"Bukan, maksud ibu. Di daerah itu, ibu nggak kenal siapapun kecuali teman ibu. Itu pun udah lama nggak ketemu. Lagian, tak mungkin juga teman ibu ketemu dengan Dafa saat itu," kata ibu.Sepertinya ibu benar-benar menutupi sesuatu. Aku sangat penasaran, tapi tak mungkin kudesak terus. Lebih baik aku mundur saja dulu, biar Ayah yang melanjutkan penyelidikan."Ya sudah, Bu. Karena sudah malam, aku permisi dulu kalau gitu," ucapku."Ya sudah. Kamu pulang sama siapa? Udah malam loh ini," katanya."Ada teman di depan, Bu.""Eh, kamu nggak ibu suguhi. Ya sudah, sebentar. Ibu punya asinan di belakang, kamu bawa ya buat oleh-oleh!" "Aku juga baru bawakan oleh-oleh buat Ibu. Tak usah ibu membawakan untukku, buat ibu saja, Bu," ucapku.Tapi ibu memaksa, ia tetap masuk ke dalam. Otomatis aku menunggunya dulu.Lalu, aku fokus pada ponsel ibu yang tergeletak di meja. Aku tergoda untuk membuka ponsel ibu. Lalu, kusiapkan ponselku untuk memotret jika ada bukti yang bisa kuambil.Saat kulihat di pang
"Sarah, kamu sedang di sini?" ternyata suara Ayah yang membuatku tergerak untuk menengok.Ayah turun dari mobilnya bersama Ibu."Kenapa turun? Ayo jalan terus, sebentar lagi kan sampai rumah," kataku."Nggak, Ayah mau ketemu cucu Ayah di sini," katanya.Kulihat Geri sudah menghilang, tadi dia ada di sini. Oh, mungkin dia sungkan dan langsung pulang."Ya sudah, Yah. Biar kita numpang mobil ayah buat pulang."Kami pun naik mobil Ayah bersama menuju rumahku."Sudah sarapankah ayah dan ibu?" tanyaku karena mereka datang terlalu pagi."Sudah," jawabnya."Sarapan lagi. Aku ada roti Unyil dari Bogor. Ada juga asinan, tapi mungkin nanti saja dimakannya, ya! Agak siangan, maknyus kayaknya," ucapku."Wah, kamu dapet dari mana?" tanya Papa."Asinan dari ibu. Kalau roti beli dijalan saat mau pulang," jawabku.Ayah mengerutkan keningnya, ia mengubah posisi duduk, semakin mendekat padaku."Maksudmu kamu mengunjungi ibunya Dafa?" tanya Ayah."Ya. Tau nggak Yah, Bu, apa yang aku temukan?" "Apa? Duh
"Yah, memangnya Mas Ari sudah punya istri?" tanyaku.Ayah menautkan kedua alisnya, ia malah tertawa. Lalu meminum teh di hadapannya."Bukan Ari, tapi kakaknya, Anto. Ia sudah duda, ia yang akan dijodohkan denganmu. Saat ini ia tinggal di Surabaya," kata Ayah.Aku benar-benar tak habis pikir. Mengapa aku harus menikah dengan kakaknya Mas Ari? Apa karena aku janda? Jadi tak pantas untuk menikah dengan berondong?Pikiran jelek terus saja bersarang di kepalaku."Memangnya anak Om Agus ada berapa, Yah?""Ada dua. Yang mau dijodohkan denganmu anak pertamanya," ucap Ayah. "Mudah-mudahan kamu setuju dengan perjodohan ini," tambahnya.Aku terdiam. Mas Ari sebenarnya juga ingin menikahiku. Bisakah ia meyakinkan orang tuanya agar bisa meminangku?"Aku pikirkan lagi ya, Yah."Setelah itu kami melanjutkan aktivitas bersama. Ayah langsung menghubungi anak buahnya untuk menyelidiki dimana Mas Dafa berada. Termasuk menyelidiki ibu mertua, ia menyimpan sesuatu pastinya.***Saat di kantor, aku menerim
"Memangnya kenapa, Yah?" tanyaku. Aku benar-benar tak mengerti dengan alasan Ayah."Itu karena ... Geri adalah Dafa. Ayah belum memiliki bukti menyeluruh. Tapi, penyelidikan mengarah pada Geri," ungkap Ayah.Irama jantung ini semakin berpacu cepat. Ada rasa takut yang menyelimutiku saat ini. Mengapa semua harus seperti ini?Kenyataan Geri adalah Mas Dafa? Apa bisa kupikirkan dengan akal sehatku sementara wajah mereka memang berbeda. Mas Dafa biasanya mencukur rambutnya sebelum panjang. Ia biasa berambut cepak. Sementara Geri, ia berambut lurus dan dibelah tengah.Wajahnya pun jelas berbeda karena Geri wajahnya mirip artis, ganteng tapi hidungnya nampak bengkak. Aku nggak kepikiran wajahnya hasil operasi plastik.Baru tersadar sekarang, mungkin itu salah satu efek dari operasi plastik. Semua jadi bengkak, jadi wajah berbeda dengan wajah asalnya."Yah, wajah Geri dan Dafa berbeda," ucapku."Dia dan istrinya operasi plastik. Tapi di tempat yang bukan rumah sakit khusus. Ayah kira nanti
"Nggak, Yah. Biarlah hanya aku yang tau mengenai ini. Aku tak mengharapkan ia juga mencintaiku. Cukup dengan perasaanku saja dalam hati ini," sahutku.Ayah mengerutkan keningnya. "Wah, anakku ternyata mencintai orang itu dengan dalam. Kalau kamu mau memperjuangkan cintamu, ayo. Ceritakan pada Ayah, nanti Ayah takkan memaksakan perjodohan ini. Mudah-mudahan kalian nanti jodoh," katanya.Aku tak mungkin bisa mengatakannya. Toh, Ayah merestuiku dengan Anto, tidak dengan Mas Ari."Nggak, Yah. Biarlah kusimpan saja sendiri. Kalau jodoh pun takkan kemana nanti. Yang pasti aku tak mau dengan Mas Anto. Plis Yah jangan paksa aku!" Ayah semakin heran dengan sikapku. Namun ia menerima itu. Aku harus jangan menyesali keputusan nantinya.***Setelah tau kabar dari Ayah, sembunyi-sembunyi aku memasang CCTV di ruangannya Geri. Aku ingin tau kebenaran itu. CCTV dihubungkan dengan ponselku, aku bisa melihat apa yang ia lakukan di sana.Di rekaman hari ini, saat jam istirahat aku melihat ada gambar G
"Hidung saya sensitif, Bu," jawabnya. "Pokoknya gitu deh, saya permisi dulu ya, Bu. Lupa ada kerjaan lain yang belum saya kerjakan," katanya."Oh, gitu. Ya sudah kalau gitu." Kubiarkan Geri atau Mas Dafa pergi meninggalkanku sendiri. Biarlah yang penting aku sudah bisa membuatnya tak bisa menjawab pertanyaanku. Itu berarti memang dia salah.Sekarang aku sedang memikirkan langkah selanjutnya. Akan kubuat kamu dan istrimu masuk penjara karena kejahatan kalian selama ini.***"Yah, gimana sudah dapat saksi kunci?" tanyaku pada Ayah di telepon."Hampir dapat ini, doakan Ayah ya, Sar.""Baiklah, aku sudah punya satu bukti juga," sahutku. "Sempat punya nomor Mas Dafa juga, tapi ternyata nomornya hanya sekali buang. Dia pintar, kalau menghubungi pake nomor sekali buang kayaknya.""Baiklah nggak apa-apa, kamu tenang saja. Nanti ayah hubungi lagi, ya!"Setelah itu, aku mendapat kabar kalau Geri tidak masuk karena istrinya masuk rumah sakit. Entah apa penyebabnya, aku tak tau. Padahal rumah kam
"Nggak bisa, Sarah. Soalnya ia sangat terkait di kasus ini. Semua atas rencana ibunya, jadi ia yang merancang," ucap Ayah."Sangat disayangkan, Yah. Aku kasihan sama ibu. Ia begitu karena sayang pada anaknya. Bisakah Ayah mengeluarkannya?" Ayah mengerutkan dahinya, kemudian matanya menatapku."Tidak!" tegasnya.Kalau Ayah sudah bilang tidak, aku lebih baik diam saja.Lalu Ayahku menerima telepon dari kepolisian, mereka mengabarkan kalau Mas Dafa meninggal kena serangan jantung."Bagaimana ini? Sekarang Dafa meninggal beneran. Mau dibawa ke rumahmu atau gimana?" tanya Ayah.Aku jadi bingung. Selama ini ia dikenal sebagai Geri. Rumahnya juga di sebelah, ibu ditahan. Para ipar jauh, paling adiknya Fania yang bisa kuhubungi."Ya sudah, kita langsung bawa ke pemakaman bisa, yah?" tanyaku pada Ayah. "Karena aku merasa tak enak nanti dengan para tetangga," jawabku."Bisa. Oke kita mandikan sekalian di rumah sakit. Dari sana langsung kita makamkan bareng-bareng," kata Ayah."Baiklah. Aku set
"Siapa mereka, Mas? Mengapa mereka mirip wartawan yang sering meliput berita?" tanyaku."Iya sepertinya mereka memang wartawan. Mungkin kasus Alm Dafa ini sudah terdengar oleh para wartawan, sehingga mereka ingin meliput di sini," ucap Mas Ari.Kemudian Ayah menghampiri kami."Kemarin kebetulan ada yang nanya sama Ayah. Makanya ayah minta mereka datang saja agar semua kebenaran terungkap. Kisah Dafa ini bisa jadi pembelajaran bagi semua pihak, agar tak ada lagi yang bisa mengubah identitasnya seenaknya. Lagipula sejak awal terungkap kemarin, beberapa media cetak online dan offline sudah memberitakannya," ucap Ayah."Iya benar sih, Yah. Tapi kemungkinan nanti aku pun akan terkenal juga kalau seperti ini. Mereka pasti menanyaiku," terkaku. "Aku hanya tak mau kisahku terungkap di media. Nanti aku diberitakan macam-macam lagi, Yah." Aku ketakutan jadinya."Nggak usah khawatir. Nanti kita bisa minta agar tak usah terlalu di ekspos aja. Kalau diwawancarai kamu jawab seadanya, itu lebih baik