Klik.
Video itu sudah terkirim. Aku segera turun dari kursi lalu dengan gerakan perlahan, aku mengembalikan kursi itu.Aku menghela nafas dan menguat-nguatkan hati masuk ke dalam kamar dan melihat ponselku."Masih centang satu. Kenapa hp tuan Andi tidak aktif?" gumamku bingung.Mendadak suara dan bayangan mas Damar dan nyonya Larasati terputar lagi di memori, membuat air mata menetes kembali. Gegas kuusap kasar air mataku, lalu aku mulai menyemangati diri sendiri."Awas saja kalian. Sekarang kalian memang bisa puas-puasin diri. Tapi tunggu saja saat Tuan Andi sudah pulang ke rumah ini," gumamku penuh dendam.Aku membuka F******k dan mulai mengubah pengaturannya menjadi privasi. Lalu mengirim video mas Damar ke akun facebookku."Oke. Untuk sementara aku akan menyimpan video ini di akun f******k untuk berjaga-jaga kalau mas Damar menemukan dan menghapus video ini.Perasaanku menjadi harap-harap cemas saat melihat pesan w******p yang hanya centang satu. Ini jelas sudah terkirim, tapi ponsel Tuan Andi yang tidak aktif.Baiklah, kalau begitu kuberi password saja hp ku agar mas Damar tidak bisa membuka hpku.Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamar.Aku pura-pura memejamkan mata. Terdengar gemerisik tempat tidur di sampingku. Lalu hening. Sepertinya mas Damar langsung tidur.Sementara aku sampai subuh tetap tidak bisa memejakan mata. Dan keesokan harinya sudah bisa kutebak saat melihat mas Damar mandi keramas lagi."Mandi lagi, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata."Kok kamu sudah bangun?""Udah dong. Emang kenapa sih kalau aku sudah bangun?" sahut sambil berlalu dari tempat tidur."Lho, kamu enggak minta jatah?" tanyanya heran. "Biasanya kamu manja dan peluk-peluk kalau aku habis mandi? Ayo, kita lakukan, Mut!"Mas Damar mendekat dan memelukku dari belakang. Sungguh, antara hati dan pikiranku bertolak belakang. Pikiranku mengatakan untuk menolaknya karena mas Damar telah menyentuh perempuan lain.Sedangkan hatiku mendorongku untuk menerima pelukannya dan melakukan hal itu.Aku menghela nafas kasar. 'Ogah. Kamu kan sudah k*lon dengan Nyonya Laras kok, jangan harap kamu bisa menyentuhku lagi, Mas,' batinku."Enggak mood. Lagi mens," sahutku sekenanya dan segera menuju ke kamar mandi."Mut, kok ponsel kamu sekarang pakai password?" tanya mas Damar setelah aku kembali dari buang air kecil.Terlihat dia mengotak-atik ponselku. Aku mendelik dan mendekat ke arahnya."Kamu tanya kenapa hp ku sekarang pakai password, Mas? Coba ngaca! Dari beberapa hari yang lalu hp kamu pakai password juga kan? Saat aku protes, kamu bilang ponsel itu barang pribadi."Aku mengambil ponselku dan memasukkan nya ke dalam saku daster."Jawabanku sama denganmu, Mas. Hp ini barang pribadiku. Jadi aku pakai password," tukasku dan keluar meninggalkan kamar menuju dapur.*Aku menatap nyonya Larasati yang sedang berenang di kolam tengah rumahnya. Baju renangnya merah cerah, kontrak dengan kulitnya yang putih.Memang wajahnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya mulus dan badannya bagus. Aku mendesah membandingkan nya dengan diriku yang biasa saja.Apalagi di sudut taman, tampak mas Damar yang sedang memotong rumput dan membersihkan daun-daun yang berserakan.Tampak jelas dari pintu dapur, Mas Damar dan Nyonya Larasati saling bertukar pandang dan senyum.Aku meremas pisau dapur dengan erat. 'Sabar Mutia, Sabar. Aku tidak mau ditangkap polisi karena melakukan tindakan konyol.Lagipula aku masih butuh kerja untuk mengirimkan gaji ke ibu yang ada di kampung. Kalau aku harus berpisah dari mas Damar, paling tidak aku sudah harus menemukan pekerjaan pengganti lebih dulu,' bisikku.Akhirnya mau tidak mau aku melanjutkan pekerjaan memasak makanan untuk sarapan pagi nyonya Larasati.Seraya tak lupa aku mengecek video yang telah kukirimkan pada tuan Andi."Kamu sedang lihat apa, Mut? Serius amat," sapa Nyonya Larasati yang mendadak ke dapur. Wajah nya segar setelah berenang. Walaupun dia mengenakan kimono handuk, tapi hal itu justru membuat kemolekan tubuhnya tercetak.Ah, irinya bisa menjadi orang kaya. Eh, istri orang kaya. Bisa memanjakan dan merawat diri.Dengan tenang aku tersenyum dan memasukkan ponsel ke saku daster. "Cuma lihat-lihat resep kok nyonya," sahutku tenang.Mendadak terdengar suara mobil memasuki halaman rumah besar ini, membuat nyonya Larasati menoleh ke arah depan.Next?Yuk yang mau baca lebih cepat, bisa mampir ke KBM app. Otewe bab 11 ya.Judul : Suamiku di Ranjang Sang NyonyaNama pena: Ananda Zhialik.Video itu sudah terkirim. Aku segera turun dari kursi lalu dengan gerakan perlahan, aku mengembalikan kursi itu.Aku menghela nafas dan menguat-nguatkan hati masuk ke dalam kamar dan melihat ponselku."Masih centang satu. Kenapa hp tuan Andi tidak aktif?" gumamku bingung.Mendadak suara dan bayangan mas Damar dan nyonya Larasati terputar lagi di memori, membuat air mata menetes kembali. Gegas kuusap kasar air mataku, lalu aku mulai menyemangati diri sendiri."Awas saja kalian. Sekarang kalian memang bisa puas-puasin diri. Tapi tunggu saja saat Tuan Andi sudah pulang ke rumah ini," gumamku penuh dendam.Aku membuka F******k dan mulai mengubah pengaturannya menjadi privasi. Lalu mengirim video mas Damar ke akun facebookku."Oke. Untuk sementara aku akan menyimpan video ini di akun f******k untuk berjaga-jaga kalau mas Damar menemukan dan menghapus video ini.Perasaanku menjadi harap-harap cemas saat melihat pesan w******p yang hanya centang satu. Ini jelas sudah terkirim, tapi ponsel Tuan Andi yang tidak aktif.Baiklah, kalau begitu kuberi password saja hp ku agar mas Damar tidak bisa membuka hpku.Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamar.Aku pura-pura memejamkan mata. Terdengar gemerisik tempat tidur di sampingku. Lalu hening. Sepertinya mas Damar langsung tidur.Sementara aku sampai subuh tetap tidak bisa memejakan mata. Dan keesokan harinya sudah bisa kutebak saat melihat mas Damar mandi keramas lagi."Mandi lagi, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata."Kok kamu sudah bangun?""Udah dong. Emang kenapa sih kalau aku sudah bangun?" sahut sambil berlalu dari tempat tidur."Lho, kamu enggak minta jatah?" tanyanya heran. "Biasanya kamu manja dan peluk-peluk kalau aku habis mandi? Ayo, kita lakukan, Mut!"Mas Damar mendekat dan memelukku dari belakang. Sungguh, antara hati dan pikiranku bertolak belakang. Pikiranku mengatakan untuk menolaknya karena mas Damar telah menyentuh perempuan lain.Sedangkan hatiku mendorongku untuk menerima pelukannya dan melakukan hal itu.Aku menghela nafas kasar. 'Ogah. Kamu kan sudah k*lon dengan Nyonya Laras kok, jangan harap kamu bisa menyentuhku lagi, Mas,' batinku."Enggak mood. Lagi mens," sahutku sekenanya dan segera menuju ke kamar mandi."Mut, kok ponsel kamu sekarang pakai password?" tanya mas Damar setelah aku kembali dari buang air kecil.Terlihat dia mengotak-atik ponselku. Aku mendelik dan mendekat ke arahnya."Kamu tanya kenapa hp ku sekarang pakai password, Mas? Coba ngaca! Dari beberapa hari yang lalu hp kamu pakai password juga kan? Saat aku protes, kamu bilang ponsel itu barang pribadi."Aku mengambil ponselku dan memasukkan nya ke dalam saku daster."Jawabanku sama denganmu, Mas. Hp ini barang pribadiku. Jadi aku pakai password," tukasku dan keluar meninggalkan kamar menuju dapur.*Aku menatap nyonya Larasati yang sedang berenang di kolam tengah rumahnya. Baju renangnya merah cerah, kontrak dengan kulitnya yang putih.Memang wajahnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya mulus dan badannya bagus. Aku mendesah membandingkan nya dengan diriku yang biasa saja.Apalagi di sudut taman, tampak mas Damar yang sedang memotong rumput dan membersihkan daun-daun yang berserakan.Tampak jelas dari pintu dapur, Mas Damar dan Nyonya Larasati saling bertukar pandang dan senyum.Aku meremas pisau dapur dengan erat. 'Sabar Mutia, Sabar. Aku tidak mau ditangkap polisi karena melakukan tindakan konyol.Lagipula aku masih butuh kerja untuk mengirimkan gaji ke ibu yang ada di kampung. Kalau aku harus berpisah dari mas Damar, paling tidak aku sudah harus menemukan pekerjaan pengganti lebih dulu,' bisikku.Akhirnya mau tidak mau aku melanjutkan pekerjaan memasak makanan untuk sarapan pagi nyonya Larasati.Seraya tak lupa aku mengecek video yang telah kukirimkan pada tuan Andi."Kamu sedang lihat apa, Mut? Serius amat," sapa Nyonya Larasati yang mendadak ke dapur. Wajah nya segar setelah berenang. Walaupun dia mengenakan kimono handuk, tapi hal itu justru membuat kemolekan tubuhnya tercetak.Ah, irinya bisa menjadi orang kaya. Eh, istri orang kaya. Bisa memanjakan dan merawat diri.Dengan tenang aku tersenyum dan memasukkan ponsel ke saku daster. "Cuma lihat-lihat resep kok nyonya," sahutku tenang.Mendadak terdengar suara mobil memasuki halaman rumah besar ini, membuat nyonya Larasati menoleh ke arah depan.Next?Bunyi bel pintu terdengar dan Larasati memandang Mutia. Perempuan berkimono handuk itu mengarahkan dagunya ke arah depan. Mutia mengangguk dan bergegas meletakan sendok sayur lalu meninggalkan ruang makan menuju ke arah ruang tamu. Dia tercengang saat melihat tuan Andi berdiri di depan pintu rumah. "Tuan sudah pulang?" tanya Mutia tidak percaya dengan sosok tinggi besar yang berdiri di hadapannya. Lelaki berusia lima puluh tahun itu masih tampak gagah. Bahkan meskipun uban menutupi kepalanya, penampakan lelaki itu masih terlihat tegap dan kuat di umurnya yang sudah memasuki 52 tahun. Kemeja, dasi, dan jas mahal membuat penampilan nya semakin berharga. Dilonggarkan nya dasi warna marun dari leher nya lalu menatap Mutia dengan ramah seperti biasanya. Tanpa ucapan apapun, tuan Andi masuk ke dalam rumahnya melewati Mutia. Sebuah koper berwarna hitam beroda diseret lelaki itu.Mutia mengerjap-ngerjapkan mata dan berjingkat mengikuti lelaki tua itu. Tidak ada perubahan sikap dari lelaki
Mutia berjalan perlahan ke arah ruang tengah, dia lalu mengeluarkan ponselnya. "Tunggu, kalau aku melaporkan pak Andi dan Bu Laras ke Bu Mawar, jangan-jangan nanti malah ada keributan. Bisa-bisa aku enggak kerja di sini lagi. Padahal aku kan masih butuh duit. Duh. Tapi kalau aku diem'in aja tentang perselingkuhan Bu Laras dan mas Damar, ck, enak aja. Nggak sudi dong. Apa aku melipir saja pada Bu Mawar. Siapa tahu bisa kerja di tempat Bu Mawar kalau aku memberikan informasi tentang istri kedua suaminya.Nggak salah dong ya kalau aku berusaha membalas kecurangan yang telah mereka lakukan padaku? Emangnya hanya orang kaya yang bisa sakit hati? Aku juga punya hati lah! Enak aja menyakiti Mutia!"Mutia pun lalu mengambil ponsel. "Aku harus tahu alamat rumah atau paling tidak akun media sosial Bu Mawar alias istri pertama pak Andi."Mutia lalu mencari akun Facebook dengan nama Mawar. "Ck, kenapa banyak banget nama mawar di sini?"Mutia lalu menggulir layar ponsel nya dengan perlahan. "M
'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos. Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia. "Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu. 'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia. "Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut. "Apa mbaknya bisa dipercaya?" "Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius
Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya. Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh. Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya. "Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara. "Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon. Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepe
Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O