Part 27b
Nova menepuk dahinya pelan. "Ya elah ini anak, mau dikasih kehidupan enak dan layak kok gak mau! Nih lihat foto Saga yang terbaru!" Nova menunjukkan foto-foto di ponselnya yang menampilkan wajah Saga yang dipotret diam-diam dari jarak tertentu oleh anak buahnya itu."Wow!" Mata Selina membulat melihat foto-foto Saga yang tengah menaiki motornya."Kok fotonya beda, gak seperti yang tante tunjukkin waktu itu? Yang ini terlihat lebih macho dan tampan.""Ini foto terbarunya, Lin."Selina mengangguk. "Ceritakan sedikit tentang Saga dan istrinya itu, Tante. Kenapa mereka bisa menikah, kata Tante mereka kepergok berbuat mesum?""Iya, itu benar.""Apa istrinya Saga sudah hamil?""Hmmm sepertinya sih belum hamil."Selina terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tersemyum."Bagaimana kalau Tante pertemukan aku langsung dengan Saga? Tapi jangan sampai ada yang curiga kalau pertemuan dengannya sudah diaturPart 28a Saga terkejut, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Saga menatap ayahnya dengan tatapan heran dan sedikit kecewa. "Tapi ayah, masalah kehamilan itu tidak bisa dipaksakan begitu saja. Kehamilan adalah anugerah Allah dan--" Ayahnya, Pak Biru, mengangguk tegas. "Ayah mengerti, Saga. Tapi kamu harus paham, ini penting bagi kelangsungan keluarga kita. Kau tahu betapa pentingnya memiliki keturunan untuk meneruskan garis keturunan keluarga kita?!" Saga menggigit bibirnya. Dia mencoba menahan kekesalannya. "Ayah, kita tidak bisa memaksakan kehendak seperti ini. Kehamilan itu butuh waktu dan proses yang alami. Dan hanya Allah yang bisa menentukan kapan waktu yang tepat." Pak Biru menghela nafas panjang. "Aku tahu kamu ingin melindungi istrimu, tapi ini penting bagi keluarga kita. Kami butuh keturunan untuk meneruskan nama keluarga ini." Saga merasakan tekanan semakin bertambah.
Part 28b"Boleh, Mas, lagi pula kan orang tuamu yang mengundang kita. Sepertinya kita memang tidak sopan, habis nikah malah belum silaturahmi kesana karena banyak kegiatan.""Tapi yang kukhawatirkan, kamu akan bertemu mama tiriku. Apa kamu tidak apa-apa?"Damay mengangguk mengerti. "Aku tidak apa-apa, Mas. Bukankah ada kamu di sampingku? Jadi aku gak perlu khawatir bukan?"Saga mengangguk sambil tersenyum. Ia menyesap teh buatan sang istri. "Manis, seperti kamu," ucapnya menggoda Damay.'Sepertinya aku harus membuat Damay nyaman dan jatuh cinta padaku,' batin Saga. Ia memejamkan mata sejenak. ***Pukul 19.30 WIBSaga dan Damay duduk di ruang tengah, menatap layar televisi yang menyala. Saga meraih remote control dan mematikan televisi itu. "Bagaimana kalau kita keluar sebentar, Sayang?" ajaknya kepada Damay.Damay menoleh ke arah suaminya den ekspresi heran. "Keluar? Ke mana?"Saga tersenyum l
Part 29aDering telepon membuyarkan mereka membuat suasana jadi canggung. "Mas, angkat dulu teleponnya," ujar Damay saat telepon itu berbunyi berkali-kali.Saga mengangguk dan meraih ponselnya."Halo?" "Halo, Mas Saga, ini Mega." Suara itu terdengar ragu dan gemetar."Oh, hai, Mega. Ada apa?""Mas, sampaikan ke Mbak Damay, ada berita buruk."Saga mengernyitkan keninganya. "Apa yang terjadi?""Bapak, dia..." Suara Mega terputus sebentar, sebagai upaya untuk mengendalikan emosinya. "Bapak kecelakaan, jatuh dari motor, Mas, sekarang dibawa ke rumah sakit.""Bagaimana kondisinya?""Katanya cedera cukup parah. Dokter sedang melakukan pemeriksaan lebih lanjut.""Dimana bapak di rawat?""Tadinya di puskesmas, Mas, tapi langsung dirujuk ke RSUD.""Baiklah, kami segera datang."Saga menutup panggilan telepon itu. Menatap sang istri yang tampak bertanya-tany
Part 29bDamay mengangguk pelan. Waktu terus berlalu tanpa tanda-tanda bapak akan sadar. Suasana makin terasa hening. Detik-detik terasa begitu berat Denyut jantung bapaknya adalah detik yang berharga baginya. Damay merindukan senyumnya, suara tawanya, dan kehangatan pelukannya.***Damay terbangun saat tangannya digenggam oleh tangan bapaknya. Dia menoleh dan melihat mata bapaknya kini sedang terbuka, meskipun lemah."Pak?!" seru Damay, air mata bahagia mengalir di pipinya. "Alhamdulillah, bapak sadar! Aku panggil dokter dulu, Pak!"Tangan lemah Pak Taryo justru menggenggam erat putrinya. Kepalanya menggeleng lemah. "Kenapa, bapak butuh sesuatu?"Pak Taryo beralih menatap Saga. Lelaki itupun mendekat. "Ada apa, Pak?"Tangan Pak Taryo yang gemetaran meraih tangan Saga lalu disatukan dengan tangan putrinya. Mulutnya sedikit terbuka seolah memberikan isyarat mengatakan sesuatu. Saga
Part 30a "Damay, kami ikut berduka atas kepergian Pak Taryo, semoga amal ibadah almarhum diterima oleh Allah SWT dan ditempatkan di sisi yang terbaik," ujar Aksara yang datang bersama para karyawan toko kue, rekan kerja Damay. "Terima kasih ya Mas dan teman-teman semua sudah datang." "Iya, May, kamu yang sabar ya, jangan bersedih lagi, kalau ada apa-apa kamu masih punya aku buat tempat cerita, " ucap Dewi berusaha menenangkan teman dekatnya. Dewi merangkul Damay yang kembali terisak. Di saat hati tengah melankolis, butiran bening itu tanpa sadar menitik di pipi. Kehadiran mereka cukup mengusir rasa sedih untuk sementara waktu. *** Dua hari setelah kepergian bapak, Damay masih terlihat murung. Bukan hanya Damay, tapi ibu dan Mega pun masih terlihat berduka, seolah tak ada semangat di rumah itu, meskipun selebihnya mereka tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, Damay yang terlihat l
Part 30b Iya, Mas, aku gak apa-apa kok. Masalah di rumah masih ada ibu dan Mega yang handle. Mumpung orang tua kita masih hidup dan sehat, bukankah sudah selayaknya kita berbakti?" "Ya tapi--" Damay meraih tangan suaminya. "Kita hanya bisa berdoa, agar ayah dilembutkan hatinya." Saga mengangguk. *** Pagi harinya .... "May, tolong ke pasar beliin ibu bahan-bahan ini," ucap Bu Siti pada anak tirinya itu. "Iya, Bu," sahut Damay seraya menatap selembar kertas berisi tulisan daftar belanja. "Minta antar suamimu, biar cepat! Jadi kamu gak usah jalan kaki!" "Baik, Bu." Damay berlalu ke kamarnya dan mengajak Saga untuk mengantarnya ke pasar. "Mas, ayo antarkan aku ke pasar. Ibu minta tolong belikan ini semua buat keperluan 7 harinya bapak nanti." "Iya baiklah." Dengan cepat, Saga men
Part 31Saga makin memperhatikan istrinya. "Nah melihat senyuman dan tawa kamu yang seperti ini yang aku rindukan. Jangan sedih lagi ya!""Insyaallah, Mas, aku sudah ikhlas dengan kepergian bapak, karena setiap yang hidup pasti akan mati. Kita cuma bisa mengirim doa yang terbaik untuknya. Terima kasih ya, sudah menghiburku sejauh ini.""Iya, tentu saja. Emmh ya udah, siap-siap dulu gih, aku panaskan mobil dulu.""Gak naik motor, Mas?""Gak, Sayang. Jaraknya lumayan jauh."Damay mengangguk. Ia menuju kamarnya. Berganti baju gamis yang tempo hari di belinya. Damay duduk di depan cermin, mata cokelatnya menatap pantulan dirinya, tersenyum tipis saat menyaksikan dirinya sendiri. "Hari ini aku ingin terlihat fresh," gumamnya pada dirinya sendiri.Dengan lembut, ia mengambil kuas make up dan menyentuh wajahnya dengan tipis-tipis. Foundation yang dia aplikasikan hanya cukup untuk menyamarkan beberapa noda ke
Part 31bKami mengundang kerabat dekat doang kok, mereka ingin lihat istri kamu, Saga," sahut Nova sambil tersenyum.Nova langsung menggamit lengan suaminya dan berjalan mendahului. Saga menatap Damay sejenak. "Jangan takut, ada aku di sini.""Tapi aku malu, Mas, aku takut nanti kamu malah dihina karena kita tidak sepadan.""Ssstt, jangan merasa rendah diri seperti itu. Kamu sudah jadi bagian hidupku. Aku tak peduli dengan penilaian orang." Saga menggenggam erat tangan istrinya yang terasa dingin.Benar saja, sampai di halaman belakang .... Damay terkesima. Latar makan malam mewah yang terpampang di depan matanya melebihi ekspektasinya. Meja besar dipenuhi dengan perabotan porselen antik, dan lilin-lilin mewah menyala dengan lembut, menambahkan sentuhan romantis yang elegan."Tuan dan Nona, selamat datang," sapa seorang pelayan dengan sopan, memecah keheningan yang menggantung di udara.Damay berjalan mendekat