Du Fei mundur selangkah, otaknya berpacu mencari alasan. Ia tidak boleh membocorkan keberadaan Guru Tua, tapi ia juga tahu Lin Mo tidak akan melepaskannya begitu saja."A-aku ... aku hanya …," Du Fei menjawab terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang tepat.Sementara itu, si pengemis yang tadinya ditolong Du Fei, memperhatikan mereka dengan seksama."Aku hanya bermain-main saja," kata Du Fei akhirnya, berusaha terdengar meyakinkan. Dengan gerakan halus, ia menyembunyikan bungkusan obat di belakang punggungnya. Jantungnya berdegup kencang, khawatir kebohongannya akan terbongkar.Mata tajam Lin Mo yang selalu awas menangkap gerak-gerik mencurigakan Du Fei. Ia melangkah maju, wajahnya berubah garang."Apa yang kau
Si Pengemis yang sedari tadi hanya menonton, kini berdiri tegak menghadapi Lin Mo. Tak ada lagi kesan lemah dan menyedihkan dalam dirinya. Matanya bersinar tajam, tubuhnya yang tadinya membungkuk kini tegap menantang."Kalau ingin berkelahi," kata si Pengemis mengembangkan senyuman sinis, "jangan mencari bocah ingusan!" Ia melangkah maju, berdiri di antara Du Fei dan Lin Mo. "biar aku yang menggantikannya!"Du Fei, yang masih terbaring di tanah, berusaha bangkit dengan susah payah. Pipinya yang terkena pukulan Lin Mo mulai membengkak dan membiru. Namun, meski dalam kondisi babak belur, ia masih memikirkan keselamatan orang lain."Paman, jangan!" Du Fei berkata lirih, wajahnya mengernyit menahan sakit. "Nanti kau terluka!"Si Pengemis menoleh, menatap Du Fei dengan pandan
Bukannya merasa gentar, si Pengemis justru terkekeh pelan. Suara tawanya yang ringan namun penuh percaya diri membuat Lin Mo dan keempat temannya semakin gusar.Dengan gerakan santai berkesan meremehkan, tangan kanan si Pengemis bergerak dalam gerakan memanggil, jari-jari nya berulang kali menekuk ke dalam. "Majulah kalian semua!" tantangnya dengan bibir masih menyunggingkan senyum."Paman, hati-hati!" seru Du Fei dari pinggir arena, sambil meringis memegangi pipinya yang bengkak.Kerumunan penonton semakin membesar. Bisik-bisik keheranan terdengar di sana-sini. Bagaimana mungkin seorang pengemis berani menantang lima murid Bu Tong Pai sekaligus? Bahkan beberapa pria di antaranya membuat taruhan siapa yang akan memenangkan pertarungan nanti.Lin Mo dan keempat temannya s
"Dari teman-temanmu itu!" jawab si Pengemis enteng, seolah-olah apa yang ia lakukan adalah hal yang biasa."Paman, mencuri itu tidak dibenarkan!" tegur Du Fei, keningnya mengernyit tanda tak setuju. Ia teringat akan pesan mendiang ibunya.Si pengemis terkekeh mendengar teguran polos Du Fei. "Dengar, Tuan Kecil!" jelasnya dengan sabar namun serius. "Aku hanya mencuri dari orang-orang congkak, untuk menolong orang-orang yang kelaparan. Terkadang, dunia ini tidak sesederhana hitam dan putih. Yang putih, tak sepenuhnya putih. Dan yang hitam, tak sepenuhnya hitam."Melihat kebimbangan di wajah Du Fei, si pengemis tersenyum sambil menepuk bahunya. "Sudah, jangan banyak tanya lagi!" ujarnya, nada suaranya kembali ceria. "Ayo ikut aku membeli obat!"Si Pengemis menarik bahu Du Fei, menuntunnya kembali ke arah toko obat. Du Fei, meski masih ragu, membiarkan dirinya dibimbing. Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan moral terus bergulir. Apakah mencuri bisa dibenarkan jika tujuannya baik? Apakah
Du Fei melangkah cepat menyusuri jalan setapak menuju gua tempat sang Kakek menunggu. Napasnya tersengal-sengal, lelah sekaligus cemas. Dalam perjalanannya, perhatian Du Fei teralihkan pada dua orang pria asing yang terlihat mendaki Gunung Wudang. Dari langkah kaki yang cepat dan gesit, nyaris tak menyentuh tanah, menunjukkan keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Entah mengapa, pemandangan itu membuat perasaan Du Fei tidak enak. Ia mulai berpikir jangan-jangan kedatangan kedua pria asing itu ada hubungannya dengan Guru Tua. Pemikiran tersebut membuat Du Fei waspada, ia bersembunyi di balik pohon, menunggu sampai kedua pria itu benar-benar telah jauh. Setelah memastikan situasi aman, putra kandung Qing Ning itu melanjutkan perjalanan.Setibanya di mulut gua, Du Fei memperlambat langkah. Ia mengintip ke dalam dan melihat sang Kakek sedang bersemedi, duduk bersila dengan mata terpejam. Untuk sesaat, Du Fei ragu-ragu, tidak ingin mengganggu. Ia memasuki gua sambil me
"Bagus! Masih ingat pulang kau rupanya?" Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari dalam kegelapan. Du Fei berjingkat kaget, refleks menoleh ke arah sumber suara. Ia segera mengenali sosok yang berdiri di penghujung lorong. Sosok itu melangkah mendekat hingga cahaya bulan menerangi sebagian wajahnya yang tampak keruh dan dingin."Tetua Lin!" Du Fei buru-buru membungkuk hormat bercampur takut, takut akan memperoleh hukuman karena menghilang seharian dan lalai mengerjakan tugas-tugasnya."Ke mana saja kau? Meninggalkan perguruan hampir sehari penuh, sepertinya ada yang kau sembunyikan?" tanya Tetua Lin dengan sorot mata curiga.Lagi-lagi, Du Fei terpaksa berbohong, "Murid hanya pergi melihat-lihat ke kota, karena terlalu senang hati hingga lupa untuk pulang. Maafkan Murid, Tetua Lin!"
Sedetik kemudian, terdengar suara telapak tangan beradu dengan kulit pipi mengusik keheningan malam. Mata Du Fei berkunang-kunang saat pipinya merasakan tamparan yang keras dari Lin Mo."Ini karena kau suruh pengemis temanmu mempermalukan kami!" desis kakak seperguruannya dengan nada penuh kebencian, bibirnya menyeringai kejam, menunjukkan kepuasan atas penderitaan Du Fei.Belum habis rasa pening mendera kepala, giliran pipi kirinya yang sudah lebam mendapatkan hajaran yang sama. “Dan ini karena kau membuat kami tidak bisa sarapan pagi tadi!” Lin Mo mendengus seperti kerbau terluka, kembali menghajar Du Fei dengan pukulan dan tamparan tanpa ampun.Beberapa menit kemudian yang seperti selamanya bagi Du Fei, dengan satu tendangan yang kuat, Lin Mo menghantam punggungnya, menyebabkan pemuda itu jatuh tersungkur di tanah. Du Fei nyaris tak bisa bernapas, mulutnya megap-megap seperti ikan kekurangan air saat dadanya membentur tanah keras."Dasar Sampah tak berguna!" Lin Mo tersenyum sinis.
“Hehh, sedang apa kau di situ?” Bentak Lin Mp yang tahu-tahu sudah ada di depannya. Du Fei gelagapan, wajahnya merona merah tanpa disadari. Ia khawatir Lin Mo mengetahui apa yang baru saja menggetarkan hatinya.“Sebentar lagi acara makan bersama, layani para tamu dengan baik, mengerti?!” perintah Lin Mo sambil berkacak pinggang.“Baik!” Du Fei segera berbalik dan berlari menuju ke dapur. Ia sedikit lega Lin Mo tidak menaruh kecurigaan sama sekali melihat kegugupannya tadi.Sesampainya di dapur, Du Fei mulai menyiapkan sajian untuk para tamu. Kali ini ia dibantu beberapa murid lain, karena banyaknya tamu yang datang.“Du Fei, antarkan mangkuk-mangkuk nasi ini ke meja Biarawati Yun Hui!” perintah seorang murid yang bertugas mengantarkan makanan ke meja-meja tamu, “aku harus mencuci mangkuk-mangkuk kotor yang menumpuk.”Du Fei mengangguk sigap, namun di dalam hati jantungnya kembali berdebar penuh ketegangan. Mengantarkan makanan ke meja Biarawati Yun Hui berarti ia akan mendapatkan kese
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu