"Terima kasih ya, Bi. Kamu sudah mengundang kami makan malam dengan menu yang begitu spesial," ucap Ardian setelah selesai makan."Sama-sama, Ardian. Kemarin kamu dan keluarga juga sudah menjamuku dengan hidangan yang tak kalah spesial."Nyonya Mala melirik ke arah Ibu yang duduk di sampingku. Terlihat sekali kalau dia tidak suka."Oh ya, Bik. Nanti Bibik saya antar, ya.""Baik, Non Rubi. Sekarang Bibik permisi ke belakang dulu bantuin beres-beres yang lainnya," terang ibu dengan sedikit menyenggol lenganku.Mungkin Ibu memberiku kode agar mengikuti beliau. Tapi aku harus menunggu sejenak agar mereka tidak curiga. "Oh iya, saya sampai lupa. Saya punya sesuatu untuk Tante dan juga Flo. Sebentar ya, saya ambilkan dulu."Netra mereka terlihat begitu berbinar. Pasti mereka sangat mengharapkan sesuatu dariku. Segera aku beranjak dari tempat duduk. Ibu sudah menunggu di ruang tengah. "Ada apa, Bu?""Nduk. Ibu harap kamu bisa menahan emosi kalau nanti mereka bersikap kurang baik pada Ibu
Maafin Sundari ya, Pak. Harus bicara yang mungkin membuat hati Bapak sedih ketika mendengarnya. Sundari terpaksa bilang sakit Bapak akan menular pada Ardian dan keluarganya. Kalau Sundari tidak bilang seperti itu, pasti mereka tidak akan mengizinkan Bapak dibawa ke rumah sakit."Mbak Rubi, taksinya sudah datang," terang Pak Ahmad."Non ... Bapak tidak usah dibawa ke rumah sakit! Nanti juga sembuh."Aku menggelengkan kepala. "Bapak harus ke rumah sakit!""Sudah. Nurut saja kenapa, sih! timpal Nyonya Mala dengan wajah terlihat risih. "Hey ... bilang sama suami kamu agar mau dibawa ke rumah sakit! Nanti kalau penyakitnya nular bagaimana? Sudah beruntung ada Rubi yang mau menolong. Dia itu bukan perempuan sembarangan. Orang kaya raya. Dengan status sosial level tinggi saja mau bantuin orang miskin seperti kalian.""Orang susah aja belagu. Nolak tawaran Kak Rubi," sambung Flo.Tanganku rasanya ingin menampar Nyonya Mala dan Flo. Tapi belum waktunya. Karena ini baru awal. Dan memang harus l
"Pagi Bu Rubi," sapa Nayla."Pagi Nay. Apa hari ini ada jadwal bertemu dengan pemilik perusahaan Ardi Jaya?" Perusahaan milik Ardian."Ada, Bu Rubi. Pagi ini. Dan gantian kita yang datang langsung ke perusahaan beliau."Datang ke perusahaan milik Ardian? Mungkin aku bisa mendapat sesuatu di sana. Perusahaan itu harus jatuh di tanganku."Okey. Kamu siapkan semuanya!"Lipstik berwarna merah merona memoles lagi bibirku dengan rambut indah tergerai serta netra yang memakai soflens warna cokelat membuatku terlihat lebih menawan."Kita berangkat sekarang, Nay!""Baik, Bu."---Netraku memandang ke arah gedung perusahaan milik Ardian. Baru kali ini aku datang ke sini. Selama menikah, jangankan dikenalkan sebagai istri, di rumah pun aku tidak boleh keluar dan hanya dijadikan pembantu.Kami keluar dari mobil dan berjalan masuk ke kantor tersebut.Nayla langsung menuju resepsionis yang ada di lobby untuk menanyakan Ardian pada sekretaris di sana. Sekretaris tersebut terlihat langsung menelepo
Ardian menatap tanpa berkedip ketika diriku berdiri persis di hadapannya."Sampai kapan kamu akan menatapku seperti itu, Ardian?"Meski terlihat gugup, dia tetap berusaha tersenyum padaku. "Ma - maaf. Kamu begitu cantik, Bi.""Terima kasih. Kita berangkat sekarang?"Ardian mengulurkan tangan. Telapak tangannya membentang mengharapkan tanganku mendarat di atasnya.Kini tangannya menggenggam erat tanganku. Tidak masalah. Karena kami adalah suami istri. Meskipun Ardian tidak tahu kalau aku adalah Sundari.Ardian membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. Istimewa sekali cara dia memperlakukan Rubi."Kita mau ke mana?" tanyaku."Ke tempat yang romantis," jawabnya sedikit menggoda.Romantis ...? Bisa juga cara dia merayuku. Ardian melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali pandangannya menoleh ke arahku. Senyuman hangat pun terlukis di bibirnya.---Tempat yang begitu indah dan dihias berbagai macam bunga serta cahaya lilin membuat suasana begitu romantis. Ardian benar-b
"Bagaimana keadaan Bapak? Apa sudah sehat, Bu?""Alhamdulillah, sudah , Nduk.""Ardian dan keluarganya menunggu Bapak dan Ibu pulang ke rumah mereka lagi." Aku duduk bersandar. Sedangkan Bapak dan Ibu saling berpandangan. "Mereka pasti akan terus mencari kami, Nduk." Ibu terlihat cemas."Ibu tidak perlu khawatir! Di rumah ini aman, Bu. Kalau Bapak atau Ibu bosan, kalian bisa berkebun di halaman belakang. Bisa menanam apa saja yang diinginkan."Sebenarnya apa alasan mereka mengharapkan orang tuaku kembali lagi di sana? Padahal kehadiranku sebagai istri dan menantu tidak pernah dianggap. Apa karena mereka membutuhkan tenaga Bapak dan Ibu secara gratisan? "Non Rubi, ada Nyonya Intan."Mama Intan?Aku segera keluar untuk menyambut kedatangan Mama. "Mama. Kok tidak ngabari Rubi kalau mau datang?" Memeluk Mama Intan dan memberi ciuman."Tadi Mama datang ke rumah kamu dan ketemu Pak Ahmad. Katanya kamu sedang datang di rumah ini.""Iya, Ma. Dan Rubi memang sengaja datang sendiri.""Kenapa
Sampai acara selesai, sama sekali aku tidak bisa mendekati Mama Intan. Karena Ardian, Nyonya Mala serta Flo terus berada di sampingku."Bi, aku antar kamu sampai rumah, ya?""Tidak usah, Ardian. Lagipula aku ke sini diantar Pak Ahmad.""Pak Ahmad, kan, bisa pulang duluan."Ardian ... Ardian. Sepertinya kamu mulai tidak bisa jauh dariku. Begitu mempesonakah seorang Rubi untukmu?Netraku teralih pada Mama Intan yang berdiri tidak begitu jauh dari kami. Mama Intan sedikit menganggukkan kepala. Sepertinya itu sebuah kode untukku. Tapi kode apa? Apa Mama Intan memintaku untuk menerima tawaran Ardian yang ingin mengantarku pulang?"Baiklah Ardian. Tunggu sebentar!"Aku bicara pada Pak Ahmad agar beliau pulang dulu.---Sebenarnya malas sekali harus satu mobil dengan mereka. Tapi aku harus mulai nembiasakan diri untuk sering bersama suami, mertua dan juga adik ipar yang tidak punya hati."Kak Rubi. Dokter Erland tadi temannya Kakak, ya?" Flo bicara mendekat. Sepertinya Flo tertarik dengan
"Ka - kamu." "Iya, aku. Kenapa? Kamu kaget?""Kalian semua keluar! Tinggalkan kami berdua!" Ardian menyuruh satpam dan resepsionis yang dari tadi mengikutiku untuk pergi.Dengan kasar Ardian menarik lengan tanganku. "Ngapain kamu ke sini?"Kuhembuskan napas kasar persis di depan wajah Ardian. "Ngapain? Memangnya ada larangan seorang istri datang ke kantor suaminya sendiri."Tangan Ardian terlihat mengepal. Raut wajahnya begitu kesal mendengar jawaban dariku."Tutup mulut kamu!"Hebat kamu Ardian. Memperlakukan istri sendiri begitu kasar. Beda sekali dengan sikap lembut yang selalu kamu tunjukkan pada Rubi."Kenapa aku harus tutup mulut? Senang atau tidak, nyatanya aku tetap istri kamu. Camkan itu Ardian!""Bukannya kamu sudah pergi? Ngapain kembali lagi?" Ardian berjalan memutari tubuhku."Aku datang untuk minta keadilan sebagai seorang istri. Kamu, Mama, dan adikmu sudah memperlakukanku tidak adil, Ardian. Bahkan orang tuaku pun kalian jadikan pembantu. Orang-orang tidak punya hati.
Di sebuah taman, aku dan Ardian janjian untuk bertemu. Tempat yang sangat aku suka. Dengan berbagai bunga serta pepohonan yang rindang membuat hati terasa damai. Laki-laki dengan kemeja berwarna hitam terlihat berjalan ke arahku. Dia memang begitu tampan dan memesona. Tapi sayang, hatinya tak setampan wajahnya. Ardian ...."Maaf, Bi, aku sedikit terlambat," terangnya langsung duduk di sampingku."Tidak apa-apa, aku juga belum lama sampai," ucapku sembari menoleh ke arahnya."Bagaimana, Bi, apa jawabanmu?" Ardian menatap begitu serius.Aku terdiam sejenak dan memandang bunga-bunga indah yang ada di depanku."Menikah siri. Rasanya masih tidak percaya kalau kamu mengajakku menikah siri, Ardian. Kamu bilang sangat mencintaiku, tapi kenapa harus menikah siri?" Sekedar basi-basi saja."Aku sudah bilang, Bi, ada hal yang harus aku selesaikan dulu.""Memangnya hal apa, Ardian? Jujur!""Aku belum bisa menjelaskan sekarang. Tapi tiba saatnya, pasti akan kuberitahu."Curang sekali kamu, Ardian.