"Apa, Mbak?" Aku sengaja bertanya, pura-pura tidak mengerti.Mbak Kancana mendelik, pasti kesal mendengar pertanyaan itu. Namun, aku berusaha menjaga ekspresi agar tidak ketahuan sedang bersandiwara untuk menutupi sesuatu."Yang dikatakan Fajar tadi loh sebelum pulang. Ada apa dengan hari rabu?" Itu loh, Mbak. Segala sesuatu yang dimulai pada hari rabu, maka akan sempurna urusannya. Berdoa pada hari rabu setelah dzuhur juga katanya doa itu bakal diijabah, Mbak.""Kalo itu mbak juga denger. Cuman usaha apa, kenapa kamu sampai memukul kepalanya? Ada rahasia apa gitu, loh. Masa sama mbak mau disembunyikan?"Aku tidak tahu apakah memang sudah waktunya curhat pada Mbak Kancana atau belum. Selama ini dia selalu memberi respons positif ketika aku membicarakan tentang Mas Sano. Lalu, apakah sekarang masih sama begitu tahu lelaki yang aku bahas bukan lagi sosok masa lalu?Rasanya berat, tetapi aku sangat penasaran bagaimana tanggapan Mbak Kancana tentang lelaki tadi karena mereka juga seringk
I'll say, will you marry me?I swear that I will mean itI'll say, will you marry me?And if I lost everythingIn my heart, it means nothing'Cause I have you, Girl, I have youTo get right down on bended kneeNothing else would ever be better, betterThe day when I"Hah?!" Aku melongo setelah beberapa menit yang lalu membuka pintu rumah. Di pagi yang cerah ini, Fajar datang mengetuk pintu, lalu menyerahkan sebuah buket mawar dengan seulas senyum."Itu lagu Jason Derülo yang judulnya Marry Me. Kamu nggak tahu?"Aku menggeleng. Aku memang tidak pernah mendengar lagu yang Fajar nyanyikan tadi apalagi sampai menelusuri terjemahannya. Meskipun terkesan romantis, tetapi bagiku biasa saja karena tidak paham maksudnya.Yang aku tahu, lagu itu membahas tentang pernikahan. Entahlah, mungkin sebaiknya aku meminta Fajar masuk daripada menjadi bahan gunjingan tetangga karena mengobrol di pintu saja.Begitu Fajar masuk, kami duduk saling berhadapan. Masih pukul tujuh pagi, aku bahkan belum mandi d
POV Author_____________________Sesampainya di toko fashion, Jenni melihat Fajar sedang duduk bersama Kancana, sementara Cantika sibuk menata barang yang baru masuk. Dia mendekat, mendengar Fajar berucap lirih, "Iya, Mbak. Aku beneran ditolak sama Ulfa.""Jen, duduk dulu!" pinta Kancana menarik kursi besi warna hitam itu.Sebuah toko fashion yang menyediakan kursi tunggu yang diletakkan di bagian barat, menempel pada dinding yang dipenuhi lukisan bunga sakura berwarna merah muda."Ulfa bukannya nolak kamu, cuman dia masih belum berani membuka hati. Tadi aku tanyain ke dia, emang takut jatuh cinta lagi. Seorang wanita yang pernah diduakan pasti bersikap sama seperti Ulfa. Apalagi sekarang dia harus memikirkan Alea juga." Jenni ikut menghibur Fajar yang semakin dalam menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan air mata.Suasana di dalam toko semakin sedih dengan diamnya Fajar. Pasalnya lelaki itu tidak mudah jatuh cinta. Dia hanya akan mencintai ketika merasa bisa serius untuk menikahin
"Ulfa, Mas?"Ojan mengangguk mantap, lalu menyeringai tipis. "Dia sudah jadi janda sesuai cerita kamu, kan? Waktu ibu minta mas buat nikah lagi karena tahu kamu nggak hamil-hamil, mas teringat sama Ulfa. Mas nggak kenal banyak sama perempuan, jadi mengingat cerita kamu, dia baik, kan? Mas bisa menerima status jandanya dan juga akan menyayangi anaknya. Kamu bilang sudah akrab sama anak itu, kan?"Kancana geleng-geleng kepala mendengar penjelasan suaminya. Kepala wanita itu berdenyut sakit, tidak mau membayangkan dia akan menjadi kakak madu bagi Ulfa. Sosok wanita yang sudah dia anggap seperti adik sendiri.Bagaimana jika Ulfa mau apalagi dia baru saja menolak Fajar dengan alasan takut ditinggalkan? Jangan sampai Ulfa menerima pinangan Ojan gara-gara dia adalah suami Kancana dan melupakan bahwa hati wanita itu pasti terluka.Mereka sudah dekat sejak dulu, seharusnya Kancana bisa menerima andai Ulfa dipinang sebagai istri kedua oleh suaminya. Namun, wanita mana yang ikhlas berbagi apalag
Ulfa dilema terus menimbang apakah dia akan pergi menemui Kancana dan suaminya bersama Fajar atau bersikukuh pergi sendirian. Jika bersama lelaki yang baru tadi pagi mengajaknya menikah, pasti ada rasa sungkan meskipun Fajar seperti melupakan segalanya agar suasana kembali cair. Namun, jika tidak pergi, dia tidak akan tahu apa yang hendak Kancana dan suaminya bahas. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Ulfa, yakni kenapa pesan itu harus disampaikan oleh Ozan dan suara itu maksudnya apa? "Kalau kamu mau diantar, aku siap menemani, Fa. Setelah dipikir-pikir, Mbak Kancana emang seperti dalam masalah besar." Begitu melihat Ulfa mengangguk, Fajar langsung menggandeng tangan Ulfa menuju mobilnya. Setelah kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan area toko, Ulfa gegas mengabari Ojan kalau dia setuju. Akhirnya, semua sudah fix, mereka akan bertemu di salah satu cafe yang terbilang jauh dari rumah Kancana. Sekitar satu jam perjalanan. Beruntung cafe tersebut justru dekat dengan lokasi
"Iya, dia calon suami aku." Ulfa bergelayut manja di lengan Fajar, lalu melanjutkan, "rencananya hari ini kami mau beli cincin, tetapi katamu Mbak Kancana pengen ketemu. Aku berusaha manut dengan membiarkan calon suamiku menunggu di mobil, tapi kurasa semuanya bohong. Katakan, di mana Mbak Kancana?!""Sudah kubilang Kancana lagi sibuk dan mau datang ke sini nanti. Dia masih belum menjadi suamimu, kenapa nggak milih aku aja? Toh, ini demi kebaikan Kancana karena ibuku minta kami cerai kalau nggak punya anak."Ulfa mendengus kesal, tetapi kemudian jantungnya berdegup cepat ketika Fajar malah merangkul wanita itu. Namun, dia menutupinya dengan senyum sinis. "Menurutku, Mbak Kancana bakal milih cerai daripada harus diduakan. Sudahlah, aku nggak percaya sama kamu!"Setelah itu, Ulfa langsung pergi bersama Fajar meninggalkan Ojan yang masih dalam keadaan marah. Mereka tersenyum menang bahkan tidak menyadari kalau Fajar masih terus merangkulnya sampai ke depan mobil.Begitu kendaraan roda em
"Kenapa ketawa? Apa ada yang lucu?" Alis Dokter Nafiadi terangkat tipis.Sementara Dita menarik napas panjang untuk meredakan tawanya. Dia sama sekali tidak menduga bisa tertawa lepas hari ini karena mengejek mantan kakak madunya."Ulfa kemakan omongan sendiri. Dia ngatain aku pelakor karena nikah sama Mas Sano, ternyata dia sendiri jadi tunangan dokter yang sudah punya istri dan anak. Emang ya karma itu selalu berlaku!" cetus Dita masih terkekeh pelan."Maaf, Ulfa bukan pelakor. Aku sudah lama ditinggal istri, tepat setelah melahirkan anak pertama kami. Jangan samakan dirimu dengan Ulfa yang terhormat. Kalian jelas berbeda.""Maks–""Satu lagi, aku tidak punya sepupu atas nama Dita. Jadi, jangan pernah mengaku sebagai keluarga pemilik Klinik Liam karena itu memalukan. Keluarga besarku selalu menjaga nama baik dan ketika ada wanita sepertimu yang mengaku sebagai keluarga, siapa yang akan percaya? Kalau mau mengarang cerita, minimal cari tahu dulu seluk beluk klinik yang kamu pamer itu
"Mbak Kancana kenapa, ya, Kak? Kok, sinis gitu sama kita-kita?"Jenni mengedikkan bahu tidak tahu. "Mungkin karena kamu nggak mau jadi adik madunya kali? Siapa tahu tawaran Ojan kemarin emang karena keinginan Mbak Kancana."Entahlah. Ulfa tidak tahu alasan Kancana dan tidak boleh banyak berprasangka. Mungkin ada benarnya juga tentang penolakan menjadi adik mau itu, tetapi ucapannya tadi seolah menyindir bahwa Ulfa bertekad menjadi seorang pelakor.Kalaupun benar. Untuk apa dia mengatakan itu semua padahal jelas-jelas Ulfa tidak merebut suami siapa pun. Jika mengarah pada Dokter Nafiadi juga salah sebab dokter tersebut sudah menjadi duda selama hampir lima tahun dan mereka juga tidak ada hubungan apa-apa selain antara penjual dan pembeli."Ya sudah, Kak. Kalau gitu aku ke rumah dulu mau lanjut nulis. Kakak di sini aja sama Cantik atau terserah mau di mana, kali aja capek.""Kakak di sini aja bantuin Cantika. Toh, kalau di rumah aja juga paling rebahan doang nggak bisa tidur. Itung-itu