak punya jalan lain memang. “Ada di rumah sakit Faraday. Data itu tidak ikut disita, karena Mary tidak terdaftar sebagai pasien Faraday. Pasti masih ada disana, karena gedungnya belum laku,” kata Carol. Kalau tahu akan berguna, Carol pasti menyimpannya dengan lebih baik. “Visum itu ada diantara file lama di gudang rumah sakit.” Carol memberi detail lebih.Faraday menceritakan dengan cukup jelas bagaimana polisi membawa semua file yang mengandung namanya. Tapi file Mae sama sekali tidak tertulis namanya, karena itu pasti selamat. “Oke. Aku akan memeriksanya.” Dean mengangguk dengan amat puas.“Tunggu, Sir. Bagaimana—”Karena sejak tadi Carol menampi
“Itu… Ya, kami sudah tahu siapa.” Dean bergumam lalu sedikit memaksa Ash untuk masuk ke mobil. Mendorongnya dengan paksa karena Ash mulai marh dan memberontak.“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?!” Sasaran amarah pertama Ash tentu saja Stone yang kini ikut duduk di depan bersama Brad yang langsung menjalankan mobil. “Karena saya ingat bagaimana Dexter Jones hampir mati dua kali di tangan Anda setelah menyakiti Mrs. Cooper.” Stone dengan tenang menjawab, sementara Ash mendesis.Stone salah tentu. Ash tiga kali hampir membunuh Dexter. Stone tidak mengetahui yang kedua. Tapi penjelasan itu cukup untuk membuat Ash paham. Stone bisa dan mungkin pernah membunuh penjahat, tapi ia polisi, dan solusi pertama yang diinginkannya tentu menangkap penjahat, bukan membunuhnya.“Aku juga tidak setuju kau langsung membunuhnya. Aku mengerti seperti apa pekerjaanmu, tapi selama ini bukan pekerjaan aku tidak mengizinkanmu membunuh, dan kau harus patuh. Aku mungkin bukan Parker—atau Jenderal Posey, t
“Ash katanya harus pergi ke suatu tempat.”Dean menjelaskan sebelum diminta saat melihat Mae menjulurkan kepala untuk memeriksa siapa yang ada di balik punggungnya saat mereka bertemu di lorong. Dean baru saja kembali dan hanya ada Brad yang mengikuti.“Oh.” Mae yang memang mencari Ash, langsung mundur dan sedikit malu karena begitu mudahnya terbaca.“Kalau begitu, permisi.” Mae akan kembali ke kamar Ash. Ia keluar bukan khusus mencari Ash sebenarnya, tapi untuk mengambil botol minum di dapur.“Apa kau sudah makan malam?” tanya Dean, menghentikan langkah Mae.“Mmm… belum.” Meski sudah sedikit terlambat, Mae berencana menunggu Ash sebenarnya.“Makanlah bersama aku dan Ro. Ash mungkin masih agak lama kembali. Dia bersama Louis, jadi kau tidak perlu khawatir.” Dean melambai, meminta Mae mengikutinya.Mae tidak punya pilihan menolak, karena Dean juga sudah melangkah ke arah ruang makan.Rowena yang sudah duduk, terlihat kaget melihat Mae, tapi tidak berkomentar. “Malam, Ro. Apa keadaanmu
“Aku sebenarnya perlu bertemu Mae untuk tahu dengan pasti. Dari cerita itu, sepertinya Mae mengalami sedikit kemunduran.” Lynch membahas bagian di mana Mae sangat shock sampai tidak mengenali sekitar setelah bertemu dengan Randall.“Aku belum bertanya, tapi menurutmu?” Ash tidak tahu apakah bisa membujuk Mae untuk menemui Lynch.“Kalau menurut pembicaraanku terakhir dengannya, Mae tidak akan mau. Dia sudah tidak lagi menganggap aku sebagai dokternya. Bukan hal yang negatif, Mae sudah merasa baik-baik saja saat itu. Tapi ini juga membuatnya akan lebih sulit untuk menemuiku.” Pendapat Lynch juga masih sama. “Masalah utama Mae adalah ketakutan. Pria itu menanamkan kebencian pada Mae, tapi yang paling parah adalah ketakutan. Mae membencinya— sampai tidak ingin mengingatnya, tapi sekaligus sangat takut sampai tidak bisa menghadapi ingatannya.”“Jadi tidak bisa?” Ash bertanya dengan ada kecewa yang tidak bisa ditutupi.Lynch mengangkat bahu dengan kekecewaan yang sama. Ia tentu ingin memban
“Aku pikir kau sudah tidur.” Ash memandang Mae yang perlahan berdiri dari kursi dan menghampirinya. Ash baru saja kembali dari Bakewell.“Bagaimana aku bisa tidur kalau kau tidak memberiku kabar sama sekali.” Mae mendesis, lalu menusukkan telunjuk tepat dimana balutan perban Ash berada. Sangat sengaja.“AW!” Ash berteriak berlebihan.“Kau harusnya beristirahat! Kenapa malah pergi dan tidak mengabarkan apapun padaku?” Mae melipat tangannya di depan dada dan memandang Ash yang sedang tersenyum dengan mata menyipit. Berusaha keras menutupi rasa lega, karena sejak tadi memang Mae menunggu dalam keadaan jengkel.“Maaf, tapi ini mati.” Ash menunjukkan ponselnya yang memang mati total dan retak. Bukan karena habis daya, tapi ikut terbentur saat tertabrak kemarin. “Ck!” Mae mendesah, tidak bisa marah lagi kalau seperti itu.“Lalu kau kemana? Apa menemui wanita lain?” Mae dengan cepat mencari sumber keributan agar kejengkelannya bertahan, meski alasannya paling absurd.Ash tergelak sambil me
“Lalu kapan ayahmu akan melakukannya?” tanya Ian. “Katanya beberapa hari lagi. Aku tidak amat tahu. Aku disuruh menunggu saja.” Ash mengeluh sambil mengangguk untuk membalas salah satu anak buahnya yang baru berpapasan dan memberi hormat.Ash baru saja meninggalkan kantornya untuk pulang. Baru dua hari ini ia kembali bertugas secara aktif.“Apa yang akan dilakukannya?” Ian juga penasaran.“Entah.” Ash juga tidak amat tahu.“Misterius sekali ayahmu.” “Memang. Aku harap saja ia berhasil. Kalau tidak…”Ash menggantung kalimatnya, tapi Ian cukup paham dan menyeringai. “Aku sudah mencicil sedikit informasi, dan cukup menghafal dimana tempat tinggal yang menjadi tempatnya tidur—rumah di dekat Harrow. Ada orang yang selalu mendampinginya, tapi tidak terlihat amat bisa melawan kalau kita mendekat.”Ian mendadak terdengar sangat efisien, dan serius. Ia tidak bermain-main kalau soal rencana seperti ini.“Randall Monroe orang yang sangat sibuk. Ia tidak kalah sibuk dengan ayahmu dan Lady Rowen
“Ah, perusak acara sudah kembali.”Amy mengeluh dengan jelas dan keras saat melihat Ash berjalan masuk ke dapur, dan dikhawatirkan akan mengganggu acaranya dengan Mae.Mereka sedang membuat kue bersama—Mae yang membuat, Amy yang mengacaukan tepatnya.Terlihat paling berantakan karena pipinya tercoreng tepung dan tangannya berwarna pink terkena pewarna, tapi sumbangan pekerjaan yang dilakukan Amy tidak lebih dari menimbang bahan dan menuang adonan ke dalam loyang.“Kau ingin aku pergi atau bagaimana? Kau boleh melupakan tentang Paris itu juga tapi.” Ash mengancam sambil tersenyum manis.“Jangan begitu!” Amy menjerit sambil menggeleng. Kalah dengan mudah kali ini, karena selain Ash, ia tidak punya siapapun untuk membawanya berlibur. Kedua orang tuanya tidak mungkin punya waktu mengajaknya berlibur beberapa bulan ini.Mae yang sedang mengatur suhu oven, terkekeh mendengar pertengkaran itu. Jenis pertengkaran mereka berbeda dengan Ash saat bersama Daisy—Amy tidak mungkin mengumpat dan Ash
“Aku ingin melanjutkan pembicaraan itu—tentang monster itu.” Ini bukan pertama kali Ash mengangkat masalah itu. Ash kemarin mencoba saat Mae terlihat santai dan gembira. Memang sengaja memilih keadaan di mana Mae terlihat paling tidak terbebani, tapi reaksi Mae sama seperti sekarang. Langsung mengalihkan pandangan dan menjauh.“Mary…”“Tidak mau. Untuk apa?!” Mae menggeleng sambil mengusap lengannya. Sedikit saja bahasan, sudah cukup untuk membuat bulu halusnya berdiri karena takut.“Mary…”“Jangan memanggilku dengan nama itu!” sergah Mae, sambil mengusap telinganya. Kembali menjadi sensitif dengan nama itu, karena teringat pada Monroe. “Aku sengaja memanggilmu dengan nama itu karena aku ingin membuatmu tahu kalau nama itu tidak harus berarti teror,” kata Ash, sambil kembali meraih tangan Mae, menggenggam dan mengusap lembut.Mae tidak lagi tampak takut, karena bingung. Selama ini tentu ia mengira Ash memanggilnya dengan ‘Mary’ karena memang lebih menyukai nama itu—atau mungkin karen