"Baiklah, aku setuju." Jawaban Sano berhasil membuat Ulfa mengukir senyuman.Wanita itu merogoh tas branded-nya, kemudian menelepon Fajar tanpa memberitahu Sano siapa yang dia hubungi. Toh, dia juga tidak bertanya."Halo, Ulfa? Kamu udah selesai?" tanya Fajar begitu panggilan terhubung."Tidak, maksudku belum. Kamu temani Alea dulu, aku harus ke rumah Ibu Mahika sekarang, nanti pakai gocar. Pokoknya nanti aku jelasin, kamu temanin Alea, ya. Bye!"Ulfa langsung menutup panggilan telepon secara sepihak karena tidak ingin jika Fajar melarangnya. Ulfa tidak bodoh, tentu saja semua yang dia lakukan sudah melalui pertimbangan matang. Pada intinya dia harus menemui Dita untuk membalas hinaannya dulu.Ya, Ulfa menganggap merebut suaminya adalah sebuah penghinaan. Dia tidak peduli, apakah Dita sadar akan perbuatannya atau bagaimana. Pada intinya dia telah melakukan kesalahan dan pantas menerima hukuman. Ulfa sudah memberi mereka peringatan sejak awal, tetapi sepertinya baik Ulfa maupun Sano sa
Setelah memastikan Ulfa pergi, Mahika meminta anak serta menantunya untuk berkumpul di ruang keluarga. Dia memiliki rencana bagus yang tidak akan merugikan dirinya. Mahika berharap mereka semua bisa bekerjasama termasuk Tantri dengan iming-iming uang.Wanita paruh baya yang licik itu menghela napas panjang sebelum menyampaikan maksudnya. Dia melirik Sano dan Dita secara bergantian dengan tujuan membuat mereka semua penasaran.Dua menit berlalu."Lama banget, sih, Bu? Aku sampai bosan loh, duduk di sini.""Iye, iye." Mahika mendelik pada anak sulungnya, lalu melanjutkan, "berhubung kamu belum punya pekerjaan, kita tidak bisa memastikan bakal sanggup membayar Ulfa satu juta per bulan. Dengar sendiri, kan, tadi aturan yang dia buat? Kalau kita bayar kurang misal sembilan ratus ribu atau kita melompat ke bulan selanjutnya, maka rumah ini akan dijual. Ibu yakin Ulfa tidak main-main sama ancamannya. Lalu kita akan tinggal di mana?""Betul juga, sih. Ibu ada rencana apa?" Dita menanggapi."S
Ulfa menunjuk tas yang dia bawa. "Di dalam tas ini ada uang tujuh puluh juta sesuai yang Mas Sano mau pinjam. Sekarang berikan dulu sertifikat rumah ini baru serahkan uangnya.""Tunggu sebentar!" Mahika berdiri menuju kamar untuk mengambil sertifikat rumahnya. Setelah itu kembali keluar dengan sangat buru-buru."Tolong videoin, ya!" pinta Ulfa setengah berbisik pada Fajar.Lelaki yang sedang menggendong Alea itu langsung mengangguk. Semuanya sudah mereka rencanakan sebelum berangkat saat makan di restoran tadi.Begitu rekaman video menyala, Ulfa langsung meraih sertifikat rumah itu dari tangan Mahika yang wajahnya memucat. "Sertifikat ini aku bawa karena kalian meminjam uang tujuh puluh juta. Ini sudah sesuai kesepakatan sebelum video ini dibuat, ya. Nanti kalian bakal bayar satu juta per bulan. Kalau nominal kurang atau melompat ke bulan selanjutnya, maka sertifikat ini menjadi milikku. Aku bebas menjual rumah ini, betul?"Mereka bertiga mengangguk bersamaan."Dalam enam tahun kurang
Jenni yang sudah dua bulan ini bekerja di salah satu klinik terkenal begitu memanjakan Alea. Hasilnya anak gadis itu terlihat semakin sehat, padat berisi seperti anak orang kaya atau sebut saja artis. Apapun yang Alea inginkan selalu diberi oleh Jenni, seperti yang dilakukan oleh Fajar.Sementara itu, toko fashion yang Ulfa bangun—diurus oleh Kancana—sudah selesai dibangun. Toko itu berada tepat di samping rumah Ulfa karena kebetulan ada tanah kosong yang luas di sana. Kancana sendiri yang menawarkan bantuan untuk mengurus semuanya saat Ulfa masih menjalani masa iddah.Toko Fashion itu diberi nama Aleafa yang berarti Alea dan Ulfa. Isinya adalah produk pakaian dari beberapa brand terkenal. Ulfa tidak pandai mendesain sehingga masih menjual brand orang lain.Selama masa iddah, selain menulis, wanita itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan perawatan. Jadi, dia memanggil ahli kecantikan untuk datang ke rumahnya. Alhasil, sekarang kulitnya makin sehat terawat. Berbanding terbalik de
"Sesama kaum wanita harus saling mengerti. Kamu pikir aku nggak paham bagaimana perasaan Ulfa? Dia terluka, meskipun terlihat kuat, hatinya tetap rapuh.""Nggak, Bu. Aku nggak rapuh. Sejak mengetahui perselingkuhan Sano tepatnya malam ketika aku menciduknya di rumah mertuaku sendiri, hatiku seketika beku." Ulfa menyela secepat mungkin karena tidak mau Sano menjadi salah paham atau mengejeknya.Meskipun benar apa yang dikatakan Indah benar, Ulfa tidak akan mengaku. Dia harus terlihat kuat di mata semua orang sekaligus memberi motivasi pada diri sendiri kalau dia bisa tetap hidup bahagia tanpa kehadiran Sano."Berarti hatimu sangat kecewa, ya, Bu Ulfa? Orang kalau mati rasa itu artinya kecewa berat.""Benar. Aku ngasih Mas Sano kesempatan kedua demi putri kami dengan syarat dia harus meninggalkan selingkuhannya, tetapi dia melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih besar dan tidak ada maaf lagi. Mas Sano menikah diam-diam dengan selingkuhannya yang dikata cantik.""Cantik? Secantik apa
POV Ulfa_____________________Aku tidak habis pikir dengan Mas Sano sekeluarga yang semuanya tidak punya rasa malu. Setelah menyakiti, mereka semua menganggap aku mesin uang. Aku tidak bodoh, hanya ingin menunjukkan kekayaan, makanya sertifikat rumah menjadi jaminan agar ketika mereka merencanakan hal buruk, Ulfa tidak dirugikan.Pasalnya, kalau menuruti mereka dan memberi rasa kasihan itu tidak ada habisnya apalagi keluarga parasit seperti mereka. Orangtuaku saja jarang meminta uang bahkan menolak ketika aku mengirim dengan nominal fantastis, katanya lebih baik digunakan untuk mengembangkan usaha.Sebenarnya aku juga kasihan melihat Alea yang sering mengigau memanggil papanya, tetapi kalau harus menerima dia kembali adalah perkara mustahil. Sudah kukatakan padanya untuk mengakhiri hubungan mereka.Dia masih beruntung karena aku tidak sampai membunuhnya. Mas Sano yang biadab itu seharusnya diberi pelajaran. Aku menjadi geram, dendam yang mulai mereda kembali membuncah. Aku harus lebi
Setelah mereka berbincang selama hampir sepuluh menit, akhirnya lelaki yang semakin hari semakin tampan itu melangkah cepat mengikis jarak denganku. Biasanya dia akan mengabari terlebih dahulu jika mau datang, sekarang malah sesuka hati seolah rumah ini adalah miliknya juga.Oh tidak, aku bisa melihat senyum Fajar yang sedikit berbeda. Dia lalu duduk di kursi tempat Tantri duduk tadi. Aku tidak mau memulai percakapan karena masalah mood yang masih belum baik, lebih memilih diam menatap lekat pada Fajar."Tadi Bu Mahika mau minjem uang kamu, tapi kamu nggak mau minjemin?""Apa?"Fajar pun mengulangi pertanyaannya tadi dengan tempo lambat seolah aku ini memang tidak mendengarnya. Bu Mahika benar-benar keterlaluan, dia pasti sengaja mengatakan itu pada Fajar agar terjadi kesalahpahaman, lalu kami tidak sedekat dulu lagi.Aku tahu, Bu Mahika pasti paham bahwa Fajar dan Mbak Kancana lah yang selalu memberiku semangat untuk balas dendam mengingat selama ini aku dinilai sebagai gadis lugu da
"Apa, Mbak?" Aku sengaja bertanya, pura-pura tidak mengerti.Mbak Kancana mendelik, pasti kesal mendengar pertanyaan itu. Namun, aku berusaha menjaga ekspresi agar tidak ketahuan sedang bersandiwara untuk menutupi sesuatu."Yang dikatakan Fajar tadi loh sebelum pulang. Ada apa dengan hari rabu?" Itu loh, Mbak. Segala sesuatu yang dimulai pada hari rabu, maka akan sempurna urusannya. Berdoa pada hari rabu setelah dzuhur juga katanya doa itu bakal diijabah, Mbak.""Kalo itu mbak juga denger. Cuman usaha apa, kenapa kamu sampai memukul kepalanya? Ada rahasia apa gitu, loh. Masa sama mbak mau disembunyikan?"Aku tidak tahu apakah memang sudah waktunya curhat pada Mbak Kancana atau belum. Selama ini dia selalu memberi respons positif ketika aku membicarakan tentang Mas Sano. Lalu, apakah sekarang masih sama begitu tahu lelaki yang aku bahas bukan lagi sosok masa lalu?Rasanya berat, tetapi aku sangat penasaran bagaimana tanggapan Mbak Kancana tentang lelaki tadi karena mereka juga seringk
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa