"Besok perban di kaki kakek baru bisa dibuka ya, dan besok kakek juga udah dibolehin pulang sama dokter. Tapi, ingat ya, kek, untuk beberapa hari ini nggak boleh banyak gerak dan harus istirahat dulu di rumah." Kakek Imran hanya mengangguk-anggukkan kepala saat menatap Rina dengan seksama -- yang sedang memberikan beberapa arahan kepada pasiennya. "Pasti bakalan kangen banget ya, Kek, pisah sama suster Rina," ujar Eka, cucunya yang sudah berkeluarga dan berumur lebih tua dari Rina. Eka mengerling genit kepada sang Kakek. "Kalau kangen sama Suster Rina, boleh main ke sini ya, kakek?" Tanya Kakek Imran malu-malu kucing. Rina tertawa kecil. Dengan perhatian, Rina menarik selimut sampai menutupi dada kakek. "Tentu saja boleh, yang penting kakek harus sembuh total dulu. Oke?" Kakek Imran mengangguk antusias, ditatapnya Eka dengan mata berbinar. Sedangkan Eka, menutup mulutnya dengan telapak tangan. Berusaha menahan tawa. Tak berapa lama, suara seseorang muncul di ambang pintu rawat
Tak lama, derap sepatu terdengar saat Aisha memasuki rumah sambil berteriak nyaring, saat dia melihat sosok Ari. "Mas Ari!!!" Aisha langsung lompat ke dalam pelukan Ari. Untung saja laki-laki itu berhasil menangkap tubuhnya agar tak terjungkang ke belakang. "Habis dari mana kamu? Kok jam segini baru pulang sekolah. Kamu keluyuran tanpa sepengetahuan Bunda, ya?" Ari menyipitkan mata tajam sambil menjawil hidung Aisha, gemas. "Aku udah izin kok sama Bunda," jawab Aisha sekenanya. "Oh iya, Mas, ceritain dong tentang pengalamannya selama ada di asrama! Pasti pilot-pilotnya ganteng semua, kan?" Aisha menarik tangan Ari secara paksa agar segera duduk di sofa bersamanya. "Nggak juga, sih, masih gantengan Mas Ari," jawab Ari percaya diri seraya mengusap dagunya berulang kali. "Percaya deh, percaya. Bagiku semua pilot itu ganteng dan keren-keren kayak Ayah! Makanya kalau aku udah gede nanti, pengen cari suami pilot. Pokoknya harus kayak Ayah!" Ujar Aisha antusias dengan bola mata berbin
Di dalam kamar, Aisha asyik membaca buku sambil mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan earphone. Mendadak ponselnya berdering pendek. Revan: Hai Mata Aisha membelalak sempurna, dia hampir kejang-kejang mendapatkan pesan singkat dari kakak seniornya yang populer di sekolah. Buru-buru Aisha mengetikkan balasan. Aisha: Halo kak Revan :) Hanya beberapa detik saja, langsung dibalas kembali. Revan: Malam Minggu, nggak jalan Ais? Aisha: Jalan? Hehe, mau jalan sama siapa coba. Revan: Emang nggak punya pacar? Aisha: Available:) Revan: Sama:) Aisha: Ih, masa sih? Nggak mungkin banget. Revan: Serius. Ada waktu nggak, makan berdua yuk. Kemana gitu .... Nyaris, bola mata Aisha rasanya ingin lompat keluar. Di atas kasur, Aisha guling-guling ke sana kemari. Aisha: Boleh, deh. Revan: Kak Revan jemput ya, kirim alamat kamu. Buru-buru Aisha mengirimkan alamatnya kepada Revan. Dia segera berganti pakaian dengan short dress berwarna merah muda dan flat shoes. Saat melenggang s
"Sialan tuh, Kak Bima. Masih aja dia berani gangguin lo." Widuri berusaha menahan tawanya, saat Aisha sudah mendaratkan bokong tepat di sebelahnya. "Ih, tau ah. Selera makan gue benar-benar hilang gara-gara Kak Bima." Aisha merampas makanan ringan milik Widuri dan mencomotnya dengan kesal. Widuri menyenggol bahu Aisha menggoda. "Terima aja kenapa sih, Ais. Sejak awal MOS, kan Bima udah tergila-gila sama lo." Aisha mengerutkan hidungnya. "Idih ogah, geli gue! Gini-gini selera cowok gue itu tinggi tahu. Dan kak Bima? Duh, sama sekali bukan level gue." Widuri menutup mulutnya, masih terkikik geli. Kemudian ia memutar kepalanya ke belakang. Menatap rombongan Bima yang masih duduk di kantin. "Kalau sama Kak Widyo, lo mau nggak?" Aisha ikut memutar kepalanya ke arah mata Widuri memandang. Dilihatnya cowok yang duduk di antara rombongan Bima itu. Widyo menggerakkan kepalanya sekilas seolah menikmati lagu yang muncul dari headset-nya. Dan tiba-tiba saja kelopak mata Widyo terangkat ke at
"Sialan tuh, Kak Bima. Masih aja dia berani gangguin lo." Widuri berusaha menahan tawanya, saat Aisha sudah mendaratkan bokong tepat di sebelahnya. "Ih, tau ah. Selera makan gue benar-benar hilang gara-gara Kak Bima." Aisha merampas makanan ringan milik Widuri dan mencomotnya dengan kesal. Widuri menyenggol bahu Aisha menggoda. "Terima aja kenapa sih, Ais. Sejak awal MOS, kan Bima udah tergila-gila sama lo." Aisha mengerutkan hidungnya. "Idih ogah, geli gue! Gini-gini selera cowok gue itu tinggi tahu. Dan kak Bima? Duh, sama sekali bukan level gue." Widuri menutup mulutnya, masih terkikik geli. Kemudian ia memutar kepalanya ke belakang. Menatap rombongan Bima yang masih duduk di kantin. "Kalau sama Kak Widyo, lo mau nggak?" Aisha ikut memutar kepalanya ke arah mata Widuri memandang. Dilihatnya cowok yang duduk di antara rombongan Bima itu. Widyo menggerakkan kepalanya sekilas seolah menikmati lagu yang muncul dari headset-nya. Dan tiba-tiba saja kelopak mata Widyo terangkat ke at
Jarum jam terus berputar tiada henti, hampir berjam-jam Reyna dihantam oleh rasa cemas. Kepala dan dadanya seolah ditusuk perih. Dia kembali melirik jam dinding, kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, Aisha masih belum juga memberikan kabar apa pun. Bahkan saat Reyna menjemputnya di sekolah tadi, Aisha sudah menghilang. Teman-temannya juga tidak tahu keberadaan Aisha."Ari, tolong telepon polisi!" Pintanya pada Ari. Sejak tadi laki-laki itu duduk di sofa, bersikap lebih tenang dari Reyna. Ari mendongakkan kepala, merasa ragu. "Tapi Bun, ini belum 24 jam.""Kita nggak perlu nunggu 24 jam sampai Aisha itu ditemukan!" Reyna berteriak frustrasi. Ia berhenti di tempat sudah tidak berjalan mondar-mandir.Dari arah dapur, Aydan berlari terpontang panting mengambil segelas air dan memberikannya kepada Reyna. "Bun, ini minum untuk Bunda. Tenangin diri Bunda dulu. Atau Bunda mau makan? Dari tadi siang Bunda belum makan. Ay suruh Mbok Imah siapin makan malam, ya?""Bunda bene
Seorang Ibu pasti melindungi anaknya dengan sepenuh jiwa. Tapi kadang seorang anak menganggap perlindungan itu sebagai sikap egois dari seorang Ibu. Tanpa tahu jika setiap nada membentak sekecil apa pun itu akan membuat hati seorang Ibu tergores bahkan sakit dan membuatnya menangis. lylianroses ***** Kevin bersandar di kepala ranjang sambil membaca sebuah buku non-fiksi. Sedangkan di sebelahnya, Reyna tidur dengan posisi berlawan arah. Namun sejak tadi kasur terasa melesak dan grasak grusuk. "Kok, belum tidur, Bun?" Kevin membalikkan lembaran bukunya, matanya melirik sekilas ke arah jam dinding di hadapannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang berpendar. Namun kasur tetap beringsut. "Kok, nggak dijawab, kamu masih marah ya sama aku?" Masih tidak ada tanggapan. Akhirnya Kevin menghela napas dalam, menutup bukunya dan meletakkannya di atas nakas. "Bun ...," panggil Kevin lagi. Kini tubuhnya berada tepat di belakang Reyna.
"Kamu ngapain, Ay?" tanya Kevin yang menemukan anak bungsunya sedang memeriksa lemari dapur. Aydan tersentak kaget. Saat ingin menegakkan badan, kepalanya terantuk pintu lemari. "Aduh ...," ujarnya meringis sambil mengusap kepalanya berulang kali. "Ayah ngagetin Ay aja, Ayah sendiri ngapain di dapur? Kan, udah tengah malam?" Kevin menepuk perutnya pelan. "Biasalah, lapar." Kemudian dia duduk di atas kursi bundar yang berada di meja bar dapur. "Kayaknya, mi instan kita habis, Yah. Di kulkas, cuma ada es krim punya Mbak Aisha. Bisa kembung nih, perut Ay kalau makan es krim tengah malam begini." "Emang Mbok Imah nggak masak?" Aydan menggeleng. "Semua makanan udah habis, soalnya tadi teman-teman Mas Ari pada dateng. Jadi mereka semua deh, yang ngabisin." "Kalau gitu, kita makan di Ayam Penyet Purnama aja, yuk!" Ajakan itu langsung diiyakan oleh Aydan. Tak lama, mereka sudah sampai di warung Ayam Penyet Purnama. Setelah pesanan datang, mereka langsung menyantap makanan dengan
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi