Maura dan Aira kembali ke rumah Ferdi untuk mengambil barang-barangnya dengan diantar Galang. Kebetulan, Ferdi ternyata sudah pulang dari restoran dengan alasan sakit.Padahal tidak, tapi ia tidak sengaja mendapatkan informasi dari Gina kalau Maura akan segera meninggalkannya. Dengan penuh emosi, ia pun pulang ke rumah dan menunggu kedatangan Maura."Tak akan kubiarkan dia hidup bahagia setelah berpisah denganku," ucapnya geram. "Pokoknya aku akan membuat mereka menderita." tekannya lagi."Siapa yang akan kau buat menderita?" suara Dafi terdengar menggelegar.Ternyata Muara, Aira, Dafi, dan orang-orangnya sudah sampai di rumah Ferdi, memang murni rumahnya.Maura tidak campur tangan sedikit pun.Ferdi langsung bangkit ketika mendengar suara yang sangat dikenalinya itu. "Mas!"
Maura sontak kaget dengan apa yang baru saja di dengarnya dari bibir Dafi, sementara Aira merasa kalau yang dikatakan laki-laki itu benar.Ia tak pernah merasakan dekat jika sedang bersama Zen, seolah laki-laki itu juga sama seperti papanya, hanya saja semua sifat papanya terlihat. Sementara Zen tidak.Ada banyak keraguan dalam hatinya, jika dibandingkan, sudah pasti Dafi lebih unggul.Di mata Aira, Dafi sudah tentu lebih kaya dari mamanya dan berani dalam mengambil langkah, sekali bertindak, ia dan mamanya pun langsung keluar dari masalah.Sementara Zen masih belum dipastikan, selama ini hanya menjanjikan kita agar mereka berdua untuk keluar dari masalah, tapi tak ada yang berhasil."Em, tidak. Aku dan Zen sudah lama saling mencintai." Maura berucap jujur.Dafi menghela napas berat. "Zen? Namanya Abdul
Gina yang mendengarnya kabar Ferdi--lelaki yang sudah menjadi incarannya untuk dijadikan mangsa menjadi miskin dan tidak bisa diandalkan, langsung menarik diri untuk berhubungan lagi dengannya."Papa ini bagaimana sih, katanya nenek tua itu sudah sepakat untuk membantu. Tapi mana, yang ada kita kacau." Gina terus saja menyalahkan orang tuanya.Mengingat Ferdi adalah laki-laki yang sangat mudah ditipu dan dijebak, Gina sangat yakin kalau dirinya akan mendapat keuntungan yang besar darinya. Namun, semuanya menjadi kandas.Hanya ada satu orang di balik hancurnya rencana, yaitu Kadafi. Anak satu-satunya dari Pak Galang."Mana Papa tahu kalau nenek tua itu akan struk begitu saja. Mana gak bisa ngomong lagi." Pak Gunawan juga sama kesalnya dengan Gina, kecuali Bu Neni--ibunya. Ia sangat tidak nyaman kalau kekayaan yang didapat suami dan anaknya hasi
PoV Maura"Mama sudah tahu, ya?" Aira menatapku kesal sambil menatap ponsel yang menunjukkan video Zein.Aku sebenarnya sudah tahu bagaimana sifat Zein. Namun masih belum berani membongkar, karena masih belum punya bukti. Makanya gak kaget.Aku hanya tersenyum menanggapi."Mamamu tidak sebodoh itu, Aira. Kalau iya, mana mungkin selama ini bisa bertahan dari laki-laki bernama Zein ini." Dafi terkekeh.Selama ini aku memilih bungkam sambil menyelidiki siapa yang akhir-akhir ini ditemui oleh Zein. Dekat hanya untuk tahu siapa wanitanya dan apa rencana mereka.Ternyata benar, Zein-lah yang selama ini melaporkan apa yang terjadi pada keluargaku kepada Gina, dan beberapa orang lainnya.Mereka berkomplot untuk membuatku jatuh.Gina--per
Ketiga orang yang sedang menyamar itu langsung menjauh sesuai instruksi dari Dafi, tentu saja dengan hati yang sangat bahagia.[Jangan biarkan satu orang pun lolos, Daf. Aku menginginkan semuanya ada di balik jeruji besi.] balas Maura setelah posisi mereka aman."Wah, semoga saja mereka berdua gak keburu kabur ya, Ma." Aira berucap tiba-tiba."Kalau kabur, ya tangkap lagi." Pak Yuda menimpali."Benar, biar Pak Yuda yang menangkap mereka." Maura berpura-pura tenang, padahal hatinya masih belum plong, karena Dafi belum memberikannya kabar baik."Tidak. Sudah ada Pak Dafi, saya tak usah melakukan hal yang berat-berat. Cukup Maura bahagia saja." Pak Yuda mengusap butiran air mata yang keluar dari matanya."Mama pasti bahagia, Pak. Walaupun tidak, dunia ini memang bulan akhir seg
Daripada meladeni perkataan bapak tua yang sedang ada di hadapanku ini, belum lagi perkataannya yang melantur, aku memilih untuk menjauh dari lingkungan sini dan mencari tempat yang nyaman untuk tinggal dengan kondisi keuangan yang seadanya.Maura sudah membuatku seperti ini, tapi aku tak bisa membalasnya karena ada Dafi. Andai saja sepupuku yang sok pahlawan itu menjauh, mungkin aku lebih leluasa untuk bertindak, dan gak akan hidup susah begini."Arghhh!" Aku berteriak beberapa kali di pinggiran jalan yang biasanya tak pernah kutoleh. Mana ada orang kaya yang biasa bawa mobil mewah mampir di jalanan yang biasa dihuni para pengamen, pasti gak ada, dan gak sudi. Termasuk aku."Mas-mas!" panggil seorang laki-laki yang terlihat seperti gelandang."Jangan panggil-panggil saja. Kamu gak cocok." cibirku dengan ketus.&nb
Sudah ada puluhan kali Ferdi menghubungi nomor Pak Rohidin, tapi jawabannya sama. "Nomor yang anda tuju, sedang berada di luar jangkauan. Silakan tunggu beberapa saat lagi."Padahal jelas-jelas kemarin sekali telpon langsung dijawab dengan cepat, jauh dari kata gak aktif ponselnya, karena kontrakannya masih belum laku. Kalau sekarang, ponselnya sudah kembali dimatikan.Ferdi bergegas keluar dari kamar itu dan mendatangi tetangga yang jaraknya lumayan untuk dibilang tetangga."Permisi, Bu, Ibu." Ferdi berbicara sesopan mungkin, ia tidak mau kalau ibu-ibu itu sama sekali tidak membantunya karena sifatnya yang di anggap terlalu sombong."Iya, Pak. Ada Apa?" Ibu-ibu yang sedang berkumpul pun langsung menghampiri Ferdi. "Apa Pak Rohidin tak bisa dihubungi?" tanya salah satu dari mereka.Ferdi hanya mengangguk. Ia
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap
MauraHari ini semua ruangan di rumah besar ini dipenuhi bunga untuk menyambut kedatangan Mas Ferdi dengan Syahira. Mereka baru menikah tadi sore dan langsung dibawa ke sini. Meksipun rumah ini milik orang tuanya Mas Ferdi, tapi Mas Dafi punya andil besar. Bisa dibilang kepemilikannya dibagi dua.Meksipun masih muda, Mas Dafi memang ahli dalam berwirausaha sehingga sukses di usia yang begitu muda, dan punya aset banyak. Awalnya aku juga kaget, tapi Mas Dafi memintaku untuk membiasakan diri. Ya sudahlah, toh dia memang bukan lelaki biasa."Kok, diam di sini? Orang-orang sudah ada di sana untuk menyambut pengantin tahu?" Mas Dafi menepuk pelan bahuku. "Apa jangan-jangan kamu cemburu melihat mereka bersama?" tebaknya."Ngaco!" Aku bangkit dari duduk dan menatapnya tajam. "Siapa yang bilang cemburu barusan? Jangan-jangan Mas yang cemburu kalau nanti menatapnya?" godaku sambil menahan
FerdiAku tahu kalau mereka dekat, hanya saja aku benar-benar tidak tahu kedekatan hubungan mereka seperti ini. Dia bahkan mampu melewati aku begitu saja yang selama ini selalu sholat dan sekasur dengannya demi untuk menghampiri Dafi.Bukan apa-apa, aku takut nanti dia juga bisa mengkhianati Dafi.Maura tiba-tiba mendekat dengan Aira ke arahku. "Tidak apa, biarkan saja mereka. Katanya ada banyak hal penting yang harus dibicarakan," ucapnya dingin."Iya, Papa, mereka itu sudah seperti bumbu dapur dan masakan, tidak akan terpisahkan. Kalau pun bisa, maka dua-duanya akan menjadi tidak berguna," jelas Aira membuatku mengerti kalau aku hanya salah faham."Oh, oke. Baiklah. Maaf kalau barusan aku sudah salah sangka," pamitku dan mengajak Aira bermain bersama.&n
Dafi***Ada rasa aneh ketika melihat Aira memeluk Ferdi, padahal dia adalah ayahnya sendiri. Hanya saja ada yang sakit di hatiku ini karena kedekatan mereka. Apalah jika mengingat dulu Ferdi memperlakukan mereka dengan sangat buruk, rasanya hatiku seperti disayat-sayat."Lihat, sekarang anak tirimu sudah kembali kepada ayahnya." Tante Rena mulai menjadi kompor untukku dan Aira."Wajarlah, dia ayah kandungnya." Aku bicara santai dan menampilkan senyuman yang begitu indah.Meskipun hatiku sakit, tapi aku tidak ingin kelemahanku diketahui oleh orang lain. Toh, memang wajar mereka dekat, namanya juga ayah dan anak. Justru di sini akulah yang orang luar."Aku bangga padamu, Mas," ucap Maura setengah berbisik.Tadinya
PoV FerdiAtas bantuan Furqon dan jalan hidup yang telah Allah takdirkan untukku, kini aku sudah kembali ke jalan yang insyaAllah diridhoi Allah.Meksipun aku sudah diajak Mama dan Papa untuk kembali ke rumah besar, entah kenapa aku enggan untuk pergi. Rasanya lebih baik tinggal di dalam kesederhanaan daripada kemewahan yang tidak bisa membuatku tersenyum.Andai saja Muara masih menjadi istriku, tentu saja aku akan pulang dengan senang hati, dan bisa bermain dengan Aira. Namun, sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Lebih tepatnya kakak sepupu."Jangan lupa besok datang ke rumah," ucap Mama penuh penekanan setelah kami lama terdiam dalam bisu. Perbuatan yang kulakukan di masa lalu membuatku sadar kalau perempuan seperti Maura sangatlah langka."Ada apa? Pertemuan keluarga itu hanya buang-buang wa
Di bawah ancaman Furqon, Ferdi selau pergi ke masjid setiap datang waktu sholat. Bahkan kini, dia sendiri yang menunggu Furqon agar datang ke rumahnya untuk datang bersama-sama ke masjid.Dari sebrang rumahnya, ada Bu Friska dan Pak Hasan yang sedang mengamati Ferdi. "Lihatlah! Sekarang anakku lebih hebat dari kita, dia sudah rindu untuk pergi ke rumah Allah." ucap Bu Friska sambil menitikan air mata.Ia sungguh tidak percaya kalau putranya yang sombong itu berangsur berubah. Kini, Ferdi bahkan tidak pernah lagi menelponnya hanya untuk meminta uang. Tidak, beberapa waktu lalu, Ferdi menelpon hanya untuk menanyakan kabar orang tuanya saja.Setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telpon."Bukan anakmu, tapi anak kita!" seru Pak Hasan tak terima.Bu Friska menatap suaminya itu lekat, sampai akhirnya beberapa
Ferdi tidak bisa melakukan kehidupan yang normal semenjak jauh dari orang tuanya, apalagi setelah pernikahan Maura dan sepupunya waktu itu, hidupnya terus saja dihantui oleh kehidupan yang belum pernah terjadi.Ia takut orang tuanya benar-benar tidak peduli, ia juga takut kalau kehidupan selanjutnya akan semakin sulit. Hari demi hari dipenuhi rasa ketakutan yang tidak ada habisnya.Untung saja selama di sini, ia bisa berteman dengan seorang pemuda kampung. Umurnya memang berada di bawah Ferdi, tapi cara berpikirnya sudah jauh di depan. Setiap hari, mereka selalu mengobrol di rumahnya Ferdi.Bagi Ferdi, setiap Malam temannya yang bernama Furqon itu wajib datang, tentu saja agar rasa ketakutannya sirna ketika tidak sengaja mendengar bunyi aneh dari dapur.Untungnya Furqon sama sekali tidak menolak, dia menemani Ferdi setiap malam.&nb
Dafi dan Maura hanya tersenyum ketika melihat Ferdi yang sedang melangkah ke arah mereka. Sama sekali tidak terlihat ketakutan, bahkan Aira pun hanya menatap langkah demi langkah papanya dengan tenang dan seulas senyuman."Beraninya kalian menggelar pernikahan di tengah-tengah kesusahanku!" teriak Ferdi sambil menunjuk kedua mempelai. "Kau juga Maura, kita belum resmi bercerai. Tapi kau malah bersanding dengan laki-laki lain, apa kau pikir aku ini batu yang hanya akan diam saja?" teriaknya lagi.Tidak salah apa yang Ferdi katakan, ia memang tidak tahu kalau Bu Friska sudah mengatur perceraian sedari dulu. Ia juga tak tahu hukum tentang agama. Menurutnya selama ini ia masih belum ada kata talak. Padahal, ia berulangkali mengatakan hal yang serupa tanpa disadari."Kau juga Aira, mana ada anak yang tidak berbakti sepertimu!" teriaknya pada Aira yang menutup telinga dengan kedua ta
Ferdi kembali masuk ke dalam rumah yang disangka angker itu. "Apa aku harus bertahan dalam beberapa hari, ya?" gumamnya sambil menatap dapur yang semalam mengeluarkan keributan yang mengerikan."Apa sebaiknya aku tutup saja pintu belakang? Bila perlu gembok, agar tak ada lagi yang membukanya?" ia kembali berbicara sendiri.Dengan terpaksa, dirinya memilih untuk membeli makan di tetangga sebelah dengan lauk seadanya. Setelah itu mengunci pintu dapur dan belakang, lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa dikunci. Agar lebih mudah lari keluar jika terjadi sesuatu, pikirnya.Ia pun segera menelepon Majid untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, tapi sahabatnya itu malah tak bisa dihubungi. Hanya operator yang menjawab panggilan telponnya."Ah, sial. Sekarang dia lupa dengan sahabatnya yang sudah menjadi miskin ini." Ferdi memaki. Ia juga
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap