'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos.
Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia."Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu.'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia."Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut."Apa mbaknya bisa dipercaya?""Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius banget. Sampai Mas harus mencari seseorang yang bisa dipercaya ya?""Betul Mbak. Ini urusan pribadi keluarga saya. Menyangkut nama besar dan bisnis keluarga. Bisa-bisa malah sampai ke ranah hukum, Mbak."Mutia melongo. "Saya bisa dipercaya, Mas. Tenang saja. Jadi apa yang harus saya lakukan?"Pemuda itu menatap ke arah Mutia dengan serius. Membuatnya menjadi salah tingkah. Mutia segera berusaha mengendalikan diri. Dan balik menatap manik mata pemuda itu."Baiklah. Ini kartu nama dan nomor ponsel saya. Kalau mbaknya mengetahui papa saya ada disini, segera hubungi saya. Apalagi kalau mbaknya bisa tahu perempuan yang bersama papa saya. Saya akan memberikan uang lebih banyak pada mbaknya."Otak Mutia segera bekerja cepat dan mengalami kenaikan Pentium saat mendengar bahwa pemuda itu bersedia membayarnya.Mutia menatap kartu nama pemuda itu. "Aksara Sanjaya," gumam Mutia."Nama saya Aksara, panggil saja Aksa."Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah Mutia yang masih mengamati kartu nama Aksara."Baiklah. Pak Aksa, nama saya Mutia. Saya akan memberi tahu tentang papa pak Aksa jika melihat beliau di daerah sini sekaligus saya akan merahasiakan semua hal yang berkaitan dengan beliau dan keluarga Pak Aksa."Mutia menjabat tangan Aksara dengan mantap. Lelaki itu menghela nafas panjang."Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Saya sangat menantikan informasi dari mbak Mutia."Mutia mengangguk dan pemuda itu meraih sepeda kayuhnya lalu menjauhi rumah yang ditempati oleh Mutia.Yu Nem berdehem sambil mendekat ke arah Mutia."Cie, siapa dia, Mut? Kamu diam-diam menghanyutkan ya? Duh, aku kira kamu cupu, tapi ternyata kamu suhu juga."Mutia melirik Yu Nem dan tertawa. "Suhu apaan, Mbak? Suhu badan apa suhu ruangan nih?" tanya Mutia tertawa kecil."Heh Mut. Aku serius. Apa kamu kenal dengan pemuda tadi? Jadi kamu nyeleweng?""Aduh, Yu Nem nih. Mau tahu saja apa mau tahu bulat?""Astaga, Mutia. Jangan bercanda deh. Siapa laki-laki ganteng tadi?""Nggak tahu dan nggak kenal, Yu. Ya sudah, aku mau ngungkep ayam dulu."Mutia pun segera masuk ke dalam rumah meninggalkan biang gosip yang hanya bisa manggut-manggut kebingungan.Mutia berjingkat dan menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan Damar. Dia menghela nafas lega saat melihat Damar sedang menyikat kamar mandi.Mutia segera menuju ke dapur lalu memotret kartu nama milik Aksara dengan ponselnya secepat kilat lalu segera membakar kartu nama itu di atas kompor.Setelah membersihkan abu kartu nama Aksara, Mutia mencuci ayam, terung dan cabai.Bertepatan dengan saat itu Damar keluar dari kamar mandi dengan peluh bercucuran."Wah, rajin sekali ya kamu, Mas," puji Mutia tersenyum.Damar mengerucut kan bibirnya. "Ya gimana lagi. Kamu lagi dapet. Dan aku lagi pengen, ya sudah aku hanya bisa ngosek kamar mandi biar pikiran nggak kemana-mana," sahut Damar.Mutia sejenak menatap ke arah Damar. "Tapi kamu hebat lho, Mas.""Aku hebat? Maksudnya?""Kamu bisa kuat iman bekerja di sini. Padahal kamu tahu sendiri kan betapa cantik dan seksinya Bu Laras."Damar terlihat terkejut sekilas. Lalu lelaki itu tersenyum kembali."Aku kan sudah punya kamu, Mut. Bagaimana mungkin aku tergoda dengan perempuan apapun. Secantik apapun perempuan yang ada di depanku, tidak akan membuatku berpaling darimu," sahut Damar yakin."Hm, benarkah? Padahal aku tidak keberatan kalau berbagi suami dengan perempuan lain, lho Mas."Damar tercengang. "Hah? Masa Mut? Yang bener nih?""Iya dong. Tapi ya gitu. Kan kalau makan terong untuk dua orang nggak bisa utuh nih. Jadi harus dipotong dulu. Kayak gini nih."Mutia meraih terong yang telah dicuci nya bersih lalu meraih pisau besar dan mengayunkan nya ke arah terong.Kres!Kres!Kres!Mutia memotong terong itu tanpa ampun membuat Damar bergidik ngeri. "Nah, kalau terong sudah terpotong gini kan baru bisa dibagi dengan adil. Nggak mungkin kan bisa membagi sesuatu tanpa memotongnya dengan adil lebih dulu?"Mutia menyeringai seraya mengacungkan pisau di tangan kanan dan terung di tangan kiri. Damar melongo."I-iya. Mas Paham, Mut. Turunkan pisaunya ya?" sahut Damar cemas."Oh, ya. Tunggu! Karena terung itu sayur yang enak dinikmati saat pedas, jangan lupa haluskan cabainya!"Mutia meraih cabai yang telah dicucinya dan menambahkan bawang merah, bawang putih, ke dalam Chopper lalu menghaluskan nya."Nah, terongnya baru siap, Mas. Memang terong harus dicabein nggak sih biar enak?" tanya Mutia menoleh dan tersenyum pada Damar."Ehm, Mut. Aku memilih setia kok. Eh, aku mau ngasih makan ikannya Bu Laras dulu. Tadi mulut ikan koi di kolam sudah mangap-mangap. Mungkin lapar," ujar Damar lalu melipir pergi dari dapur, meninggalkan Mutia yang masih berkutat dengan balado terongnya.***Mutia mendengarkan dengkur halus Damar dan setelah memastikan suaminya telah terlelap, dia meraih ponselnya lalu masuk ke aplikasi biru miliknya.Mutia mengetik nama Aksara Sanjaya di kolom pencarian dan keluarlah foto-foto keluarga milik Aksara. Tampak Aksara memakai jas putih sedang berfoto di depan rumah sakit mungil di kota itu.Ada foto Andi yang sedang menggandeng seorang perempuan cantik dengan dandanan elegan. Di samping Aksara, berdiri seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Aksara dan tampak lebih muda dari perempuan pertama."Jadi Pak Aksara itu kembar?" gumam Mutia. Dia membaca tagg foto itu. Dan benarlah perempuan di samping Andi adalah Mawar.Selintas ide muncul di pikiran Mutia. Perempuan berusia 20 tahun itu turun dari ranjang dengan perlahan lalu menuju ke ruang tengah rumah itu. Di ruang tengah itu, tampak foto pernikahan antara Andi dan Larasati berukuran besar dan di pasang di dalam pigura dengan bingkai berwarna keemasan.Mutia segera memotret foto yang tergantung di dinding ruang tengah itu lalu mengirimkannya ke nomor Aksara tanpa caption apapun.Maaf Bu Laras, Bu Laras juga harus merasakan sakit hati seperti apa yang saya rasakan karena pengkhianatan Bu Laras dan mas Damar,' batin Mutia.Terkirim. Dan langsung centang biru. Mutia menatap layar ponselnya dengan dada berdebar apalagi saat nomor Aksara langsung menelepon nya!Next?Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya. Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh. Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya. "Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara. "Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon. Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepe
Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
"Mama, tidak apa-apa?" tanya Novela saat Mawar terhuyung setelah menutup telepon dari Alex. Mawar memegang pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangan matanya mendadak kabur. Aksara dengan sigap menyangga tubuh Mawar dan memapahnya nya ke ranjang. "Nov, buatin mama teh hangat dan gorengkan nugget ayam. Nggak usah bangunin mbok Sumi, kelamaan. Aku mau ngambil tensimeter dulu dan CGM* dulu.""Oke." Novela membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar sang Mama. Sementara itu Aksara menatap sang mama yang masih memegangi kening. "Mama, tunggu di sini dulu. Aksa periksa kondisi mama, baru kita berangkat. Mama tenang ya. Tidak perlu terburu-buru. Aksa dan Nova selalu ada untuk mama."Mawar terdiam dan Aksapun melesat keluar dari kamarnya untuk menuju ruang tengah. Aksara memang menyimpan tensimeter, termometer, dan beberapa alat kesehatan serta obat pertama dasar yang dibutuhkan saat sakit di kotak P3K ruang tengah. Diambilnya tensimeter dan CGM lalu segera menuj
"Apa?!" Wajah Andi terkejut dan sontak menatap ke arah Larasati di sampingnya. Larasati mendelik dan menatap ke arah Mawar yang berdiri tegak di hadapannya. "Nggak Mas, aku hanya punya kamu. Aku hanya tidur dengan kamu, sungguh! Si tua ini berusaha mengadu domba kita. Sebaiknya kamu ceraikan saja dia, Mas. Dan kita bisa menikah!" seru Larasati menatap tajam ke arah Andi. "Bagus lah. Tidak masalah siapapun yang mengajukan cerai ke pengadilan agama. Toh, kita tetap akan berpisah. Jangan lupa kita bicarakan lagi hal ini lebih lanjut, Mas. Aku cuma butuh foto dan video kalian untuk ke pengadilan agama.""Mawar, tunggu! Kalau kamu menggugat cerai aku, aku akan menuntut mu ke pihak berwajib karena penghinaan dan pelanggaran privasi, Mawar!"Mawar tertawa. "Lalu apa mau kamu, Mas? Apa kamu mau aku tetap ada di sisi kamu sementara Larasati juga menjadi istrimu?" "Aku sudah menikahi Larasati dengan sah walaupun siri. Terimalah dia sebagai adik madumu!""Wah, kamu serakah ya? Sudah mempunya
"Maaf Pa. Keluarga kita sudah tidak utuh lagi saat papa selingkuh dan menikah lagi dengan perempuan lain. Papa anggap apa kami ini?" tanya Novela menahan rasa sesak di dada melihat laki-laki yang paling dia percaya bisa mengkhianati ibunya. "Aksa, bagaimana dengan kamu?! Kamu mau kan kita tetap bersama?""Tidak Pa. Saya yang laki-laki saja mual dengan tindakan papa. Jadi papa lebih baik pergi dari sini sebelum saya melakukan hal-hal anarkis pada Papa karena papa telah menyakiti mama."Andi tercengang. Dia memang sudah kehilangan seluruh keluarga nya. Lelaki itu terdiam. Suasana hening seketika. "Jadi kamu tetap pada keputusan kamu untuk berpisah, Mawar? Baiklah. Tapi aku minta jaminan!""Jaminan? Jaminan apa? Kenapa justru pelaku yang meminta jaminan? Dasar kamu ini, Mas," sahut Mawar dengan menghela nafas panjang. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak menyebarkan berita buruk tentang ku, tentang video, foto, atau surat pernikahan keduaku.Kamu boleh menggugatku dan mengirimkan bu
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O