"Mau kemana, Mas?" tanyaku saat ku pulang, ia malah berkemas membawa ransel dan tas besar."Papa mau kemana?" tanya Reza anak kami. "Papa mau ke rumah Nenek di Bogor," jawabnya."Aku ikut, Pa!" pinta Reza. Ia memeluk papanya dari depan.Dafa bergeming. Ia hanya menyingkirkan Reza dari hadapannya."Nggak bisa! Kamu sama Mama aja. Mama lebih membutuhkan kamu daripada Papa," jawab Mas Dafa.Reza menangis dan berlari kearahku."Ma, Papa mau pergi. Eza nggak boleh ikut!" katanya sambil terisak."Nggak apa-apa, Za. Kamu sama Mama aja. Nanti kita lupain Papa aja dengan jajan di alf*mar*," jawabku.Mas Dafa menoleh, lalu memandangku penuh kebencian."Apa maksud perkataanmu, Sarah?" tanyanya sembari membulatkan kedua matanya."Iya, Reza harus melupakan kejadian hari ini. Mungkin dengan mengajaknya jajan, ia lupa permasalahannya denganmu," jawabku."Kamu tuh jadi istri, nggak ada bagus-bagusnya. Bicara pun menyakiti suaminya," katanya.Aku diam. Biar saja dia mengoceh sesukanya. Setelah ini, a
"Bu ... Mas Dafa mendua. Ia menikahi karyawan di kantor sekitar dua bulan lalu. Aku baru mengetahuinya, Bu. Mas Dafa membawa pindah istri barunya ke Bogor," kataku.Ibu terkejut, matanya membulat sempurna. Ia pun terlihat menghela napas kasar."Apa? Benarkah itu Sarah? Ibu sepertinya tak percaya. Menurut ibu, ia laki-laki baik dan bertanggung jawab, Sar." Ibu tetap tak percaya."Benar, Bu. Aku punya banyak bukti karena dapat dari Agung, penjaga rumah kami di Bogor ini. Ini Bu kalau mau lihat foto pernikahan mereka." Kuperlihatkan ponsel yang menampilkan foto saat Mas Dafa menikahi Ranti.Ibu menutup mulutnya, lalu bulir bening keluar dari sudut matanya. Ibu menangis melihat bukti-bukti yang kubawa."Ya Allah, Dafa. Kamu keterlaluan. Malah mengkhianati istri dan anakmu!" Ibu berkata sembari menatap ke depan."Lalu apa rencanamu sekarang, Sarah?" tanya ibu."Aku akan mendatangi rumah perempuan itu, Bu! Sekarang ia tinggal bersama ibu dan adiknya di sebuah kontrakan," jawabku."Kamu bena
Kami masih menunggu Mas Dafa dan Ranti datang. Ibunya Ranti shock, sedari tadi ia diam. Namun, air mata tak henti keluar dari sudut matanya.Aku dan Ibu masih menunggu mereka. Namun, ada rasa tak enak hati pada ibunya Ranti.Ternyata ia pun dibohongi oleh kedua orang itu. Mereka sudah menikah diam-diam, itu berarti mereka telah melanggar hukum yang berlaku. Jika terpaksa, aku akan memperkarakan mereka ke ranah hukum."Silahkan diminum, Bu!" ucap Sang Ibu lemah. "Saya malu dengan kelakuan anak saya. Tak menyangka akan seperti ini." Ia berkata dengan pelan dan terisak."Harusnya ibu cari tau dulu asal usul calon mantu. Jangan asal setuju aja. Selama ini ibu belum pernah ketemu besan kan?" Ibu Mertuaku murka. Dari sejak datang ia marah besar. Tak terima dengan perbuatan anaknya yang telah mengkhianati pernikahannya denganku."Ya, Bu. Saya salah memang tidak terlalu fokus dengan itu. Saya hanya orang kecil. Saat Pak Dafa datang, bagai berkah yang datang dari Allah. Saya ambil sisi positif
"Katakan Dafa! Apa benar kamu mencur* perhiasan Sarah?"Ia masih bergeming. Aku juga kesal melihatnya."Katakan Dafa! Atau ibu akan b*nuh diri karena gagal dalam mendidikmu. Ibu gagal menjadikanmu laki-laki yang baik dan bertanggung jawab," kata ibu.Aku mendekati ibu, lalu merangkulnya."Jangan Bu! Ibu tak boleh berbuat serendah itu demi laki-laki yang tak punya harga diri ini," kataku.Kemudian aku mendekati Ranti."Lepaskan seluruh perhiasan itu! Kamu tak pantas memakainya!" Aku menggertak Ranti.Ranti diam saja, ia malah memandangku dengan sinis. Wanita ini memang ngelunjak sekarang."Ya sudah, aku kembalikan semuanya. Lagian nanti juga Mas Dafa belikan perhiasan lagi buatku. Ambil saja ini! Kamu mau mengakuinya, ambil!" katanya sembari melemparkan perhiasan ke atas meja.Sontak aku mendekat padanya lagi. Ingin sekali kutampar mulutnya yang songong ini, tapi aku membatasi diriku agar tidak berbuat bar-bar. Aku mengambil perhiasanku di atas meja.Kemudian saat ini ibunya Ranti yang
"Bagaimana ya?" jawab Ibu ragu."Iya, bagaimana Bu? Aku sudah kesal dan muak dengan tingkah Mas Dafa dan Ranti. Aku ingin mereka jera. Dengan melaporkan perbuatan mereka, aku yakin mereka akan bertaubat." Aku meyakinkan Ibu Mertua."Tapi, Sar? Dafa itu suamimu dan ayah dari anakmu. Apa kamu nggak malu nanti kalau suamimu dipenjara? Nanti kalau ada yang meledek anakmu gimana? Sekarang saja ia sudah empat tahun dan sebentar lagi masuk SD," kata Ibu.Ibu ternyata tak benar-benar murka pada anaknya. Ia tak bisa melihat Mas Dafa masuk jeruji besi. Aku takkan membahasnya lagi. Biar itu jadi urusanku. Toh, yang sakit hati itu aku. Akulah yang berhak menentukan hukuman buat mereka."Iya, Bu. Aku tau itu, tapi aku tak mau memikirkan hal itu. Mereka tak berhak bahagia di atas penderitaanku, Bu. Anakku mungkin nanti mengerti kalau Papanya tak bisa dipertahankan karena perbuatannya yang memang tak bisa dimaafkan. Sampai saat ini pun, Mas Dafa tak ingin kembali padaku. Ia tetap bertahan dengan Ran
"Baiklah, Mas. Aku setuju. Tapi sebelum laporan, kita ke rumah seseorang dulu. Aku mau mencari bukti rekaman suara Agung. Ia adalah pengurus rumah yang Mas tinggali kemarin," kataku."Oh, iya tau. Agung kan?" "Iya.""Tapi, setauku Agung itu tipe orang yang prioritasnya uang. Karena orang tuaku pernah menguji orang itu. Bilang padanya kalau kami orang tak punya, mau nggak kalau ia bantu kami? Ternyata ia tak datang-datang lagi. Namun, setelah ia tau aku bawa mobil mewah, ia langsung mau ketika disuruh-suruh oleh orang tuaku. Jadi kami bisa menyimpulkan seperti itu. Maaf jika kamu tidak berkenan," katanya.Ternyata ada kabar buruk tentang kelakuan Agung. Memang benar sih, aku kemarin langsung memberinya sejumlah uang ketika aku tau ia dipukuli dan itu pasti oleh orang suruhannya Mas Dafa.Aku akan membuktikannya setelah ini. Apakah ia akan membantuku dengan tulus? Atau ia mengharapkan imbalan sejumlah uang?***Aku sengaja memarkirkan kendaraanku di rumah Ayah. Mas Ari menunggu di sana
"Silahkan." Kemudian kami ditanyai oleh Polisi. Setelah memberi keterangan dan data pada polisi, mereka akan mengusahakan untuk melakukan penangkapan terhadap Mas Dafa dan Ranti.Menurut Pak Polisi, mereka dijerat pasal berlapis Menikah diam-diam, yaitu pasal 279 ayat 1 KUHP dan pencurian yaitu pasal 362 KUHP. Setelah melapor, aku merasa lega karena sudah berikhtiar untuk mencari keadilan. Karena Mas Dafa dan Ranti memang keenakan kalau dibiarkan. Aku benar-benar tak rela mereka bahagia diatas kesedihanku. "Mas Ari, terima kasih atas bantuanmu. Aku pamit ya!" ucapku."Kamu nggak mau makan dulu, Sar? Aku ada tempat makan enak loh deket sini," sahut Mas Ari."Nggak deh, lain kali aja. Kasihan anakku di rumah orang tua," tolakku."Oke, baiklah kalau begitu. Hati-hati dijalan. Apa perlu aku supirin sampe Bogor?" tanyanya."Nggak usah deh. Aku masih kuat kok!" sahutku sembari mengangkat lengan kiriku dengan tangan terkepal."Hehe, pantes. Kamu benar-benar wanita yang kuat. Semoga semua b
"Dafa dan Ranti ternyata sudah tak tinggal di rumah itu. Hanya ada ibu dan adiknya Ranti. Mereka sudah kabur dari rumah itu. Tapi polisi janji bakal mencarinya," kata Mas Ari.Ya Allah, mereka lebih cepat beraksi dibanding aku. Kemana perginya mereka? Namun aku yakin, mereka pasti tetap susah untuk beraktivitas nanti."Ya sudah, Mas. Pasti nanti mereka ketemu sama Polisi karena mereka udah ditandain Polisi dan biasanya kan Polisi mencari mereka sebagai DPO, ya kan?""Iya, betul. Aku bangga sama kamu, bisa sangat santuy melaluinya. Semangat ya, Sarah!" ucapnya."Makasih, Mas!"Setelah itu, Mas Dafa meneleponku."Sarah, aku sudah pergi ke suatu tempat. Kamu salah kalau kamu bisa menangkapku. Ibuku takkan tega kalau anaknya ditangkap. Jadi ia langsung memberi tahuku. Selain itu, ia membekaliku uang yang banyak. Makanya, aku dan Ranti gegas pergi dari Bogor. Kamu takkan bisa menangkapku, Sarah!""Oh seperti itu. Baiklah, tak apa Mas. Tunggu saja, yang namanya balasan dari setiap perbuatan
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah