Part 89B
Damay tersenyum simpul, kembali ke dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil ayam ungkep yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia memeriksa bumbu-bumbu di dapur dan memastikan semuanya tersedia. Setelah itu, ia mulai menggoreng ayam ungkep tersebut, sembari memotong mentimun, kacang panjang, kubis dan daun selada untuk lalapan. Tak hanya ppelengkap. "Wah kamu masak apa, Damay?" tanya Tante Widuri yang tiba-tiba menghampirinya. "Ayam goreng, Tante, sama lalapan. Ada sayur asem juga, nanti saya buatkan sambal yang pedas ya, supaya lebih enak.” “Wah, pasti cocok sekali, jadi gak sabar untuk menikmatinya,” jawab Tante Widuri sambil tersenyum. "Oh ya, jadi kamu lahiran caesar ya, Damay?" "Iya, Tante. Waktu itu kena musibah yang mengharuskan aku dioperasi. Rain lahir sebelum waktunya." Tante Widuri mengangguk. "Tante ikut prihatin. Cuma kata orang-orang dulu nih, kalauPart 90 "Mega, aku sudah menunggu cukup lama. Cahaya juga sudah mulai besar. Hari ini aku ingin mendengar jawabanmu. Apa kamu bersedia menikah denganku?" Mega menatap Lanang dengan tatapan berkaca-kaca. Lelaki di hadapannya ini benar-benar pantang menyerah. Sudah satu tahun, dan perlakuan Lanang masih sama. Dia bahkan lebih dekat ke anaknya. "Bagaimana dengan orang tua kamu, Mas?" "Ibuku sudah tahu mengenai kamu dan Cahaya." "Jadi ibumu gak keberatan meski aku seorang janda?" Lanang tersenyum, terlihat sangat manis. "Ibu selalu mendukung apapun keputusanku. Dan beliau sangat setuju saat kuperlihatkan fotomu dan juga Cahaya," sahut Lanang mantap. "Benarkah?" "Ya." Mega terdiam sejenak. "Kalau kamu bersedia, aku akan langsung mengajak ibu untuk melamarmu." Mega menghela napas, mencoba menenangkan dirinya yan
Part 90B Saga pulang ke rumahnya melihat Damay tertidur di ranjangnya sembari mendekap Rain yang juga tengah tertidur di pelukan ibunya. "Suami pulang sampai gak dengar, ternyata lagi tidur, sayangkuu .... sayangku ...." Saga melepas jas yang dikenakannya. Ia berjalan ke arah westafel, mencuci tangan dan wajahnya sejenak lalu menghampiri sang istri, berusaha mengambil Rain untuk ia tidur kan di box bayi, namun gerakan kecilnya membuat Damay terbangun. "Mas ..." Saga memandangnya sejenak lalu mengecup keningnya dengan lembut. "Maaf aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya ingin memindahkan Rain." "Tidak apa-apa, Mas. Aku yang minta maaf gak sadar kamu udah pulang." "Iya, kamu pasti capek seharian ngurus Rain. Rewel gak dia hari ini?" tanya Saga. Ia meraih Rain ke dalam dekapannya. "Alhamdulillah, tidak Mas, Rain bisa diajak kompromi." "Syukurlah
"Selamat ya atas pernikahan kalian. Ini ada sedikit hadiah dari kami," ujar Saga saat mereka berkumpul di ruang keluarga.Mega dan Lanang saling pandang sejenak, lalu tersenyum manis."Makasih banyak, Mas Bos," ujar Lanang.Ia menerima hadiah dari Saga yang berupa tiket liburan sekeluarga gratis dan beberapa barang yang cukup berharga."Wow, ini luar biasa banget, Mas Saga! Terima kasih banyak," ujar Mega, matanya bersinar bahagia. Saga hanya tersenyum sambil mengangguk, merasa senang bisa memberikan kebahagiaan pada mereka. "Senang bisa membantu. Semoga liburannya menyenangkan dan memberikan banyak kenangan indah," katanya.Lanang membuka satu per satu barang yang diberikan dalam hadiah itu, mulai dari tiket liburan keluarga yang mengagumkan hingga beberapa barang lainnya yang terlihat sangat berharga. "Kamu tahu banget apa yang kita butuhkan, Mas," kata Lanang dengan senyum lebar."Semoga liburan ini bisa jadi kesempatan untuk kalian menghabiskan waktu bersama setelah segala kesibu
Damay berjalan mendekat dan duduk di samping Saga. "Mungkin kita bisa juga cari tahu tentang festival bunga sakura yang kamu bilang itu. Pasti seru banget kalau bisa lihat langsung."Saga mengangguk. "Iya, itu salah satu yang aku tunggu-tunggu. Festival bunga sakura di Korea biasanya ada di bulan April, jadi kalau kita ke sana pada waktunya, kita bisa ikut merayakan.""Bayangin aja, kita bisa jalan-jalan di bawah pohon sakura yang penuh bunga pink, pasti romantis banget!" Damay berkata penuh semangat."Dan kita juga bisa foto-foto banyak di sana, bikin kenangan yang nggak terlupakan," jawab Saga, sambil menggenggam tangan Damay. "Pokoknya, semua yang terbaik buat kamu."Damay menatap Saga, matanya berkaca-kaca karena terharu. "Terima kasih, Mas. Aku merasa sangat beruntung punya kamu."Saga tersenyum, "Aku yang beruntung, Sayang. Bisa membuat kamu bahagia itu lebih dari cukup buat aku."***Beberapa hari berlalu, dan per
Part 1"Dicambuk 100 kali saja biar jera atau diarak saja keliling kampung, telanjangi mereka!" teriak salah satu warga memprovokasi. "Benar, lucuti mereka sekarang aja! Lalu arak keliling desa! Biar tau rasaa! Biar gak ada lagi yang nekat berbuat mesum dan zina seperti ini! Sungguh menjijikan!" sambut teriakan riuh para warga yang lain."Hukum mereka!! Arak mereka keliling desa!!"Mereka semua saling sahut menyahut karena sudah terprovokasi. Aku hanya bisa tertunduk lesu sambil menangis sesenggukkan. Bagaimana mungkin, aku yang terjatuh terperosok ke sungai kecil, lalu ditolong lelaki itu justru dituduh berbuat mesum alias berzina? Namun penjelasan kami tak diterima oleh mereka. Bahkan berakhir dengan main hakim sendiri. Lelaki yang membantuku itu dihajar hingga wajahnya babak belur, bahkan motornya pun dirusak warga. Di bawah kaki-kaki hujan yang menitik, menjadi saksi tangisanku saat ini. Baju yang basah kuyup pun tak dihiraukan oleh mereka. Seolah mereka benar-benar tak punya
Part 2"Memangnya kamu punya mahar berapa mau nikahin anak saya?" tanya ibu dengan tatapan tajam. "Seratus ribu.""Apa?? Cuma 100 ribu? kau ini sudah gila ya? Mau nikahin anakku tapi nggak punya modal?!" seru ibu dengan wajah kesal. Bapak menepuk lengan ibu agar tenang."Coba Nak Saga ulangi lagi, berapa mahar yang akan kamu berikan buat putri kami?"Lelaki yang memakai kaos oblong dan dikuncir rambutnya dan terdapat sedikit tato di lengannya segera menoleh ke arahku. Ya, penampilannya memang seperti berandalan, dengan tatapan elang membuatku sedikit bergidik.Namun saat ini, wajahnya dipenuhi luka lebam dan babak belur akibat dihajar warga.Ah entahlah, aku tak bisa melukiskannya, karena perasaan yang bercampur padu antara kalut dan juga tegang. Aku bahkan aku tak mengenal siapa dia sebenarnya, hanya beberapa kali mengingat lelaki itu sepertinya memang pernah datang membeli kue di toko Aksara. Dia berdecak pelan, kesal mungkin gara-gara di sidang oleh pamong desa dan keluarga, se
Part 3"Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!"Degg!!Tiba-tiba saja gadis itu pulang dan langsung menghardikku. Suara adik tiriku terdengar menghina membuatku menggenggam sendok dengan kuat-kuat. Saat ini aku tengah membuat adonan tepung untuk pisang goreng. Tapi kenapa harus mendengar mulut julidnya?Debar jantung masih tak menentu akibat kejadian hari ini yang mengharuskanku menikah dengan pria yang sama sekali tak kukenali."Ya terima sajalah, maharnya cuma 100 ribu. Muraaaaahh! Semurah harga dirimu, Mbak!""Kalau tidak tahu ceritanya jangan memfitnahku sembarangan, Meg!" Aku bangkit dan menatap adik tiri itu dengan tajam.Tapi dengan santainya dia justru memperlihatkan wajah yang meremehkan. "Kenapa? Aku benar kan? Mbak itu murah, mu----raaahh-an! Hahaha," ujarnya seraya menertawakanku. "Aku yakin, orang-orang di sini juga setuju kalau M
Part 4"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku?Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong. Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu. "Mas ...?"Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali. "Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung."Di sini saja," jawabnya singkat.Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku. Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam la