Share

Bab 2 SUAMIKU TAK TAHU AKU ISTRINYA

Sebuah mobil mewah sudah menjemputku di bandara. Setelah satu tahun aku pergi dari kehidupan Ardian dan keluarganya. Kini saatnya Sundari balik lagi untuk kalian. Dengan berubah menjadi Rubi.

Akan kubuat harta kalian jatuh di tanganku agar kalian bisa merasakan menjadi orang miskin.

Apa setelah itu kalian masih bisa sombong?

"Nona Rubi, silahkan masuk!" ucap seorang laki-laki dengan membuka pintu mobil untukku.

"Panggil saya Mbak Rubi saja, Pak! Jangan Nona!" Aku tidak ingin meniru gaya keluarga Ardian yang harus menyebut mereka dengan sebutan Nyonya, Tuan, dan Nona. Terlalu sombong.

Pandanganku menatap setiap pemandangan yang kulewati saat perjalanan. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera memerankan seorang Rubi dihadapan orang-orang sombong dan angkuh itu.

Aku menghela napas panjang sesaat setelah turun dari mobil. Sekarang aku sudah sampai di kota ini lagi.

Kulangkahkan kaki dengan gaya yang benar-benar sudah berbeda dari Sundari yang dulu.

"Assalamu'alaikum," sapaku di sebuah rumah yang tak kalah mewah dari rumahnya Ardian.

"W*'alaikumsalam. Sundari .... Oh, Mama sampai lupa. Rubi, ya, sekarang kamu sudah menjadi Rubi. Perubahanmu sangat luar biasa," ucap Mama Intan dengan bertepuk tangan kecil.

"Semua berkat Mama Intan. Sundari tidak akan seperti ini kalau Mama Intan tidak menolongku."

Mama Intan membuka tangannya lebar-lebar menyambut pelukan dariku.

Aku pun langsung mendekati Mama Intan dan memeluknya begitu erat.

"Terima kasih, Ma. Terima kasih."

"Balaskan rasa sakit hatimu, Bi! Mereka memang harus diberi pelajaran atas kesombongannya."

Pasti, Ma. Sundari akan memberi pelajaran pada mereka.

***

Hari ini pertama kalinya Mama Intan menempatkan aku di salah satu perusahaannya. Dan semua ini adalah sesuatu yang baru dalam hidupku. Hal yang tak pernah terbayangkan sedikitpun. Dan kini, rasa sakit hati telah merubah semuanya.

"Nayla, tolong kamu urus kerjasama kita dengan perusahaan milik Bapak Ardian! Dan tolong atur jadwal agar kami bisa bertemu secepatnya!" terangku pada asisten di kantor yang sudah dipilih Mama Intan.

"Baik, Bu Rubi."

Dengan semangat dan tekad yang kuat, aku pun mampu menjalankan tugasku dengan baik di perusahaan Mama Intan.

Banyak pelajaran yang aku dapat selama satu tahun menghilang dari kota ini. Karena Mama Intan benar-benar sudah merubah semua tentang diriku.

***

Akhirnya, setelah beberapa hari menunggu. Waktu pertemuanku dengan Ardian datang juga.

"Kerja yang bagus Nayla. Nanti temani saya untuk bertemu dengan Bapak Ardian di tempat yang kamu bilang tadi."

Terlihat sosok laki-laki yang membuat diriku teringat kembali akan perlakuannya yang semena-mena padaku dulu.

Kini dia sedang duduk dengan gayanya yang belum berubah. Masih begitu angkuh.

"Mari, Bu Rubi, Bapak Ardian sudah menunggu kita di sana!" ajak Nayla dengan menunjuk ke arah tempat duduknya Ardian.

Dengan langkah pelan, aku mulai berjalan mendekati dia.

"Selamat siang, Bapak Ardian," sapaku dengan langsung mengajaknya berjabat tangan.

Kini pandangan Ardian langsung terarah padaku. Sejenak dia menatap begitu dalam sebelum akhirnya membalas uluran tangan dariku.

Mudah-mudahan saja Ardian tidak mengenaliku dengan perubahan saat ini.

Heh ... mana mungkin mengenaliku. Selama jadi istrinya saja, dia tidak pernah menatapku sama sekali.

"Selamat siang. Ibu ... Rubi?"

Aku mengulas senyum manis di hadapannya.

"Kenapa, Pak? Ada yang aneh dengan penampilan saya?" tanyaku pada Ardian yang terus menatap tanpa berkedip.

"O - oh, maaf," jawabnya dengan sikap yang terlihat gugup. "Silahkan duduk!"

Kami mulai bicara serius menyangkut perusahaan. Aku memang sengaja mengajak Ardian kerja sama. Kebetulan Ardian tidak tahu kalau perusahaan yang aku pegang sekarang ini adalah milik Mama Intan, pengusaha yang menjadi saingannya.

Setelah selesai membicarakan soal kerja sama perusahaan, aku pun pamit untuk kembali lagi ke kantor.

Tapi tiba-tiba Ardian mengajak makan siang bersama.

"Apa kita tidak sekalian makan siang bersama, Ibu Rubi? Kebetulan sudah jamnya istirahat," ajak Ardian dengan melihat jam yang melingkar di tangannya

Ardian ... Ardian, bisa juga kamu bicara lembut seperti ini. Padahal waktu aku menjadi istrimu, jangankan bicara menatap pun enggan.

Apa kamu masih akan bersikap seperti ini? Seandainya tahu aku ini adalah Sundari, istri yang tidak pernah kamu anggap.

Ayo Sundari! Jangan memikirkan hal itu! Sekarang ini kamu sedang menjadi Rubi.

"Boleh juga tawaran Bapak," jawabku menerima ajakan Ardian.

"Kalau begitu, saya permisi dulu untuk kembali kantor ya, Bu Rubi. Masih ada kerjaan yang harus saya selesaikan," terang Nayla.

Hemh ... aku menghembuskan napas dengan pelan. Cerdas kamu Nayla.

"Oh, okey. Kamu tidak ikut makan siang sekalian, Nay?" tanyaku basa-basi.

"Tidak, Bu Rubi. Terima kasih."

Kini perempuan yang seumuran denganku itu berlalu meninggalkan kami hanya berdua saja.

Ardian pun langsung memanggil waitress.

"Bu Rubi mau makan apa?"

"Saya pesan minum saja, orange juice."

Sembari menunggu pesanan datang. Kami ngobrol di luar pekerjaan.

"Jangan panggil saya, Pak, kalau di luar kantor. Saya belum terlihat seperti bapak-bapak juga 'kan? Kita ngobrol seperti teman saja, biar lebih santai."

"Terus, Tuan Ardian? Begitu?" Seperti dulu saat kamu menyuruhku memanggil dengan sebutan tersebut padahal statusku adalah istrimu.

"Ternyata Bu Rubi suka bercanda juga, ya? Panggil saja Ardian!"

"Okey, Ardian. Kamu juga jangan memanggil saya Ibu! Saya masih muda sekali lho. Panggil saja Rubi!"

Senyum menawan itu kini dia umbar dihadapanku. Sikap yang begitu berbeda saat kamu berhadapan denganku sebagai Sundari.

Dan sekarang kamu begitu baik dengan Rubi. Padahal sebenarnya aku ini adalah istrimu, Ardian.

"Kamu sudah berkeluarga?" tanyaku hanya ingin mengetahui kejujurannya.

Uhuk uhuk uhuk ....

Tiba-tiba Ardian batuk mendengar pertanyaan dariku.

"Kenapa? Apa pertanyaanku ada yang salah?"

Ardian terlihat menutup bibirnya yang masih terus batuk.

"Be - belum. Aku belum menikah. Kamu sendiri?"

Ingin rasanya tangan ini menamparmu, Ardian. Bisa-bisanya kamu bilang belum menikah.

"Aku juga belum. Masih fokus dengan. karier dulu," terpaksa mengikuti kebohongannya.

Setelah beberapa saat mengobrol. Akhirnya pesanan kami datang.

***

Kuhempaskan tubuh di atas kasur dengan mengingat pertemuanku tadi dengan Ardian—suamiku. Pertemuan pertama kali setelah aku pergi dari rumahnya selama satu tahun ini.

Rasanya semakin sakit ketika dia memperlakukan diriku begitu baik saat menjadi Rubi.

Apa karena status sosial Rubi sederajat denganmu, Ardian? Sampai kamu buta, bahwa sebenarnya aku ini Sundari—istrimu. Perempuan kampung yang kehadirannya dianggap sebagai pembantu saja.

Drrttt drrttt drrttt

Ponsel di sampingku bergetar.

Ardian? Ngapain dia telepon aku malam-malam begini?

"Assalamu'alaikum, Ardian. Ada apa, ya?"

"W*'alaikumsalam. Apa aku sudah mengganggu kamu, Bi?"

"Oh, tidak. Hanya saja aku bingung kenapa kamu telepon malam-malam begini?"

"Kalau kamu ada waktu, aku ingin mengundang kamu makan malam di rumah, Bi. Itupun kalau tidak keberatan."

Ardian mengundangku makan malam?Ayo Sundari, kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Ma - makan malam? Di rumah kamu?"

"Iya, Bi. Makan malam di rumahku. Nanti sekalian aku kenalkan sama Mama."

Secepat ini dia mengajakku ke rumahnya? Hah ... tidak salah? Baru ketemu tadi siang dan sekarang sudah berani mengajakku ke rumahnya. Tapi lebih cepat lebih baik.

"Boleh-boleh saja. Asal tidak merepotkan."

"Aku yang mengundang, Bi. Jadi tidak merepotkan sama sekali."

Kini jalanku untuk membalas semua perbuatan mereka begitu terbuka lebar.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tati Sahati
I am enjoying reading thoorr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status