"Ehmm ... Ming Mei ... dia ...," Xiao Lin tergagap, ia berubah menjadi gugup seketika.Melihat perubahan sikap ini, Yun Hui mengernyitkan kening. "Apakah ada yang kau sembunyikan?""Ti-tidak ada, Guru!" Xiao Lin menjawab cepat meski suaranya terdengar gemetar, "Ming Mei tadi meminta izin pergi ke hutan mencari buah berri."Yun Hui menghela napas panjang, gerutuan pelan keluar dari bibirnya. "Aneh sekali anak itu. Baru saja mengalami pelecehan, aku pun sedang terluka, malah pergi bermain-main!"Xiao Lin menunduk dalam, jemarinya saling bertaut dengan gelisah. Ia tak berani menatap langsung mata gurunya yang tajam dan penuh selidik. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian beberapa saat lalu.Ia sudah berusaha keras melarang Ming Mei pergi, apalagi gadis itu baru saja sembuh dari pengaruh racun Bunga Pengendali Roh."Ming Mei, kau baru saja pulih dari pengaruh racun. Lebih baik istirahat dulu!" ujarnya penuh perhatian. Namun, Ming Mei yang keras kepala malah mendengus gusar."Kakak bel
Tiba-tiba, Ming Mei muncul dari balik rak buku, membuat Xiao Lin terlonjak kaget. Jantungnya berdegup kencang, tangannya refleks mengusap dada."Ming Mei, kau mengagetkanku saja!" seru Xiao Lin, berusaha menenangkan diri.Ming Mei menatap kakak seperguruannya dengan tatapan dingin. "Mengapa mencariku?" tanyanya ketus, "bukankah sudah kukatakan bahwa kau tidak perlu mengatur …."Sebelum Ming Mei menyelesaikan kalimatnya, Xiao Lin cepat-cepat memotong, "Guru memintaku mencarimu. Aku khawatir dia akan marah kalau kau tidak segera menemuinya!"Raut wajah Ming Mei berubah seketika. Ada kekesalan dan sedikit kekhawatiran terpancar dari matanya. Ia melirik sekilas ke arah rak buku di belakangnya, tempat Lin Mo bersembunyi."Baiklah," ujar Ming Mei akhirnya, nada suaranya masih terdengar enggan. "Aku akan segera menemui Guru."Xiao Lin mengangguk lega, "Ayo, kita pergi sekarang. Guru sudah menunggu cukup lama."Tiba-tiba terdengar suara buku jatuh dari atas salah satu rak, membuat Xiao Lin d
"Guru," Xiao Lin mengutarakan pendapatnya dengan hati-hati, "apakah tidak sebaiknya kita menyelidiki kasus pelecehan ini lebih mendalam? Mungkin ada bukti atau kesaksian lain yang bisa membantu kita."Biarawati Yun Hui menoleh ke arah Xiao Lin dengan alis sedikit terangkat. Ia menatap murid tertuanya itu dengan pandangan menyelidik. "Apa maksudmu, Xiao Lin? Apakah ada sesuatu yang kau ketahui?" "Guru, saya hanya merasa bahwa dalam kasus seperti ini, kita perlu berhati-hati dan memastikan kebenaran sepenuhnya. Mungkin ada hal lain atau informasi yang belum kita ketahui," jawab Xiao Lin bijaksana.Ming Mei, yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajahnya dengan cepat. Matanya membeliak, menatap Xiao Lin dengan marah, tetapi juga ada pijar ketakutan di sana."Kakak Lin," sergah Ming Mei antara marah dan ketakutan, "apakah kau mengira aku mengada-ada dan melakukan fitnah kepada pemuda berwajah siluman itu?"Xiao Lin terkejut mendengar tuduhan langsung dari adik seperguruannya. Ia menar
Namun, di tengah suasana duka yang masih kental, empat dari lima tetua Bu Tong Pai mulai menampakkan wajah asli mereka. Di hari ke-14, saat seharusnya seluruh murid Bu Tong Pai masih larut dalam kesedihan dan penghormatan terakhir, mereka justru mulai terlibat perdebatan sengit tentang siapa yang layak menggantikan posisi Xun Huan sebagai ketua ke-13 Bu Tong Pai.Tetua Lin, selaku tetua nomor dua di Bu Tong Pai, mengusik suasana hening dengan suaranya yang lantang. "Kita tidak bisa membiarkan posisi ketua kosong terlalu lama, kita harus segera memilih pemimpin baru!" kata pria paruh baya berwajah keras itu dengan tegas.Tetua Ma, pria tua dengan janggut putih pendek dan sorot mata teduh, tertegun mendengar usulan adik seperguruannya itu. Ia menarik napas dalam sebelum menanggapi."Adik Lin," ujar Tetua Ma dengan nada lembut dan sabar, "kita masih dalam suasana berduka. Ketua juga masih belum dimakamkan." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya, "Sebaiknya kita tunda pemi
Ru Chen memberi salam kepada lima tetua, namun hanya Tetua Ma yang membalas salamnya dengan sopan. Sementara empat tetua lainnya membuang muka, berusaha menyembunyikan ekspresi tidak nyaman mereka."Tuan Ru Chen, apakah Anda berniat sembahyang lagi?" Tetua Ma bertanya dengan ramah, berusaha mencairkan suasana yang canggung."Benar," Ru Chen mengangguk perlahan, lalu berkata dengan nada sedikit menyesal, "maaf bila tadi tak sengaja mendengarkan percakapan kalian dari balik pintu."Pengakuan Ru Chen membuat suasana di ruangan itu semakin tidak nyaman. Tetua Ma merasa jengah, ia melirik ke arah empat tetua lainnya, ingin mengetahui respon saudara-saudara seperguruannya. Namun, mereka semua berpura-pura tidak mendengar, menghindari tatapan Ru Chen.Ru Chen membungkuk dalam, tangannya menangkup di depan dada dalam sikap hormat, "Maafkan saya bila lancang, bukan maksud hati ikut campur dalam urusan internal Bu Tong Pai!" Tetua Ma, dengan senyum tulus di wajahnya, membalas sikap hormat Ru C
Sebelum memasuki aula, Yu Ping memerintahkan semua orang meninggalkannya sendirian, kecuali Ru Chen. Suasana hening menyelimuti aula ketika pintu ditutup rapat, dinding-dinding di dalam ruangan seakan berbisik lembut menyambut setiap langkah kedua pria itu dengan gema halus.Sang Raja, matahari kerajaan yang menyinari setiap sudut negeri Qi dengan kemilau cahayanya, kini perlahan meredup. Lutut yang biasanya kokoh menopang beban kerajaan, kini luruh menyentuh lantai marmer di depan altar.Mata sang Raja, yang biasanya seperti nyala api yang mampu membakar semangat para prajurit dan rakyatnya, kini berkabut oleh awan duka cita. Matanya terpaku pada papan nama Xun Huan, seolah pria tua bersahaja itu yang sedang berdiri di hadapannya. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan kekuatan untuk berbicara."Kak Xun Huan," ucapnya lirih dengan suara sedikit bergetar, "aku sungguh tak menyangka kau pergi begitu cepat meninggalkan kami." Yu Ping terdiam sejenak, membiarkan kenangan-kenangan masa lal
Pemakaman ketua Bu Tong Pai, Xun Huan, berlangsung khidmat. Langit pun seolah ikut berduka, menurunkan air mata alam berupa gerimis kecil. Yu Ping, Ru Chen, kelima tetua, serta seluruh murid Bu Tong Pai, berlutut di depan makam. Tubuh mereka melengkung seperti rumput yang menunduk diterpa hujan kesedihan, memberikan penghormatan terakhir mereka.Seusai upacara pemakaman, Yu Ping memanggil kelima tetua dan murid-muridnya untuk berkumpul. "Sebelum aku kembali ke istana, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada kalian semua," Yu Ping mengeluarkan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal dari saku lengan bajunya, “ini adalah gulungan surat wasiat yang pernah dititipkan Ketua Xun Huan kepadaku."Pandangan Sang Raja lalu beralih kepada Tetua Ma, tetua pertama di antara lima tetua."Tetua Ma, sebagai tetua pertama, silakan menerima dan membacakan surat wasiat ini di hadapan semuanya!" perintah Yu PIng dengan nada tegas.Tetua Ma, dengan khidmat, berlutut di hadapan sang Raja dan men
Angin sore itu bertiup kencang, menggoyang dedaunan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi. Di atas sana, di bawah awan-awan gelap, dua sosok melayang, seolah tengah menari di panggung langit. Raja Yu Ping berhadapan dengan sosok misterius berbaju hitam.Dua bilah pisau kembar di tangan si penyerang berkilauan ditimpa cahaya matahari, bagai taring naga yang haus darah. Matanya tajam bagai elang pemburu menatap Yu Ping tanpa berkedip, mencari celah untuk menyerang. Tiba-tiba, bagai kilat menyambar, ia melesat maju.Gerakan pemilik sepasang pisau kembar begitu cepat, nyaris tak tertangkap mata. Suara desingan pisaunya di udara, menciptakan simfoni kematian yang indah namun mematikan. Namun, Yu Ping bukanlah lawan yang seimbang bagi si penyerang. Dengan ketenangan seorang penguasa sejati, ia membaca pola serangan musuhnya. Tepat saat pemilik pisau kembar melancarkan serangan ganda, Yu Ping meloloskan sebuah benda dari balik lengan jubahnya, seruling sakti sang naga yang telah lama menjad
Tangan kanannya mengacungkan selembar kertas pengumuman sambil menunjuk ke arah Du Fei, "Dia si Topeng Hantu!"Kertas berwarna kuning di tangan si prajurit memperlihatkan sketsa wajah buronan bertopeng yang begitu mirip dengan pemuda itu. Du Fei terpaku sejenak melihat kertas kusut yang melambai di udara. Sedetik kelengahan itu sudah cukup memberi kesempatan bagi si Pembunuh misterius untuk kabur. Sosoknya lenyap begitu memasuki lorong-lorong kota yang berliku."Kepung dia!" A Lung mengeluarkan komando, "jangan biarkan Topeng Hantu lolos!"Dua puluh empat prajurit bergerak cepat membentuk lingkaran, mata tombak dan pedang mereka teracung mengancam ke arah Du Fei. Si Topeng Hantu tetap berdiri tenang di tengah lingkaran, meski hanya bertangan kosong namun postur tubuhnya menyiratkan bahaya yang siap meledak.Sementara itu Yun Hao mengamati dengan nafas tertahan. Ia sungguh tak menyangka sosok penyelamat yang membuatnya kagum karena keahlian luar biasa saat menyelamatkan bocah kecil it
Yun Hao cepat menyarungkan pedang, tak ingin memicu kepanikan di antara orang banyak. Ia berusaha mengatur nafas dan langkah agar tampak biasa. Matanya bergerak waspada di antara kerumunan, mencari kilasan putih yang bisa menjadi petunjuk keberadaan si pembunuh. Aroma makanan dan asap dari tungku pedagang makanan bercampur dengan suara-suara keramaian.Sekilas Yun Hao menangkap sosok berpakaian putih tak jauh di depannya. Tanpa pikir panjang, Yun Hao mempercepat langkah dan mencengkeram bahu orang itu dengan kuat. "Berhenti kau!""Aduh!" Orang itu menoleh kesakitan, memperlihatkan wajah seorang pedagang tua yang kebingungan. "Ada apa, Anak Muda?""Maaf, saya salah orang!" Yun Hao buru-buru melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba dari sudut mata, ia menangkap sosok berpakaian putih yang lain, si pembunuh misterius sedang mengawasinya dari balik pilar gazebo, mengenakan kain penutup wajah berwarna senada sehingga sulit melihat seperti apa wajahnya.Merasa ketahuan, sosok itu melesat pergi.
Jenderal Lo sedang berdiskusi dengan Hakim Yang di ruang tamu, sementara A Lung dan dua prajurit berjaga di teras.Tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa memecah keheningan. Yun Hao berlari ke arah mereka, wajahnya tegang seperti ingin menyampaikan kabar penting. Namun langkahnya terhenti mendadak saat A Lung menghadang di depan pintu, lengannya terentang menghalangi jalan."Hey-hey, mau apa kau buru-buru begitu?" hardik A Lung, matanya menyipit curiga."Aku harus bertemu Jenderal Lo dan Hakim Yang!" Yun Hao berusaha menahan nada tak sabar dalam suaranya. Bayangan putih yang baru saja ia lihat berkelebat di kegelapan malam masih membayang di benaknya."Mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu," ujar A Lung ketus, bibirnya mencibir meremehkan, "kau sampaikan saja padaku, nanti aku yang beritahu Jenderal!"Kening Yun Hao berkerut menahan kesal, akan tetapi mengingat situasi genting ini, ia memilih untuk mengalah, "Aku melihat sekilas ada bayangan putih melintas di antara pepohonan di
"Qing Ning …," nama itu meluncur dari bibir Hakim Yang seperti bisikan hantu.Jenderal Lo mencondongkan tubuh ke depan, menangkap perubahan drastis pada raut wajah sahabatnya, "Siapa Qing Ning? Apakah dia memiliki kaitan dengan Dewa Golok Putih?"Hakim Yang menghela nafas berat, tangannya yang gemetar menutup kitab tua itu. "Aku tidak yakin mereka memiliki hubungan dekat, tetapi yang kutahu, Qing Ning adalah istri mendiang Pendekar Iblis yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pasukan Khusus. Dan Dewa Golok Putih mengabdi pada suaminya.""Hmm," Jenderal Lo mengusap jenggotnya, matanya menyipit menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Mungkinkah Dewa Golok Putih berencana membalaskan dendam kematian istri tuannya?"Hakim Yang menggeleng lemah. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke taman belakang. Bunga-bunga persik bermekaran dengan indah menghiasi taman, namun tak mampu menghilangkan kegelisahan di hati pemiliknya."Aku rasa tidak mungkin, dia justru sangat memb
Setelah berpisah dengan para prajuritnya, Jenderal Lo melangkah memasuki kediaman Hakim Yang. Rumah mewah bergaya kuno itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga bersenjata yang mondar-mandir dengan waspada. Hakim Yang, pria berusia 60 tahun dengan jenggot tipis yang terawat, menyambut sahabatnya dengan pelukan hangat."Sahabatku, sudah tiga tahun lebih kita tidak bertemu!" Hakim Yang menepuk punggung Jenderal Lo, "malam ini kau harus bermalam di sini, tidak ada penolakan!"Sambil berbincang dan sesekali tertawa, mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lentera giok, ditemani teh dan kudapan. Namun Jenderal Lo menangkap kegelisahan di balik senyum sahabatnya. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah yang biasanya berseri itu."Ada apa, Saudaraku? Wajahmu seperti awan mendung di musim hujan.”Hakim Yang menghela nafas berat, "Sepertinya ada yang mengincar nyawaku, Lo." Ia menyesap teh dengan tangan sedikit bergetar, "Semua dimulai dengan ditemukannya bangkai tikus di depan pintu, disertai sel
Aroma bunga dahlia menyelimuti kamar yang dihiasi nuansa merah muda. Ming Mei duduk bagai lukisan hidup, tangannya yang putih nan halus bergerak anggun menuangkan teh ke dalam cawan keramik berwarna hijau. Uap hangat mengepul, membawa wangi yang membuat suasana menjadi lebih rileks dan nyaman."Tuan Muda sepertinya belum pernah berdekatan dengan wanita." Senyum Ming Mei mengembang bagai bunga mekar, matanya berkilat jenaka. "Jangan takut, Ming Mei tak akan menggigitmu. Hanya ingin mentraktir Anda minum teh wangi yang terkenal di Wisma Harum ini."Yun Hao menelan ludah, perlahan duduk di hadapan Ming Mei. Degup jantungnya yang tak beraturan seolah mengkhianati ketenangannya yang dipaksakan."Rekan-rekanku mengatakan kalau Tuan Muda datang kemari mencariku, boleh kutahu mengapa?" Suara Ming Mei mengalun bagai petikan kecapi, lembut dan manis."Nona telah menolongku dengan memberitahukan ada pencopet yang berusaha mencuri kantung uangku saat di pasar tadi," Yun Hao menjawab, untuk pertam
"Lihat, ada pemuda tampan datang!" Seorang gadis berbaju kuning cerah memekik girang, memamerkan lesung pipit di pipi saat melihat Yun Hao berdiri sembari celingukan mencari seseorang."Wah, masih muda sekali!" Gadis lain menimpali, matanya berbinar nakal."Kulitnya putih seperti susu!" Gadis ketiga menyahut diiringi tawa genit."Pasti anak orang kaya!" Suara bisik-bisik terdengar di setiap sudut ruang.Dalam sekejap, Yun Hao dikelilingi gadis-gadis berpakaian warna-warni dengan riasan wajah yang mencolok. Wangi bedak dan minyak wangi membuat kepalanya pening. Beberapa gadis mulai berani menyentuh pipi dan menjawil dagu sang pangeran, dan ada juga yang bergelayut manja di lengannya. Tubuh Yun Hao membeku seketika seperti balok es."A-aku mencari gadis berbaju merah muda yang baru masuk," ujarnya tergagap, berusaha mundur namun terhalang oleh gadis-gadis yang semakin mendekat."Oh, kau mencari Nona Ming Mei?" Seorang gadis berbaju hijau terkikik sambil menutup mulutnya dengan lengan ba
Setelah menunggu beberapa saat, Yun Hao melihat jendela samping rumah terbuka. Dari posisinya di balik pohon, ia bisa mengintip ke dalam tanpa terlihat. Pemandangan yang tersaji membuat hatinya terenyuh.Di dalam ruangan sederhana itu, seorang pria tua duduk di kursi kayu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat seperti kertas. Bahkan rambut dan pakaian yang serba putih menambah kesan rapuh pada sosok pria tersebut. Sepertinya ada penyakit yang menggerogoti tubuhnya, terlihat dari nafas yang berat."Ayah, hari ini kita akan pergi ke tabib untuk berobat!" Si gadis pencopet berkata dengan nada riang."Ayah tidak apa-apa, lagipula kita tidak punya uang," suara pria tua itu terdengar letih, seolah telah lama menderita."Siapa bilang?" Gadis itu mengangkat kantung uang milik Yun Hao dengan bangga, menimang-nimangnya di udara, "sekarang kita punya."Raut wajah sang ayah berubah. Ia menggeleng-gelengkan kepala, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang pucat, "Pasti kau mencuri lagi, sudah be
"Jenderal Tua yang memerintahkan saya bergabung, Jenderal," suara Yun Hao berusaha terdengar meyakinkan. "Beliau ingin saya memperoleh pengalaman."Jenderal Lo mengamatinya dengan tajam. "Misi kita adalah misi berbahaya, bukan untuk seorang yang ingin belajar. Apakah kau tidak takut mati?""Tidak, Jenderal!" Yun Hao menggeleng tegas. "Saya siap mati demi melenyapkan pemberontak dari Negeri Wu."Kekaguman melintas di wajah keras Jenderal Lo. Namun sebelum ia sempat menanggapi, derap kaki kuda terdengar mendekat. Rombongan berkuda tersebut adalah para pedagang yang kebetulan lewat. Mereka menyapa Jenderal Lo dengan ramah, mengabarkan tentang pasar malam di kota terdekat yang menarik pengunjung dari berbagai penjuru."Jenderal, kalau kita melepas ketegangan sebentar, apa salahnya?" A Lung berbisik pada Jenderal Lo, matanya berbinar penuh harap."Jenderal, misi kita sangat penting," Yun Hao menyela dengan nada serius. "Sebaiknya kita berfokus pada tujuan utama, bersenang-senang bisa dilak