"Kenapa ketawa? Apa ada yang lucu?" Alis Dokter Nafiadi terangkat tipis.Sementara Dita menarik napas panjang untuk meredakan tawanya. Dia sama sekali tidak menduga bisa tertawa lepas hari ini karena mengejek mantan kakak madunya."Ulfa kemakan omongan sendiri. Dia ngatain aku pelakor karena nikah sama Mas Sano, ternyata dia sendiri jadi tunangan dokter yang sudah punya istri dan anak. Emang ya karma itu selalu berlaku!" cetus Dita masih terkekeh pelan."Maaf, Ulfa bukan pelakor. Aku sudah lama ditinggal istri, tepat setelah melahirkan anak pertama kami. Jangan samakan dirimu dengan Ulfa yang terhormat. Kalian jelas berbeda.""Maks–""Satu lagi, aku tidak punya sepupu atas nama Dita. Jadi, jangan pernah mengaku sebagai keluarga pemilik Klinik Liam karena itu memalukan. Keluarga besarku selalu menjaga nama baik dan ketika ada wanita sepertimu yang mengaku sebagai keluarga, siapa yang akan percaya? Kalau mau mengarang cerita, minimal cari tahu dulu seluk beluk klinik yang kamu pamer itu
"Mbak Kancana kenapa, ya, Kak? Kok, sinis gitu sama kita-kita?"Jenni mengedikkan bahu tidak tahu. "Mungkin karena kamu nggak mau jadi adik madunya kali? Siapa tahu tawaran Ojan kemarin emang karena keinginan Mbak Kancana."Entahlah. Ulfa tidak tahu alasan Kancana dan tidak boleh banyak berprasangka. Mungkin ada benarnya juga tentang penolakan menjadi adik mau itu, tetapi ucapannya tadi seolah menyindir bahwa Ulfa bertekad menjadi seorang pelakor.Kalaupun benar. Untuk apa dia mengatakan itu semua padahal jelas-jelas Ulfa tidak merebut suami siapa pun. Jika mengarah pada Dokter Nafiadi juga salah sebab dokter tersebut sudah menjadi duda selama hampir lima tahun dan mereka juga tidak ada hubungan apa-apa selain antara penjual dan pembeli."Ya sudah, Kak. Kalau gitu aku ke rumah dulu mau lanjut nulis. Kakak di sini aja sama Cantik atau terserah mau di mana, kali aja capek.""Kakak di sini aja bantuin Cantika. Toh, kalau di rumah aja juga paling rebahan doang nggak bisa tidur. Itung-itu
"Loh, kata siapa? Fajar itu kalau bercanda emang suka rada-rada. Namanya orang kalau sudah akrab kan pasti sering bercanda. Kakak inget si Diqi orang Pinrang itu, kan? Teman sekolah aku waktu SMA, dia juga sering bercanda katanya pengen ngelamar. Padahal kita tuh nggak ada rasa," jelas Ulfa terpaksa menyebut teman sekolahnya dulu untuk menepis rasa curiga dalam benak Jenni. Dia jadi teringat dengan temannya yang paling somplak itu. Memiliki kulit putih bersih dan sedikit kurus. Namun, ketika melihat fotonya di sosial media tiga bulan lalu, dia sudah berubah menjadi gemuk. Katanya efek sering tersakiti. Diqi lah yang melarang Ulfa menikah dengan Sano dulu dengan alasan tampangnya mencurigakan. Namun, Ulfa memilih untuk tidak mendengarkannya, menuduh Diqi cemburu, lalu memblokir kontaknya hingga saat ini. "Tapi aku bukan Diqi teman SMA kamu, Fa. Aku Fajar. Bahkan dua huruf belakang namamu sama dengan dua huruf depan namaku. Kurasa kita jodoh. Lihat Alea, dia dekat sama aku. Sulit menc
"Loh, kenapa dengan ibu? Dita yang punya anak, terus nggak mau nyusuin kenapa malah ibu yang disalahin?" protes Mahika tidak terima.Setelah Adnan kembali terlelap, Sano langsung berdiri menatap lekat pada ibunya. "Ibu yang selalu menghasut aku untuk melanjutkan hubungan dengan Dita saat aku ingin mengakhirinya sebelum ketahuan sama Ulfa. Ibu yang selalu menghina Ulfa sampai aku kepikiran buat cari wanita lain. Ibu memaksa aku menikahi Dita diam-diam. Ibu juga yang meminta aku menuruti kemauan Dita untuk menyerahkan uang sesuai nominal yang dia minta untuk memborong hampir semua barang yang tidak penting itu. Bahkan ibu juga meminta uang sama aku entah buat apa, bukannya bantuin biar cukup lagi malah menambah masalah. Ibu pikir aku nggak pusing?!" geram Sano dengan suara pelan, tetapi tegas penuh amarah karena Adnan baru saja terlelap."Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, Sano. Makanya ibu setuju kalau kamu menikah sama Dita."Mendengar itu, Sano merasa ingin muntah saja. Dia bert
"Mas, kamu itu sadar diri nggak, sih? Waktu aku menangkap basah kamu di rumah Ibu Mahika di acara ulang tahun Tantri, aku sudah memberi peringatan. Itu tidak main-main, tetapi kamu malah menikahi Dita tanpa sepengetahuanku, lalu berbohong tentang banyak hal. Kamu pikir aku sudah melupakan semuanya karena mau memberimu pinjaman dengan jaminan sertifikat?" "Dek, semua bukan kehendak mas–" "Bukan kehendakmu menikahinya, tetapi kenapa dia bisa hamil? Seharusnya kita tidak membahas masa lalu lagi karena aku pun sudah bahagia. Pantang bagiku memungut sesuatu yang sudah dibuang. Lebih baik kamu pulang, tidak usah menjenguk Alea karena anak itu sudah menganggapmu mati," pungkas Ulfa memotong pembicaraan Sano. Ulfa tidak menyangka bahwa Sano adalah lelaki pecundang. Harga diri dan rasa malu dia buang begitu saja. Bagaimana bisa dengan percaya diri meminta tolong pada wanita yang sudah dia khianati? Sungguh, Ulfa ingin menertawakan Sano yang selama ini bersikap angkuh seolah tidak membutuhkan
"Kenapa tutup mata?"Pertanyaan Kancana semakin menakuti Ulfa. Gadis itu ingin lari, tetapi takut jika saja Kancana marah dan malah membunuh Alea. Lagi pula, posisinya saat ini sedang terkunci."Buka matamu, Ulfa. Aku tidak akan memukulmu!" pintanya kemudian menyandarkan balok itu di dinding dekat pintu."Mbak Kancana ...."Kancana menuntun Ulfa untuk duduk di sofa, kemudian menyeret Sano sampai ke teras. Setelah itu, dia kembali masuk karena ada sesuatu yang hendak dia sampaikan.Sebelum itu, Kancana memberitahu Ulfa kalau tadi dia ingin menemui Cantika di toko, tetapi terusik oleh teriakan Ulfa. Meski tidak yakin, dia bergerak cepat mengambil balok yang tersimpan di samping toko, berlari mendekat, lalu memberanikan diri memukul Sano dengan membayangkan lelaki itu sebagai suaminya sendiri.Kancana paling tidak suka jika ada kekerasan dalam rumah tangga apalagi jika kejahatan itu dilakukan oleh mantan suami yang motifnya tidak jelas selain karena ingin memeras saja."Mbak, wajahmu ...
"Aku akan menggantinya, tapi bukan sekarang."Ulfa tersenyum simpul mendengar jawaban dari Dita yang semula terlihat angkuh. "Lalu kapan? Kapan kamu bisa menggantinya?""Bulan depan.""Bulan depan kalian harus bayar sejuta sama aku. Tidak mungkin melupakan utang tujuh puluh juta itu, kan? Aku bahkan tidak yakin kalau kalian sanggup buat bayar karena di rumah ini hanya bapak yang kerja, lalu mau ambil uang delapan juta dari mana lagi?" timpal Ulfa masih berusaha menahan diri."Mari ponselmu atau aku telepon polisi sekarang!" perintah Kancana lagi.Dita mendengus kesal. Dia memandang mereka berdua bergantian sambil terus merutuki diri dalam hati karena sudah mau terpancing. Andai saja dia tidak ikut campur, maka Dita bisa beralasan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.Namun, nasi telah menjadi bubur. Semua masalah Sano dibebankan padanya karena sudah berani menantang. Ingin mengelak pun terlambat karena Kancana yang cerdik merekam percakapan mereka untuk mewanti-wanti masalah baru.Target
Sinar mentari menyilaukan mata yang memandang. Siapa sangka, sang bagaskara sebentar lagi sampai ke peraduan. Langit pun menampilkan senja yang sangat indah berwarna kemerahan.Tidak seperti Mahika yang menuju usia senja. Wajahnya tertekuk ibarat sebuah pakaian yang belum dirapikan. Berwajah murung untuk sesaat, tetapi menyunggingkan senyum ketika pintu nuansa cokelat terbuka lebar."Ibu boleh masuk?" tanyanya pada sosok wanita yang menggulung rambutnya dengan jedai alias jepitan badai berwarna merah muda. Dia baru saja selesai mengeringkan rambut."Tentu saja."Mahika tanpa rasa sungkan memasuki ruangan yang sangat bersih dan rapi itu. Tertata sebuah sofa kulit, di mana pada sudut ruangan terdapat hiasan bunga tulip berwarna kuning.Harum ruangan mampu menjernihkan pikiran, memperbaiki perasaan yang semula gundah gulana. Mahika kembali mengulum senyum tanpa balasan menatap wanita yang dahulu menjadi menantunya."Alea mana?""Lagi mandi, Bu. Ada apa ke sini? Sebentar lagi matahari ter