Tangan kanannya mengacungkan selembar kertas pengumuman sambil menunjuk ke arah Du Fei, "Dia si Topeng Hantu!"Kertas berwarna kuning di tangan si prajurit memperlihatkan sketsa wajah buronan bertopeng yang begitu mirip dengan pemuda itu. Du Fei terpaku sejenak melihat kertas kusut yang melambai di udara. Sedetik kelengahan itu sudah cukup memberi kesempatan bagi si Pembunuh misterius untuk kabur. Sosoknya lenyap begitu memasuki lorong-lorong kota yang berliku."Kepung dia!" A Lung mengeluarkan komando, "jangan biarkan Topeng Hantu lolos!"Dua puluh empat prajurit bergerak cepat membentuk lingkaran, mata tombak dan pedang mereka teracung mengancam ke arah Du Fei. Si Topeng Hantu tetap berdiri tenang di tengah lingkaran, meski hanya bertangan kosong namun postur tubuhnya menyiratkan bahaya yang siap meledak.Sementara itu Yun Hao mengamati dengan nafas tertahan. Ia sungguh tak menyangka sosok penyelamat yang membuatnya kagum karena keahlian luar biasa saat menyelamatkan bocah kecil it
"Menyerahlah, Topeng Hantu!" Yun Hao mendesis dingin, meski jauh di lubuk hati masih tersisa kekaguman pada penyelamat nyawa bocah kecil itu.Dalam kegelapan, senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. "Kau pandai memilih waktu, Anak Muda.""Sebaiknya kau bekerja sama denganku kalau tak ingin kepalamu terpisah!" Pedang di tangan Yun Hao menekan sedikit lebih dalam ke kulit leher buronan kerajaan. Bergerak sedikit saja maka kulit Du Fei akan tergores."Lucu sekali!" Du Fei terkekeh, suaranya ringan seolah tak merasa terancam sama sekali. "Kau jelas-jelas tak ingin membunuhku. Kalau kau ingin melakukannya, pasti tak akan menolongku tadi. Benar bukan?"Yun Hao terdiam, genggamannya pada pedang sedikit mengendur. Dalam sekejap mata, Du Fei memanfaatkan kelengahan ini. Tubuhnya berputar bagai angin puyuh, tangannya menepis pedang dengan gerakan kilat.TRANG!Pedang terlempar, namun Yun Hao tak kalah cepat. Kakinya bergerak dalam tendangan beruntun yang membuat Du Fei terpaksa melompat mundu
"Ssst!" Du Fei mendadak menghentikan pembicaraan, telinganya menangkap derap langkah dan suara-suara di luar. Kedua pemuda itu segera melompati jendela dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk bersembunyi di atas tembok pembatas. Dedaunan rimbun melindungi mereka dari pandangan mata orang-orang di bawahnya.Ratapan pilu terdengar nyaring di pagi hari itu. Istri Hakim Yang terhuyung memasuki halaman, wajahnya pucat pasi dengan bekas air mata yang belum mengering. Di kanan kirinya, dua putra sang Hakim memapah tubuh ringkih ibunya yang gemetar hebat."Suamiku ... suamiku …," Nyonya Yang terisak sebelum tubuhnya limbung tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya."Ibu!" Kedua putranya dengan sigap menangkap dan membawanya duduk di bangku taman. Wajah mereka memancarkan duka yang dalam, bercampur dengan amarah yang siap meledak.Yang Jin, putra sulung Hakim Yang, melangkah dengan tangan terkepal ke arah Jenderal Lo yang menyambut kedatangan mereka. Matanya merah, suaranya bergetar menah
Sudut bibir Yun Hao terangkat membentuk senyum dingin. Akhirnya ia memiliki kesempatan yang ditunggu-tunggu - waktu untuk menyelidiki tanpa gangguan dari dua prajurit yang sok berkuasa itu.Selama berjam-jam ia berpatroli mengelilingi kediaman megah tersebut, matanya awas mencari petunjuk sekecil apapun. Namun hingga langit mulai memerah, tak ada hal mencurigakan yang ditemukan. Tubuhnya yang lelah memaksanya beristirahat di bawah pohon besar di halaman belakang.Kantuk hampir menyergapnya ketika suara langkah-langkah kaki mengusik pendengarannya. Dengan sigap, Yun Hao melompat dan bersembunyi di balik pohon. 'A Lung kah itu? Jangan sampai ia mengadu pada Jenderal Lo,' pikirnya was-was.Dugaan Yun Hao meleset. Yang muncul bukanlah A Lung melainkan Yang Jin, putra sulung mendiang Hakim Yang. Pemuda itu tampak gelisah bercampur marah, tangannya tak berhenti mencabuti dan meremas daun-daun tanaman di dekatnya. Tak lama, seorang pria setengah baya berpakaian sederhana datang menghampiri
Merasa kondisinya terjepit, Yun Hao hampir saja keluar dari persembunyian. Di saat-saat kritis itulah terdengar suara langkah kaki lembut memasuki halaman belakang."Yang Jin, mengapa kau masih ada di sini?"Suara Nyonya Yang mengalihkan perhatian putra sulungnya. Wanita paruh baya itu berdiri anggun dalam balutan pakaian berkabung, ditemani putra bungsu. Keningnya berkerut dalam menatap sang putra sulung.Yang Jin berbalik, menjauhi pohon besar tempatnya hendak memeriksa. Kakinya melangkah berat menuju ibunya."Upacara pemakaman ayahmu akan segera dimulai," Nyonya Yang menggelengkan kepala. "Mengapa kau malah menghilang dan berada di sini bersama Paman Yin?""Maaf, Ibu …," Yang Jin menunduk, menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang punggung. "Aku sedang membahas tentang Ayah dengan Paman Yin."Wajah Nyonya Yang melembut. Angin senja memainkan ujung pakaian berkabungnya saat ia berkata, "Ayahmu telah tiada. Kita harus merelakan kepergiannya dan menjalani kehidupan baru."Tak
Yun Hao melompat masuk melalui jendela. Ming Mei buru-buru menyeka pipinya dengan sapu tangan sutera, menyembunyikan jejak air mata."Adik Yun, mengapa kau masuk melalui jendela?" Ming Mei bangkit berdiri, berusaha terlihat anggun meski matanya masih memerah.Yun Hao berdiri canggung, wajahnya diliputi keraguan. Ming Mei menangkap perubahan raut itu, menyadari pemuda di hadapannya pasti telah mendengar semuanya."Nona Ming Mei …," Yun Hao terdiam, kata-kata yang telah ia susun sepanjang jalan seakan menguap."Kau pasti sudah mendengarkan semuanya," Ming Mei mengalihkan pandangan ke arah lilin yang bergoyang di atas meja. "Aku tak akan menyalahkanmu kalau kau memilih menjauhiku karena aku hanyalah wanita penghibur yang hina."Langkah pelan membawa Yun Hao mendekat. Tangannya menyentuh bahu Ming Mei dengan lembut. "Aku tidak berniat menghakimi," suaranya tenang dan tegas. "Aku datang justru karena ingin menolongmu."Ming Mei mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang berkaca-kaca menata
Dupa mengepul di depan makam Hakim Yang. Yun Hao berdiri di barisan prajurit paling belakang. Matanya yang setajam elang diam-diam mengamati masing-masing raut wajah keluarga yang berduka.Yang Jin, sang putra sulung, berlutut di depan makam. Bahunya yang biasa tegap kini gemetar menahan isak. Tangannya meremas tanah merah di bawahnya, seolah ingin menggali kembali penyesalan yang terlambat terucap.Di sisi lain, Yang Ming, sang putra bungsu hanya berdiri seperti patung. Matanya kosong menatap nisan ayahnya, sementara tangannya tak lepas menggenggam lengan sang ibu.Tetapi yang lebih menarik perhatian Yun Hao adalah istri mendiang Hakim Yang. Wanita yang baru beberapa jam lalu Yun Hao saksikan begitu tegar di halaman belakang rumah, kini mengeluarkan jeritan pilu. Tubuhnya oleng, lalu jatuh tak sadarkan diri."Ibu!" Yang Ming menangkap tubuh ibunya tepat sebelum menyentuh tanah. Paman Yin bergegas membantu, membopong Nyonya Yang menjauh dari pemakaman menuju ke rumah mereka.Yun Hao m
Di antara tumpukan daun-daun kering, sesuatu menyembul keluar, sebuah tangan pucat yang bernoda merah pekat. Jari-jarinya mencengkeram tanah dalam posisi yang tidak natural, seolah pemiliknya telah berusaha merangkak sebelum ajal menjemput."Pa-Paman!" Yang Jin tersandung kakinya sendiri saat melompat mundur. Tubuh kurusnya gemetar saat ia berlindung di balik sosok tegap Paman Yin. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Dengan suara bergetar, Yang Jin berbisik, "Paman ... cepat periksa itu tangan siapa!"Paman Yin menelan ludah. Wajahnya yang keriput memancarkan keraguan bercampur rasa takut, namun ia mengangguk pelan. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar kakinya, sampai akhirnya menemukan sebatang ranting kering yang cukup panjang.Dengan hati-hati, pria tua itu mendekati tumpukan daun. Tangannya yang memegang ranting bergerak perlahan, menyingkirkan dedaunan satu per satu. Suara gemerisik daun kering menambah seram suasana.Tiba-tiba Paman Yin terhuyung mundur. Matanya terbelala
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu