Kali ini aku memang belum mendapat kesempatan untuk memberitahu Bapak dan Ibu kalau aku adalah Sundari.Perubahanku memang sangat jauh berbeda dari Sundari satu tahun yang lalu. Makanya Bapak dan Ibu juga tidak mengenaliku. Bahkan, diriku sendiri saja kadang masih tidak percaya kalau Rubi adalah Sundari.Hemh .... Bagaimanapun, aku harus mencari cara agar bisa bicara dengan Bapak ataupun Ibu.Kurang ajar. Kalian telah menjadikan kedua orang tuaku sebagai pembantu."Rubi ... ayo dimakan! Jangan malu-malu! Anggap saja di rumah sendiri! Siapa tahu berjodoh sama Ardian."Seketika netraku membulat sempurna mendengar ucapan dari Nyonya Mala.Berjodoh?Maksud dia, aku berjodoh dengan Ardian? Heh ... aku ini menantu kamu Nyonya Mala. Istri dari Ardian. Tapi aku tidak ingin berjodoh dengannya. "Mama ... kenapa bicara seperti itu? Ngga enak sama Rubi," sela Ardian."Tapi Kak Ardian memang sangat cocok dengan Kak Rubi. Kak Ardian ganteng dan Kak Rubi cantik. Lagian status sosial kita seimbang,
"Bagaimana acara makan malam dengan Ardian dan keluarganya, Bi? Sukses?" tanya Mama Intan dengan menangkupkan kedua tangan dan menempelkan dagunya.Aku pun yang duduk di hadapan Mama Intan mengacungkan dua jempol. "Sukses, Ma. Meskipun ada hal yang tidak pernah Rubi duga."Mama Intan merubah posisi duduknya dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Hal tak terduga? Maksudnya?" "Bapak dan Ibu, ternyata mereka juga ada di rumah tersebut, Ma. Ardian dan keluarganya menjadikan orang tuaku sebagai pembantu."Kuremas tanganku dengan perasaan begitu terluka jika mengingat perlakuan Ardian dan keluarganya terhadap diriku dan juga orang tuaku."Keterlaluan. Apa orang tuamu sudah mengetahui kalau Rubi adalah Sundari?"Dengan gelengan kepala aku menjawab pertanyaan dari Mama Intan."Terus. Apa rencana kamu selanjutnya, Bi?""Rubi sudah mendapatkan cara agar bisa bicara dengan Ibu, Ma."Aku pun menjelaskan semua tentang rencana yang telah kususun pada Mama Intan. Dan Mama Intan sangat men
"Kenapa Bapak dan Ibu bisa di rumah Ardian? Dan jadi pembantu di sana?" tanyaku sangat penasaran."Waktu itu, Ardian dan Bu Mala ke rumah kita, Nduk. Mereka mencari kamu. Saat itu Bapak dan Ibu bingung dengan maksud mereka. Lalu kami minta penjelasan. Kata Bu Mala, kamu pergi dari rumah dengan membawa perhiasan miliknya yang harganya ratusan juta. Bu Mala bilang akan terus mencarimu dan akan memasukkan kamu ke dalam penjara. Bapak dan Ibu ingin sekali mengganti semuanya agar kamu tidak dipenjara, Nduk. Tapi dari mana uang sebanyak itu? Akhirnya Bapak dan Ibu bekerja di rumah Bu Mala untuk menggantikan semua perhiasan tersebut tanpa mendapat gaji dan sampai lunas seharga perhiasan."Mereka menfitnahku. Dan memanfaatkan kebohongan yang dibuat Bu Mala untuk menjadikan kedua orang tuaku sebagai pembantu tanpa mengeluarkan gaji setiap bulannya. Orang-orang tidak punya hati dan pikiran. Teganya mereka melakukan semua itu pada kami. Itukah yang dimaksud orang kaya?"Ibu .... Sundari tidak mu
"Terima kasih ya, Bi. Kamu sudah mengundang kami makan malam dengan menu yang begitu spesial," ucap Ardian setelah selesai makan."Sama-sama, Ardian. Kemarin kamu dan keluarga juga sudah menjamuku dengan hidangan yang tak kalah spesial."Nyonya Mala melirik ke arah Ibu yang duduk di sampingku. Terlihat sekali kalau dia tidak suka."Oh ya, Bik. Nanti Bibik saya antar, ya.""Baik, Non Rubi. Sekarang Bibik permisi ke belakang dulu bantuin beres-beres yang lainnya," terang ibu dengan sedikit menyenggol lenganku.Mungkin Ibu memberiku kode agar mengikuti beliau. Tapi aku harus menunggu sejenak agar mereka tidak curiga. "Oh iya, saya sampai lupa. Saya punya sesuatu untuk Tante dan juga Flo. Sebentar ya, saya ambilkan dulu."Netra mereka terlihat begitu berbinar. Pasti mereka sangat mengharapkan sesuatu dariku. Segera aku beranjak dari tempat duduk. Ibu sudah menunggu di ruang tengah. "Ada apa, Bu?""Nduk. Ibu harap kamu bisa menahan emosi kalau nanti mereka bersikap kurang baik pada Ibu
Maafin Sundari ya, Pak. Harus bicara yang mungkin membuat hati Bapak sedih ketika mendengarnya. Sundari terpaksa bilang sakit Bapak akan menular pada Ardian dan keluarganya. Kalau Sundari tidak bilang seperti itu, pasti mereka tidak akan mengizinkan Bapak dibawa ke rumah sakit."Mbak Rubi, taksinya sudah datang," terang Pak Ahmad."Non ... Bapak tidak usah dibawa ke rumah sakit! Nanti juga sembuh."Aku menggelengkan kepala. "Bapak harus ke rumah sakit!""Sudah. Nurut saja kenapa, sih! timpal Nyonya Mala dengan wajah terlihat risih. "Hey ... bilang sama suami kamu agar mau dibawa ke rumah sakit! Nanti kalau penyakitnya nular bagaimana? Sudah beruntung ada Rubi yang mau menolong. Dia itu bukan perempuan sembarangan. Orang kaya raya. Dengan status sosial level tinggi saja mau bantuin orang miskin seperti kalian.""Orang susah aja belagu. Nolak tawaran Kak Rubi," sambung Flo.Tanganku rasanya ingin menampar Nyonya Mala dan Flo. Tapi belum waktunya. Karena ini baru awal. Dan memang harus l
"Pagi Bu Rubi," sapa Nayla."Pagi Nay. Apa hari ini ada jadwal bertemu dengan pemilik perusahaan Ardi Jaya?" Perusahaan milik Ardian."Ada, Bu Rubi. Pagi ini. Dan gantian kita yang datang langsung ke perusahaan beliau."Datang ke perusahaan milik Ardian? Mungkin aku bisa mendapat sesuatu di sana. Perusahaan itu harus jatuh di tanganku."Okey. Kamu siapkan semuanya!"Lipstik berwarna merah merona memoles lagi bibirku dengan rambut indah tergerai serta netra yang memakai soflens warna cokelat membuatku terlihat lebih menawan."Kita berangkat sekarang, Nay!""Baik, Bu."---Netraku memandang ke arah gedung perusahaan milik Ardian. Baru kali ini aku datang ke sini. Selama menikah, jangankan dikenalkan sebagai istri, di rumah pun aku tidak boleh keluar dan hanya dijadikan pembantu.Kami keluar dari mobil dan berjalan masuk ke kantor tersebut.Nayla langsung menuju resepsionis yang ada di lobby untuk menanyakan Ardian pada sekretaris di sana. Sekretaris tersebut terlihat langsung menelepo
Ardian menatap tanpa berkedip ketika diriku berdiri persis di hadapannya."Sampai kapan kamu akan menatapku seperti itu, Ardian?"Meski terlihat gugup, dia tetap berusaha tersenyum padaku. "Ma - maaf. Kamu begitu cantik, Bi.""Terima kasih. Kita berangkat sekarang?"Ardian mengulurkan tangan. Telapak tangannya membentang mengharapkan tanganku mendarat di atasnya.Kini tangannya menggenggam erat tanganku. Tidak masalah. Karena kami adalah suami istri. Meskipun Ardian tidak tahu kalau aku adalah Sundari.Ardian membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. Istimewa sekali cara dia memperlakukan Rubi."Kita mau ke mana?" tanyaku."Ke tempat yang romantis," jawabnya sedikit menggoda.Romantis ...? Bisa juga cara dia merayuku. Ardian melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali pandangannya menoleh ke arahku. Senyuman hangat pun terlukis di bibirnya.---Tempat yang begitu indah dan dihias berbagai macam bunga serta cahaya lilin membuat suasana begitu romantis. Ardian benar-b
"Bagaimana keadaan Bapak? Apa sudah sehat, Bu?""Alhamdulillah, sudah , Nduk.""Ardian dan keluarganya menunggu Bapak dan Ibu pulang ke rumah mereka lagi." Aku duduk bersandar. Sedangkan Bapak dan Ibu saling berpandangan. "Mereka pasti akan terus mencari kami, Nduk." Ibu terlihat cemas."Ibu tidak perlu khawatir! Di rumah ini aman, Bu. Kalau Bapak atau Ibu bosan, kalian bisa berkebun di halaman belakang. Bisa menanam apa saja yang diinginkan."Sebenarnya apa alasan mereka mengharapkan orang tuaku kembali lagi di sana? Padahal kehadiranku sebagai istri dan menantu tidak pernah dianggap. Apa karena mereka membutuhkan tenaga Bapak dan Ibu secara gratisan? "Non Rubi, ada Nyonya Intan."Mama Intan?Aku segera keluar untuk menyambut kedatangan Mama. "Mama. Kok tidak ngabari Rubi kalau mau datang?" Memeluk Mama Intan dan memberi ciuman."Tadi Mama datang ke rumah kamu dan ketemu Pak Ahmad. Katanya kamu sedang datang di rumah ini.""Iya, Ma. Dan Rubi memang sengaja datang sendiri.""Kenapa
Perasaanku begitu gugup. Karena malam ini pertama kalinya aku dan Ardian benar-benar menjadi suami istri seutuhnya. Kini Ardian mendekatiku. Dia memberi senyum yang begitu hangat. "Sundari. Ini adalah malam pertama kita yang tertunda begitu lama. Maafin aku."Aku mengangguk pelan dengan jantung yang berdegup kencang. "Apa kamu masih menyimpan cincin pernikahan kita, Ardian?"Ardian menggelengkan kepala. "Tidak Sundari. Cincin pernikahan itu sudah diambil Mama Mala."Aku menghembuskan napas panjang. "Aku mengerti." Kuperlihatkan senyum tipis pada Ardian.Tiba-tiba Ardian memelukku begitu erat. Aku merasa semua ini seperti mimpi. Kehangatan dari seorang suami yang dulu tak pernah menganggapku, kini kurasakan. Tidak terasa bulir air mata keluar membasahi pipi. Aku bahagi sekali. Tapi ... bagaimana kalau Ardian akan menyakitiku seperti dulu? Perasaan takut mulai bergelayut di pikiran.Aku berusaha melepas pelukan Ardian."Kenapa Sundari? Kamu menangis?""Aku takut, Ardian."Ardian merai
Mama Intan menyambut kepulangan kami dengan raut wajah begitu tenang. Sedangkan aku sedikit takut karena sudah membohongi Mama Intan soal Gatot yang sebenarnya Ardian."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku mencium punggung tangan Mama Intan dan memeluk beliau. Sedangkan Gatot masih berdiri di samping mobil dengan menatap ke arah kami."Ma ... Sundari bisa jelaskan.""Tidak perlu, Sundari! Apapun yang kamu lakukan, pasti sudah kamu pikirkan sebelumnya, kan?""Sundari hanya ingin Mama bahagia. Sundari ingin membalas kebaikan Mama selama ini.""Iya, Mama paham. Bagaimana selama di luar kota?""Kerjaan Alhamdulillah lancar, Ma.""Terus?"Pasti Mama ingin menanyakan soal aku dan Ardian selama di luar kota. "Kenapa Mama melakukan hal itu? Mama tahu, kan, bagaimana hubungan Sundari dan Ardian?"Mama Intan tersenyum tipis. "Kamu juga tahu, kan, bagaimana hubungan Mama dan Ardian? Kenapa kamu nekat melakukan hal ini? Bahkan sampai membohongi Mama. Tidak bisa secepat itu Sundari, Mama dan
Jangan lupa follow dan subscribenya ya! Terima kasih.Tok tok tokTerdengar ketukan pintu kamar."Selamat malam, Bu Sundari. Makan malam spesial untuk Bu Sundari dan Pak Gatot sudah kami siapkan," terang pegawai hotel."Makan malam? Tapi saya belum pesan apa-apa untuk makan malam.""Semua sudah disiapkan oleh pihak hotel, Bu."Aku hanya bisa mengangguk, mendengar jawaban dari pegawai hotel. Pasti Mama Intan lagi yang melakukannya.Makan malam spesial berdua dengan Ardian? Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan sedikit membayangkan hal tersebut. Wajah Ardian yang kaku dan ucapannya yang ketus terlintas dipikiran.Hemh ... sudahlah, lebih baik aku tidak memberitahu hal ini pada Ardian.Tidak berapa lama, Ardian keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan celana pendek dengan handuk yang melingkar di lehernya.Aku yang masih berdiri di dekat pintu kamar segera memalingkan wajah. Baru kali ini aku sekamar dengan suamiku sendiri. Rasa canggung begitu kurasakan.Tak ada obrolan
Sundari dan Ardian satu kamar.Sebulan sudah Ardian menjadi sopir pribadiku. Waktu yang terasa begitu cepat. Selama itu pula, aku dan Ardian masih terus jaga jarak sebagai suami istri. Meskipun kadang ada hal yang membuat kami canggung.Sejauh ini, sikap Mama Intan biasa saja. Sepertinya beliau tidak curiga dengan Gatot yang tak lain adalah Ardian. "Ma. Besok Pak Ahmad biar nganter Sundari ke luar kota, ya? Mama gantian sama Gatot!" Aku duduk berhadapan dengan Mama Intan sembari sarapan."Kenapa tidak sama Gatot saja?""Sundari kangen bercanda sama Pak Ahmad, Ma. Lagian kalau ke luar kota, Sundari sudah terbiasa sama Pak Ahmad.""Memangnya Gatot tidak bisa diajak bercanda?""Mama, kan, tahu sendiri kalau Gatot orangnya pendiam.""Kamu tetap diantar Gatot pergi ke luar kotanya!"Kenapa Mama Intan tidak ada rasa khawatir atau pun cemas aku bersama Gatot? Mama Intan, kan, tidak tahu kalau dia sebenarnya Ardian."Ya sudah, Ma. Sundari sama Gatot."---"Besok kamu antarin aku ke luar ko
"Assalamu'alaikum, Ma." Aku berjalan mendekati Mama Intan yang sedang duduk di taman belakang sembari membaca majalah."Wa'alaikumsalam. Ada hal yang penting? Sampai kamu tidak berangkat ke kantor dan malah balik lagi ke rumah Mama," jawab Mama Intan sembari mengulas senyum."Sundari sudah mencarikan Mama sopir sementara. Pak Zul, kan, lumayan lama pulang kampungnya, Ma."Mama Intan langsung menutup majalah dan menatapku. "Sopir baru? Kenapa tidak bilang dulu sama Mama, Sundari?"Pasti Mama Intan keberatan. Aku bisa paham akan hal itu. Karena Mama Intan memang tidak sembarangan memperkerjakan seseorang. Apalagi yang harus tinggal di rumah beliau. Tapi semua ini aku lakukan agar Mama Intan dapat bersatu dengan Ardian."Pasti Mama keberatan, ya?""Memangnya kamu dapat sopir dari mana? Kamu kenal dia?" "Ke - kenal, Ma." Maafin Sundari, Ma, karena harus bohong. Mama Intan menatap begitu serius. "Mama ingin ketemu orangnya."Aku menganggukkan kepala. "Kebetulan Sundari sudah mengajak di
Sundari mencari tahu alamat rumah kontrakan Ardian.Aku menemani Mama Intan dengan menginap di rumah beliau. "Non. Makan malam sudah siap," terang Mbak yang sibuk nyiapin makanan. "Terima kasih, Mbak."Aku segera mengambil makan malam untuk Mama Intan. Dari tadi beliau hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku sangat paham dengan apa yang dirasakan Mama Intan saat ini."Ma ... boleh Sundari masuk?" Dengan beberapa kali mengetuk pintu."Masuk saja!"Mama duduk di pojokan sofa dengan memegang sebuah figura."Ma, Mama makan malam dulu, ya!"Mama Intan hanya menggelengkan kepala. Beliau menatap sebuah figura yang terpampang foto bertiga. Mama Intan, laki-laki yang kukenal sebagai papa mertua, serta bayi laki-laki. Pasti bayi itu adalah Ardian."Ini salah Mama. Mama yang telah membuat Ardian tumbuh menjadi sosok laki-laki seperti itu. Harusnya Mama yang merawat dan mendidik dia. Bukan Mala."Sebuah penyesalan begitu terlihat dari Mama Intan. "Ma, Sundari sangat paham apa yang dirasakan M
Hari ini aku akan pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan selama dua minggu. "Hati-hati ya, Nduk!" pesan ibu dengan membantuku memasukkan tas pakaian ke dalam mobil. Tadi malam aku memang menginap di tempat Bapak dan Ibu."Iya, Bu. Bapak dan Ibu tetap di rumah, ya! Kalau memang butuh sesuatu bisa menyuruh Mbak atau pekerja lain di rumah ini.""Iya, Nduk. Kamu jangan khawatir!" jawab bapak dengan menepuk bahuku.Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu, aku langsung masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, Pak Ahmad yang selalu mengantarku.~~~~~Perjalanan yang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga di sebuah hotel tempat kita akan menginap selama berada di sini.Kuhirup udara segar dan menatap pemandangan yang begitu indah dari jendela kamar. Setidaknya hal ini bisa membuat pikiran sedikit relaks karena kesibukan setiap harinya.Drrrtt drrrtt drrrttGetaran ponsel terdengar beberapa kali."Assalamu'alaikum. Ada info apa lagi hari ini, Pak? Kebetulan saya sedang ke luar kota," tanyaku t
"Dijual? Memangnya kenapa?" Ingin memastikan pada orang kepercayaanku yang selama ini kuminta untuk memantau Ardian dan keluarganya."Untuk membayar hutang Nyonya Mala."Sudah hampir tujuh bulan ini aku mengambil alih perusahaan milik Ardian. Dan selama itu pula, yang aku tahu Ardian tidak berusaha mencari pekerjaan atau membuka usaha dengan sisa harta mereka yang sebenarnya masih sangat banyak. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Hutang?""Iya, Bu Sundari. Nyonya Mala serta Flo begitu mudah menghamburkan uang selama Pak Ardian tidak bekerja. Mereka tetap berfoya-foya. Nyonya Mala ikut banyak arisan yang setorannya tidak sedikit. Dia juga menggelapkan uang investasi teman-temannya. Makanya rumah tersebut dijual untuk membayar semuanya. Karena kalau tidak, Nyonya Mala akan dijebloskan dalam penjara." Bukannya sadar sudah tidak punya perusahaan, masih saja mereka menghamburkan uang. "Dan adiknya ....""Adiknya kenapa?" tanyaku memotong."Adiknya Pak Ardian hamil."Hamil? Kenapa
Untuk pertama kalinya Nyonya Mala bertemu lagi dengan Sundari."Bu Rubi?" sapa Devi sekretaris pribadi Ardian. "Bu Rubi mau bertemu dengan Pak Ardian, ya? Ta - tapi Pak Ardiannya." Devi tidak meneruskan ucapannya.Aku hanya tersenyum. "Saya tidak ingin bertemu dengan Pak Ardian. Tapi mulai saat ini saya yang akan mengurus perusahaan ini. Dan kamu akan menjadi sekretaris saya."Raut wajah Devi begitu bingung. Pasti semua karyawan di sini juga akan kebingungan dengan situasi saat ini. Tapi nanti, mereka juga akan paham."Sekarang kamu siapkan apa yang mesti disiapkan untuk hari ini! Saya akan meneruskan pekerjaan Pak Ardian yang tertunda. Oh ya, satu lagi. Panggil saya Sundari!""Sun - Sundari, Bu? Bukannya nama itu nama istrinya Pak Ardian yang sekarang telah menjadi pemilik perusahaan ini?" "Iya. Dan itu saya."Sekarang Devi hanya berdiri mematung. Dan memandangku tanpa berkedip."Memangnya yang kamu lihat saat ini beda sekali, ya, dengan Sundari? Tapi Rubi adalah Sundari. Dan kamu,