Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya.
Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati.Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot.'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia.Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya."Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat."Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya menegakkan tubuh menghadap ke arah datangnya sang istri.Mutia tersenyum manis membuat senyum Damar pun merekah."Apa kamu sudah selesai datang bulan dan sekarang sedang menginginkan adu gabrut?" tanya Damar tersenyum nakal menggoda Mutia.Mutia terdiam tapi senyum masih tetap terkembang di bibirnya. Langkah nya semakin mendekat ke arah Damar.Kini jarak Mutia dengan Damar hanya berjarak sebahu. Mereka berdiri saling berdekatan dan bertatapan intens.Melihat Mutia yang hanya diam saja memandanginya, Damar merasa ada sesuatu yang salah. "Ada apa sih? Kok kamu aneh gini?" tanya Damar."Aku menemukan ini di saku celana kamu. Untuk apa alat ini, Mas? Bukan kah selama kamu main sama aku, kita sudah sepakat tidak memakai alat ini?" tanya Mutia dengan dengan meraih tangan Damar dan meletakkan alat pengaman itu di telapak tangan suaminya.Suami nya mendelik saat melihat benda dalam sachet yang masih utuh itu."Kamu .... dapat benda ini darimana?" tanya Damar. Suaranya tercekat."Dari celana kamu, Mas. Hayo kamu ngapain dengan benda ini? Bukankah kita selama ini tidak pernah memakai alat ini saat berhubungan?" tanya Mutia. Matanya menatap suaminya dengan penuh selidik.Damar terdiam sejenak dan menatap wajah Mutia balik."Oh, itu Mut. Jadi gini, kita kan selama menikah sepuluh bulan, belum pernah sekalipun memakai pengaman kayak gini. Aku jadi pengen mencoba. Yah, ingin sebagai variasi saja sih. Masa gitu-gitu saja. Kan nggak seru? Kamu kan juga pengen gaya dan cara baru saat melakukan nya?" tanya Damar balik mencoba meyakinkan Mutia."Hm, kamu ingin gaya dan cara baru atau ingin pasangan baru, Mas? Kamu kan nggak pernah mengkomunikasikan hal ini sebelum nya dengan ku? Jadi wajar dong aku kaget saat menemukan benda ini di saku celana kamu?"Wajah Damar memerah. Dia merasa tidak mudah mengelabui Mutia."Maksud omongan kamu barusan apa, Mut? Pasangan baru gimana? Kamu nuduh aku selingkuh padahal kita kan selalu bersama-sama? Aku selalu tidur sama kamu lho tiap malam. Jangan sembarangan overthingking deh, Mut. Aku nggak suka dan merasa dicurigai kayak maling, tahu nggak sih? Nggak percaya banget sama suami sendiri!"Damar membuang pengaman itu ke tumpukan daun yang telah disapunya lalu berjalan cepat seraya menyenggol bahu Mutia dengan kasar. Mutia memejamkan mata. Membiarkan saja suaminya berjalan menjauhinya."Hm, dia marah karena tidak mau ketahuan selingkuh? Baiklah Tuan Damar, mari kita bermain-main dahulu dengan cinta. Aku tidak akan menangis lagi karena cinta. Karena cinta hanya permainan perasaan saja," sahut Mutia lalu berjalan kembali ke dalam rumah.Mutia segera memasukkan seluruh baju kotor ke dalam mesin cuci. Seraya menunggu cuciannya selesai, Mutia segera menyapu dan membereskan rumah. Dia tidak menemukan Damar dimanapun. Tapi Mutia tidak peduli. Perempuan itu melirik ke arah jam yang menempel di dinding ruang tengah. Sudah jam 8 rupanya.Mutia segera menjemur cuciannya di atap rumah. Dan dia menjumpai Damar yang merokok dengan santai di sana seraya mengotak-atik ponselnya.Melihat Damar yang membuang muka saat dia datang, sebenarnya hati Mutia terasa sakit. Tapi dikuat-kuatkanya hatinya melihat suaminya yang masih asyik bercumbu dengan rokok dan ponsel dari pada menyapanya apalagi membantu nya.Mutia sudah selesai menjemur saat dia akan turun ke lantai satu, dia menoleh sekilas kearah sang suami.'Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan jika kamu bermain-main drama dengan perasaan seseorang, maka bersiap-siaplah untuk memainkan sebuah peran yang dinamakan karma. Tunggu saja, Mas.'Mutia lalu turun ke lantai bawah dan bersiap-siap untuk menemui Aksara di kafe Gardenia.Mutia keluar dari kamarnya dan menoleh ke seluruh penjuru lantai satu. Tidak terlihat penampakan suami nya dimanapun."Ah, sudahlah. Tidak usah bilang kalau mau keluar. Percuma. Mas Damar juga sedang asyik dengan ponselnya," gumam Mutia. Padahal dia sudah menyiapkan alasan dia pergi keluar rumah. Tapi ternyata alasan itu tidak diperlukan karena Damar sedang mendiamkan nya.Maka Mutia pun yang sekarang mengenakan kaus lengan pendek warna merah hati dan celana panjang warna putih pun segera keluar dari rumah Larasati.Diperiksanya ponselnya. Memastikan riwayat panggilan dan seluruh chat dengan Aksara sudah dihapusnya semalam. Dan untung saja semalam sebelum tidur, dia juga sudah mengingatkan Aksara agar tidak menghubungi nya dahulu, sebelum Mutia yang memulai chat dengan Aksara.Mutia pun memesan gocar untuk menuju ke kafe Gardenia. Tak lupa dia menelepon Aksara saat sudah berada di dalam mobil."Halo Pak Aksara, saya sedang menuju ke kafe Gardenia sekarang. Saya harap bapak juga datang tepat waktu.""Baiklah. Saya sudah reservasi meja dengan nomor 23."**Mutia melangkah kan kaki memasuki kafe Gardenia. Ditatapnya seluruh ruangan dengan seksama. Dicarinya meja nomor 23 sesuai tempat reservasi yang dijanjikan oleh Aksara.Mutia tersenyum saat melihat sesosok laki-laki yang sedang menoleh ke arah jendela kafe yang terbuka lebar. Meja nomor 23 itu ternyata dekat dengan jendela. Dan Aksara memilih tempat duduk menghadap ke arah jendela. Membelakangi pintu masuk."Selamat pagi, Pak Aksara," sapa Mutia sambil tersenyum.Aksara menoleh dan membalas senyuman Mutia. Tangannya menunjuk ke arah kursi di hadapannya."Sudah lama menunggu saya?" tanya Mutia basa-basi.Aksara menggeleng kan kepalanya. "Tidak lama kok. Untuk informasi yang berharga dari mbak Mutia. Jadi sekarang, silakan jawab pertanyaan dari saya semalam, karena dari pertanyaan semalam akan memunculkan berbagai pertanyaan lain. Dan juga berapa harga informasi yang mbak Mutia minta dari saya."Mutia menatap seksama ke arah dokter di hadapannya sebelum menanggapi ucapan dokter tersebut."Saya akan menjawab secara langsung. Pertama pak Andi adalah seorang suami dari majikan saya yang bernama Larasati."Next?*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
"Mama, tidak apa-apa?" tanya Novela saat Mawar terhuyung setelah menutup telepon dari Alex. Mawar memegang pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangan matanya mendadak kabur. Aksara dengan sigap menyangga tubuh Mawar dan memapahnya nya ke ranjang. "Nov, buatin mama teh hangat dan gorengkan nugget ayam. Nggak usah bangunin mbok Sumi, kelamaan. Aku mau ngambil tensimeter dulu dan CGM* dulu.""Oke." Novela membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar sang Mama. Sementara itu Aksara menatap sang mama yang masih memegangi kening. "Mama, tunggu di sini dulu. Aksa periksa kondisi mama, baru kita berangkat. Mama tenang ya. Tidak perlu terburu-buru. Aksa dan Nova selalu ada untuk mama."Mawar terdiam dan Aksapun melesat keluar dari kamarnya untuk menuju ruang tengah. Aksara memang menyimpan tensimeter, termometer, dan beberapa alat kesehatan serta obat pertama dasar yang dibutuhkan saat sakit di kotak P3K ruang tengah. Diambilnya tensimeter dan CGM lalu segera menuj
"Apa?!" Wajah Andi terkejut dan sontak menatap ke arah Larasati di sampingnya. Larasati mendelik dan menatap ke arah Mawar yang berdiri tegak di hadapannya. "Nggak Mas, aku hanya punya kamu. Aku hanya tidur dengan kamu, sungguh! Si tua ini berusaha mengadu domba kita. Sebaiknya kamu ceraikan saja dia, Mas. Dan kita bisa menikah!" seru Larasati menatap tajam ke arah Andi. "Bagus lah. Tidak masalah siapapun yang mengajukan cerai ke pengadilan agama. Toh, kita tetap akan berpisah. Jangan lupa kita bicarakan lagi hal ini lebih lanjut, Mas. Aku cuma butuh foto dan video kalian untuk ke pengadilan agama.""Mawar, tunggu! Kalau kamu menggugat cerai aku, aku akan menuntut mu ke pihak berwajib karena penghinaan dan pelanggaran privasi, Mawar!"Mawar tertawa. "Lalu apa mau kamu, Mas? Apa kamu mau aku tetap ada di sisi kamu sementara Larasati juga menjadi istrimu?" "Aku sudah menikahi Larasati dengan sah walaupun siri. Terimalah dia sebagai adik madumu!""Wah, kamu serakah ya? Sudah mempunya
"Maaf Pa. Keluarga kita sudah tidak utuh lagi saat papa selingkuh dan menikah lagi dengan perempuan lain. Papa anggap apa kami ini?" tanya Novela menahan rasa sesak di dada melihat laki-laki yang paling dia percaya bisa mengkhianati ibunya. "Aksa, bagaimana dengan kamu?! Kamu mau kan kita tetap bersama?""Tidak Pa. Saya yang laki-laki saja mual dengan tindakan papa. Jadi papa lebih baik pergi dari sini sebelum saya melakukan hal-hal anarkis pada Papa karena papa telah menyakiti mama."Andi tercengang. Dia memang sudah kehilangan seluruh keluarga nya. Lelaki itu terdiam. Suasana hening seketika. "Jadi kamu tetap pada keputusan kamu untuk berpisah, Mawar? Baiklah. Tapi aku minta jaminan!""Jaminan? Jaminan apa? Kenapa justru pelaku yang meminta jaminan? Dasar kamu ini, Mas," sahut Mawar dengan menghela nafas panjang. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak menyebarkan berita buruk tentang ku, tentang video, foto, atau surat pernikahan keduaku.Kamu boleh menggugatku dan mengirimkan bu
Beberapa saat sebelum nya,"Mbak Mutia, tunggu!"Mutia yang sedang berjalan menuju pintu keluar kafe dengan membawa kotak makanan sterofoam menoleh saat mendengar panggilan dari Aksara. "Ada apa, Pak?" tanya Mutia heran melihat Aksara berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Mutia. "Ada yang ingin saya bicarakan, Mbak Mut. Mendadak sekali ide saya datang. Apa mbak Mutia nggak keberatan jika harus duduk lagi dengan saya?"Mutia berpikir sejenak. "Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak ada ide yang lebih baik untuk keluarga bapak dan saya bisa bantu, saya akan berusaha membantunya," jawab Mutia seraya berjalan ke arah tempat duduknya kembali. Aksara pun duduk kembali di depan Mutia."Bukan hanya rencana untuk keluarga saya. Tapi juga saya pikir terbaik untuk mbak Mutia. Jadi kita bisa meraih win-win solution."Mutia mengerut kan keningnya. "Win-win apa tadi, Pak?""Oh, win-win solution. Semacam simbiosis mutualisme. Masih ingat kan dengan pelajaran biologi. Hubungan saling menguntungkan,
Beberapa saat sebelumnya,Mutia telah selesai membuatkan teh untuk Damar. Tak lupa diambilnya dua tablet obat tidur dari dalam botol pemberian Aksara lalu dilarutkan nya ke dalam gelas berisi teh untuk suaminya itu. Dengan segera Mutia membawa teh itu ke dalam kamar dan melihat Damar sedang termenung menatap ponsel nya yang layarnya gelap. "Mas, aku bikinin teh. Aku minta maaf tentang kejadian tadi pagi," ucap Mutia sambil meletakkan cangkir berisi teh di atas nakas. Mata Damar yang semula redup menjadi berbinar melihat Mutia datang dengan membawakan teh untuk nya. "Kamu beneran mau minta maaf padaku?" tanya Damar. Mutia mengangguk. "Maaf karena aku terlalu curiga padamu sehingga aku membabi buta menuduhmu selingkuh, Mas. Kamu harus tahu kalau aku itu tipe perempuan pencemburu," sahut Mutia menyunggingkan senyum. Damar menatap istrinya tanpa berkedip. "Apa kamu masih datang bulan?" tanya Damar. Mutia menggelengkan kepalanya. "Sudah selesai," sahut Mutia berbohong. Dia memang
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O