Dua ya :)) Sore satu
“Aku sebenarnya perlu bertemu Mae untuk tahu dengan pasti. Dari cerita itu, sepertinya Mae mengalami sedikit kemunduran.” Lynch membahas bagian di mana Mae sangat shock sampai tidak mengenali sekitar setelah bertemu dengan Randall.“Aku belum bertanya, tapi menurutmu?” Ash tidak tahu apakah bisa membujuk Mae untuk menemui Lynch.“Kalau menurut pembicaraanku terakhir dengannya, Mae tidak akan mau. Dia sudah tidak lagi menganggap aku sebagai dokternya. Bukan hal yang negatif, Mae sudah merasa baik-baik saja saat itu. Tapi ini juga membuatnya akan lebih sulit untuk menemuiku.” Pendapat Lynch juga masih sama. “Masalah utama Mae adalah ketakutan. Pria itu menanamkan kebencian pada Mae, tapi yang paling parah adalah ketakutan. Mae membencinya— sampai tidak ingin mengingatnya, tapi sekaligus sangat takut sampai tidak bisa menghadapi ingatannya.”“Jadi tidak bisa?” Ash bertanya dengan ada kecewa yang tidak bisa ditutupi.Lynch mengangkat bahu dengan kekecewaan yang sama. Ia tentu ingin memban
“Aku pikir kau sudah tidur.” Ash memandang Mae yang perlahan berdiri dari kursi dan menghampirinya. Ash baru saja kembali dari Bakewell.“Bagaimana aku bisa tidur kalau kau tidak memberiku kabar sama sekali.” Mae mendesis, lalu menusukkan telunjuk tepat dimana balutan perban Ash berada. Sangat sengaja.“AW!” Ash berteriak berlebihan.“Kau harusnya beristirahat! Kenapa malah pergi dan tidak mengabarkan apapun padaku?” Mae melipat tangannya di depan dada dan memandang Ash yang sedang tersenyum dengan mata menyipit. Berusaha keras menutupi rasa lega, karena sejak tadi memang Mae menunggu dalam keadaan jengkel.“Maaf, tapi ini mati.” Ash menunjukkan ponselnya yang memang mati total dan retak. Bukan karena habis daya, tapi ikut terbentur saat tertabrak kemarin. “Ck!” Mae mendesah, tidak bisa marah lagi kalau seperti itu.“Lalu kau kemana? Apa menemui wanita lain?” Mae dengan cepat mencari sumber keributan agar kejengkelannya bertahan, meski alasannya paling absurd.Ash tergelak sambil me
“Lalu kapan ayahmu akan melakukannya?” tanya Ian. “Katanya beberapa hari lagi. Aku tidak amat tahu. Aku disuruh menunggu saja.” Ash mengeluh sambil mengangguk untuk membalas salah satu anak buahnya yang baru berpapasan dan memberi hormat.Ash baru saja meninggalkan kantornya untuk pulang. Baru dua hari ini ia kembali bertugas secara aktif.“Apa yang akan dilakukannya?” Ian juga penasaran.“Entah.” Ash juga tidak amat tahu.“Misterius sekali ayahmu.” “Memang. Aku harap saja ia berhasil. Kalau tidak…”Ash menggantung kalimatnya, tapi Ian cukup paham dan menyeringai. “Aku sudah mencicil sedikit informasi, dan cukup menghafal dimana tempat tinggal yang menjadi tempatnya tidur—rumah di dekat Harrow. Ada orang yang selalu mendampinginya, tapi tidak terlihat amat bisa melawan kalau kita mendekat.”Ian mendadak terdengar sangat efisien, dan serius. Ia tidak bermain-main kalau soal rencana seperti ini.“Randall Monroe orang yang sangat sibuk. Ia tidak kalah sibuk dengan ayahmu dan Lady Rowen
“Ah, perusak acara sudah kembali.”Amy mengeluh dengan jelas dan keras saat melihat Ash berjalan masuk ke dapur, dan dikhawatirkan akan mengganggu acaranya dengan Mae.Mereka sedang membuat kue bersama—Mae yang membuat, Amy yang mengacaukan tepatnya.Terlihat paling berantakan karena pipinya tercoreng tepung dan tangannya berwarna pink terkena pewarna, tapi sumbangan pekerjaan yang dilakukan Amy tidak lebih dari menimbang bahan dan menuang adonan ke dalam loyang.“Kau ingin aku pergi atau bagaimana? Kau boleh melupakan tentang Paris itu juga tapi.” Ash mengancam sambil tersenyum manis.“Jangan begitu!” Amy menjerit sambil menggeleng. Kalah dengan mudah kali ini, karena selain Ash, ia tidak punya siapapun untuk membawanya berlibur. Kedua orang tuanya tidak mungkin punya waktu mengajaknya berlibur beberapa bulan ini.Mae yang sedang mengatur suhu oven, terkekeh mendengar pertengkaran itu. Jenis pertengkaran mereka berbeda dengan Ash saat bersama Daisy—Amy tidak mungkin mengumpat dan Ash
“Aku ingin melanjutkan pembicaraan itu—tentang monster itu.” Ini bukan pertama kali Ash mengangkat masalah itu. Ash kemarin mencoba saat Mae terlihat santai dan gembira. Memang sengaja memilih keadaan di mana Mae terlihat paling tidak terbebani, tapi reaksi Mae sama seperti sekarang. Langsung mengalihkan pandangan dan menjauh.“Mary…”“Tidak mau. Untuk apa?!” Mae menggeleng sambil mengusap lengannya. Sedikit saja bahasan, sudah cukup untuk membuat bulu halusnya berdiri karena takut.“Mary…”“Jangan memanggilku dengan nama itu!” sergah Mae, sambil mengusap telinganya. Kembali menjadi sensitif dengan nama itu, karena teringat pada Monroe. “Aku sengaja memanggilmu dengan nama itu karena aku ingin membuatmu tahu kalau nama itu tidak harus berarti teror,” kata Ash, sambil kembali meraih tangan Mae, menggenggam dan mengusap lembut.Mae tidak lagi tampak takut, karena bingung. Selama ini tentu ia mengira Ash memanggilnya dengan ‘Mary’ karena memang lebih menyukai nama itu—atau mungkin karen
“Aku rasa itu untuk besok saja. Timbangan kalori yang kemarin saja belum aku habiskan.” Ash meletakkan tumpukan cookies menggunung yang baru saja dibawa Mae ke tengah meja makan. Bukan kebiasaannya menolak apa yang diberikan Mae, tapi yang ini harus.Cookies lemon buatan Mae masih tampak lezat dan menggiurkan seperti biasa. Kalau memungkinkan Ash akan mengambil sepuluh keping lagi, tapi ia tahu benar hitungan kalorinya sudah melewati batas untuk sarapan hari ini—dan juga beberapa hari sebelumnya. Sekali atau dua kali mungkin tidak masalah, tapi kelebihan itu sudah berlangsung paling tidak satu minggu ini, karena Mae selalu menyediakan kue setiap hari sekarang—bahkan termasuk roti tawar dan sourdough.Yang dilakukan Mae selama ada di rumah itu kurang lebih setiap hari adalah membuat kue. Jenis apapun dan jumlahnya banyak.“Aku setuju. Bukan tidak lezat, tapi aku akan memerlukan jam tambahan untuk berolahraga kalau memakannya lagi.”Dean yang baru saja menyelesaikan sarapannya juga iku
Dean turun dari mobil didampingi Brad seperti biasa, dan rombongan RaSP langsung mengelilinginya. Acara di hadapan publik seperti ini memang selalu membutuhkan pengawalan ekstra.“Terima kasih atas kedatangannya.”Dean tersenyum dan melambai pada calon penonton yang memenuhi area depan gedung tempat acara debat malam ini. Mereka masih di luar karena acara belum akan dimulai.Dean tentu mendekati rombongan orang yang jelas adalah pendukungnya—membawa poster dan meneriakkan namanya, jumlahnya lebih banyak dari pendukung peserta lain. Ia lalu menjabat beberapa tangan yang terulur. Tak lupa sambil berterima kasih berulang kali untuk masing-masing tangan. Ia tidak akan meninggalkan keramahan meski beberapa tangan bersemangat itu nyaris menampar dan mencakar wajahnya.“Tolong jangan terlalu kasar. Mereka tidak sengaja.” Dean bahkan menegur saat pengawalnya mulai dengan tegas mendorong pendukungnya agar mundur. Intinya, penampilan Dean tidak tercela.Dean melambai untuk terakhir kalinya sebe
“Acara apa?” tanya Mae, dengan amat heran.Ash baru saja mengusulkan hal yang menurutnya aneh, yaitu menonton televisi. Kegiatan yang belum pernah mereka lakukan secara khusus. Beberapa kali mereka menghabiskan waktu di depan televisi yang menyala, tapi tidak pernah dengan serius mengikuti acara.Kini Ash tiba-tiba mengajaknya pindah ke ruang tengah di mana televisi besar berada, dan duduk di sana.“Acara perdebatan ayahku akan dimulai. Aku ingin menontonnya.” Ash menghidupkan televisi sementara Mae tertawa geli. “Aku tidak pernah menyangka akan ada hari di mana kau akan begitu mendukung apapun yang dilakukan oleh ayahmu.” Selain geli, Mae juga takjub. Ini pertama kali Ash rela memperlihatkan dukungan.“Bukan itu saja sebenarnya. Aku ingin melihat kehancuran seseorang,” kata Ash.“Apa kau baru saja ingin ayahmu kalah?” Mae lebih terkejut lagi. Mengira kalau yang dimaksud Ash adalah Dean. Tapi itu terlalu kejam, seharusnya hubungan mereka sudah semakin baik.“Bukan, Mary.” Ash masih m
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga