Kini umur Aisha hampir menginjak dua tahun. Selama delapan bulan lebih janin berkembang baik di dalam perut Reyna. Ada rasa haru dan was-was yang melingkupi jiwanya. Selama mengandung, Kevin dan Reyna sangat over protektif terhadap calon bayi mereka Setiap bertugas dan berpisah dengan Reyna dari jarak yang cukup jauh, Kevin tidak pernah absen untuk menghubungi istrinya, memastikan keadaan keluarga kecilnya. "Kamu hari ini pulang, Mas?" Reyna dan Kevin berbicara lewat video call. "Iya, Sayang, ini lagi siap-siap." Kevin sibuk memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. "Oh iya, Aisha mana? Aku mau bicara sama Aisha." Reyna langsung memberikan ponselnya kepada Aisha. Wajah Aisha yang baru bangun tidur terlihat di layar, membuat rasa rindu Kevin semakin membuncah. "Aisha sayang baru bangun tidur, ya?" Aisha mengangguk sambil mengucek matanya. "Yah, oyeh-oyeh, ya? Kevin mengerti bahasa Aisha yang belum terlalu lancar berbicara. "Mau dibawain oleh-oleh apa, Nak?" "Sawat, Yah, saw
Saat kelahiran Aydan Kaysan Halim .... "Anak kita, Bun. Dia akan menjadi seorang anak yang hebat. Sekarang kebahagiaan kita sudah lengkap. Aku, kamu, Aisha dan kini Aydan akan menjadi keluarga kecil yang sempurna." Kevin membawa anaknya menuju ruang rawat inap Reyna, membaringkan anaknya tepat di sebelah istrinya. "Aku takut, Mas." Wajah Reyna mendadak muram. Kesedihan melingkupi jiwanya saat ini. "Apa yang harus kamu takutkan?" Kevin menggenggam jemari Reyna. Berusaha menenangkan hati istrinya. "Aku takut dengan Aisha. Sekarang umurnya sudah menginjak dua tahun, dan setiap tahunnya dia akan tumbuh menjadi perempuan dewasa. Bagaimana kalau Aisha tahu, dia bukan anak kandung kita? Dia hanya anak adopsi yang pernah kita ambil dari panti asuhan? Bagaimana kalau Aisha pergi meninggalkan kita dan mencari orang tua kandungnya, yang udah nggak ada? Aku juga sangat menyayangi Aisha. Sebelum kita memiliki Aydan, Aishalah yang selalu menjadi pelengkap hidupku." Kevin hanya menampilkan seny
Yang Reyna takutkan akhirnya terjadi. Sejak Aisha kecil, dia sudah menyukai pesawat. Dan setelah beranjak remaja, Aisha lebih menyukai pekerjaan Ayahnya yang sering keliling kota dan berada di dalam burung besi selama berjam-jam. Sudah jelas, Reyna tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak sang suami. Selain karena pekerjaan itu memiliki resiko yang tinggi, berprofesi sebagai pilot juga menyita waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Ketakutan Reyna terhadap profesi ini semakin bertambah besar. Ketika tahun 2015, saat Kevin berada di Kota Medan dan berita kecelakaan pesawat mendadak muncul di televisi. Kecelakaan itu terjadi ketika pesawat sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan. Pesawat tersebut terbang rute Medan-Jakarta dan membawa 117 orang. Penumpang yang tewas berjumlah 100 orang. Sedikitnya 17 penumpang dilaporkan selamat. Berita tersebut nyaris membuat Reyna syok dan hampir pingsan. Ternyata, Allah masih melindungi Kevin, ketakutan itu menghilang saat Kevin menghubung
“Kevin?” Mendadak suara seorang wanita muncul di antara mereka. Baik Kevin maupun Aisha sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Kevin mengernyit sebentar, memperhatikan wajah familiar wanita tersebut sebelum ingatannya mulai pulih. “Tantri?” Kevin bangkit dari kursi, raut wajahnya tampak terkejut. “Ya ampun, kamu apa kabar?” Tanpa basa-basi, Tantri membawa Kevin ke dalam pelukannya. Melakukan adegan cium pipi kiri dan kanan, nyaris bersentuhan. “Alhamdulillah baik. Harusnya aku yang nanya kayak gitu sama kamu. Selama hampir lima tahun kamu pergi tanpa memberikan aku kabar? Kamu ke mana aja?” Aisha, yang melihat dua orang dewasa itu tampak asyik berbincang — mulai berdehem panjang. “Ehem, hem, hem!!!” “Oh iya. Ini anak aku, namanya Aisha. Dan Aisha, ini Tante Tantri teman baik Ayah. Dulu Tante Tantri ini bekerja di maskapai penerbangan yang sama dengan Ayah sebagai pramugari.” Kevin memperkenalkan mereka. Sontak mata Aisha langsung membeliak sempurna dan berbinar. “Tan
Di dalam kelas, Aisha langsung menyambar Widuri -- yang sejak tadi sudah terlebih dulu datang. "Oleh-oleh dari Ayah." Aisha memberikan sebuah gantungan kunci berbentuk helikopter berbahan platinum. "Buat gue?" Widuri menatap gantungan kunci tersebut, tak percaya. Aisha mengangguk mantap. "Ayah bilang, dia senang lihat persahabatan kita dari kecil. Jadi, Ayah beliin gantungan kunci itu untuk kita berdua. Tanda persahabatan! "Ayah lo, emang yang terbaik." Widuri berusaha keras untuk tersenyum, meskipun terasa berat. Ia memandang nanar gantungan kunci tersebut. "Ya dong! Ayah itu, the perfect Daddy. Suatu hari nanti, gue kepengen punya suami sehebat Ayah!" Seru Aisha berbangga diri. Setiap membicarakan sosok Kevin, matanya selalu berbinar memancarkan kekaguman. Sedangkan Widuri masih tampak muram. "Terkadang gue iri sama lo, Ais." "Kenapa mesti iri. Ayah kita berdua itu sama-sama Ayah yang hebat. Karena Ayah kita berdua adalah seorang pilot yang bisa menjamin ratusan penump
"Besok perban di kaki kakek baru bisa dibuka ya, dan besok kakek juga udah dibolehin pulang sama dokter. Tapi, ingat ya, kek, untuk beberapa hari ini nggak boleh banyak gerak dan harus istirahat dulu di rumah." Kakek Imran hanya mengangguk-anggukkan kepala saat menatap Rina dengan seksama -- yang sedang memberikan beberapa arahan kepada pasiennya. "Pasti bakalan kangen banget ya, Kek, pisah sama suster Rina," ujar Eka, cucunya yang sudah berkeluarga dan berumur lebih tua dari Rina. Eka mengerling genit kepada sang Kakek. "Kalau kangen sama Suster Rina, boleh main ke sini ya, kakek?" Tanya Kakek Imran malu-malu kucing. Rina tertawa kecil. Dengan perhatian, Rina menarik selimut sampai menutupi dada kakek. "Tentu saja boleh, yang penting kakek harus sembuh total dulu. Oke?" Kakek Imran mengangguk antusias, ditatapnya Eka dengan mata berbinar. Sedangkan Eka, menutup mulutnya dengan telapak tangan. Berusaha menahan tawa. Tak berapa lama, suara seseorang muncul di ambang pintu rawat
Tak lama, derap sepatu terdengar saat Aisha memasuki rumah sambil berteriak nyaring, saat dia melihat sosok Ari. "Mas Ari!!!" Aisha langsung lompat ke dalam pelukan Ari. Untung saja laki-laki itu berhasil menangkap tubuhnya agar tak terjungkang ke belakang. "Habis dari mana kamu? Kok jam segini baru pulang sekolah. Kamu keluyuran tanpa sepengetahuan Bunda, ya?" Ari menyipitkan mata tajam sambil menjawil hidung Aisha, gemas. "Aku udah izin kok sama Bunda," jawab Aisha sekenanya. "Oh iya, Mas, ceritain dong tentang pengalamannya selama ada di asrama! Pasti pilot-pilotnya ganteng semua, kan?" Aisha menarik tangan Ari secara paksa agar segera duduk di sofa bersamanya. "Nggak juga, sih, masih gantengan Mas Ari," jawab Ari percaya diri seraya mengusap dagunya berulang kali. "Percaya deh, percaya. Bagiku semua pilot itu ganteng dan keren-keren kayak Ayah! Makanya kalau aku udah gede nanti, pengen cari suami pilot. Pokoknya harus kayak Ayah!" Ujar Aisha antusias dengan bola mata berbin
Di dalam kamar, Aisha asyik membaca buku sambil mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan earphone. Mendadak ponselnya berdering pendek. Revan: Hai Mata Aisha membelalak sempurna, dia hampir kejang-kejang mendapatkan pesan singkat dari kakak seniornya yang populer di sekolah. Buru-buru Aisha mengetikkan balasan. Aisha: Halo kak Revan :) Hanya beberapa detik saja, langsung dibalas kembali. Revan: Malam Minggu, nggak jalan Ais? Aisha: Jalan? Hehe, mau jalan sama siapa coba. Revan: Emang nggak punya pacar? Aisha: Available:) Revan: Sama:) Aisha: Ih, masa sih? Nggak mungkin banget. Revan: Serius. Ada waktu nggak, makan berdua yuk. Kemana gitu .... Nyaris, bola mata Aisha rasanya ingin lompat keluar. Di atas kasur, Aisha guling-guling ke sana kemari. Aisha: Boleh, deh. Revan: Kak Revan jemput ya, kirim alamat kamu. Buru-buru Aisha mengirimkan alamatnya kepada Revan. Dia segera berganti pakaian dengan short dress berwarna merah muda dan flat shoes. Saat melenggang s
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi