Di antara tumpukan daun-daun kering, sesuatu menyembul keluar, sebuah tangan pucat yang bernoda merah pekat. Jari-jarinya mencengkeram tanah dalam posisi yang tidak natural, seolah pemiliknya telah berusaha merangkak sebelum ajal menjemput."Pa-Paman!" Yang Jin tersandung kakinya sendiri saat melompat mundur. Tubuh kurusnya gemetar saat ia berlindung di balik sosok tegap Paman Yin. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Dengan suara bergetar, Yang Jin berbisik, "Paman ... cepat periksa itu tangan siapa!"Paman Yin menelan ludah. Wajahnya yang keriput memancarkan keraguan bercampur rasa takut, namun ia mengangguk pelan. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar kakinya, sampai akhirnya menemukan sebatang ranting kering yang cukup panjang.Dengan hati-hati, pria tua itu mendekati tumpukan daun. Tangannya yang memegang ranting bergerak perlahan, menyingkirkan dedaunan satu per satu. Suara gemerisik daun kering menambah seram suasana.Tiba-tiba Paman Yin terhuyung mundur. Matanya terbelala
"Penawar serbuk pelemas otot?" Du Fei mengernyitkan kening. Ia mengusap dagu perlahan, "Racun itu sudah lama tidak digunakan karena bahannya berupa akar bunga kematian yang hanya ada di Gunung Wudang, sudah lama dimusnahkan oleh mendiang Ketua Bu Tong Pai, Xun Huan."Yun Hao mengangkat bahu, sinar matanya meredup, "Tetapi itulah yang terjadi pada teman dekatku. Seseorang yang ia percayai melumpuhkannya dan menjualnya ke Wisma Harum. Ia tak bisa kabur karena seluruh tenaga dalamnya sirna."Du Fei menatap rekannya dengan sorot mata penuh simpati, "Apakah kau menyukai gadis itu?" Wajah tampan Yun Hao menghangat, "Ti-tidak ... aku hanya ingin menolongnya sebagai seorang sahabat." Suaranya terdengar gugup, mengkhianati kata-katanya sendiri.Du Fei tersenyum hangat, merangkul bahu Yun Hao. "Baik, karena kau sudah mengakui menyukai gadis itu, aku akan menolongmu!""Eh, aku tidak ...," Yun Hao mencoba membantah, namun melihat senyum penuh arti Du Fei, ia hanya bisa menunduk dengan wajah jen
Pemandangan yang menyambut Yun Hao membuat darahnya membeku. Ming Mei terpojok di sudut kamar, kedua tangannya mencengkeram tangan kekar yang mencekik lehernya. Wajahnya yang pucat mulai membiru, matanya membelalak penuh teror menatap sosok pria berpakaian hitam yang bercadar di hadapannya.Dengan gerakan secepat kilat, Yun Hao segera mencabut pedang. Bilah baja itu bersinar menyilaukan saat ia melancarkan tusukan tajam ke arah si penyerang. Pria bercadar itu terpaksa melepaskan cengkeramannya, melompat mundur menghindari tebasan maut."Uhuk ... uhuk …,” Ming Mei nyaris terjatuh lemas ke lantai, terbatuk-batuk sambil mengusap lehernya yang memerah. Yun Hao segera memeluk pinggang gadis itu dan menahannya agar tak terjatuh dengan keras ke lantai.Sosok bercadar melirik ke arah jendela, kemudian bergerak cepat mencoba melarikan diri. Namun Yun Hao lebih sigap. Ia melepaskan Ming Mei setelah gadis itu duduk di kursi. Kakinya menjejak lantai dengan kuat, tubuhnya melesat ke udara dalam
Suara derap langkah terdengar bergemuruh memasuki Wisma Harum. Jenderal Lo muncul diikuti sejumlah prajurit dengan pedang dan tombak terhunus. Sang Jenderal terpaku. Alisnya nyaris bertaut melihat sosok Yun Hao, salah satu prajuritnya, berdiri di dekat tubuh yang tergeletak tak bergerak di antara serpihan meja. Darah menggenang di sekitar kepala sosok yang ia kenali sebagai Paman Yin, pelayan setia keluarga Hakim Yang."Yun Hao, apa yang terjadi?!" hardik Jenderal Lo gusar. Yun Hao yang tampak masih terpukul hanya diam membisu sambil memandangi mayat Paman Yin. Jenderal Lo menoleh ke arah A San, memberikan isyarat dengan menggerakkan dagu. "Periksa kondisinya!"A San maju dengan hati-hati. Ia berjongkok di samping tubuh Paman Yin, dua jarinya yang kasar menyentuh kulit di bawah hidung korban. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan perasaan tegang.Prajurit senior itu menahan nafas mengetahui Paman Yin sudah tak bernafas lagi. Tangannya kemudian bergerak memeriksa mulut korban y
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Suara derap langkah terdengar bergemuruh memasuki Wisma Harum. Jenderal Lo muncul diikuti sejumlah prajurit dengan pedang dan tombak terhunus. Sang Jenderal terpaku. Alisnya nyaris bertaut melihat sosok Yun Hao, salah satu prajuritnya, berdiri di dekat tubuh yang tergeletak tak bergerak di antara serpihan meja. Darah menggenang di sekitar kepala sosok yang ia kenali sebagai Paman Yin, pelayan setia keluarga Hakim Yang."Yun Hao, apa yang terjadi?!" hardik Jenderal Lo gusar. Yun Hao yang tampak masih terpukul hanya diam membisu sambil memandangi mayat Paman Yin. Jenderal Lo menoleh ke arah A San, memberikan isyarat dengan menggerakkan dagu. "Periksa kondisinya!"A San maju dengan hati-hati. Ia berjongkok di samping tubuh Paman Yin, dua jarinya yang kasar menyentuh kulit di bawah hidung korban. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan perasaan tegang.Prajurit senior itu menahan nafas mengetahui Paman Yin sudah tak bernafas lagi. Tangannya kemudian bergerak memeriksa mulut korban y
Pemandangan yang menyambut Yun Hao membuat darahnya membeku. Ming Mei terpojok di sudut kamar, kedua tangannya mencengkeram tangan kekar yang mencekik lehernya. Wajahnya yang pucat mulai membiru, matanya membelalak penuh teror menatap sosok pria berpakaian hitam yang bercadar di hadapannya.Dengan gerakan secepat kilat, Yun Hao segera mencabut pedang. Bilah baja itu bersinar menyilaukan saat ia melancarkan tusukan tajam ke arah si penyerang. Pria bercadar itu terpaksa melepaskan cengkeramannya, melompat mundur menghindari tebasan maut."Uhuk ... uhuk …,” Ming Mei nyaris terjatuh lemas ke lantai, terbatuk-batuk sambil mengusap lehernya yang memerah. Yun Hao segera memeluk pinggang gadis itu dan menahannya agar tak terjatuh dengan keras ke lantai.Sosok bercadar melirik ke arah jendela, kemudian bergerak cepat mencoba melarikan diri. Namun Yun Hao lebih sigap. Ia melepaskan Ming Mei setelah gadis itu duduk di kursi. Kakinya menjejak lantai dengan kuat, tubuhnya melesat ke udara dalam
"Penawar serbuk pelemas otot?" Du Fei mengernyitkan kening. Ia mengusap dagu perlahan, "Racun itu sudah lama tidak digunakan karena bahannya berupa akar bunga kematian yang hanya ada di Gunung Wudang, sudah lama dimusnahkan oleh mendiang Ketua Bu Tong Pai, Xun Huan."Yun Hao mengangkat bahu, sinar matanya meredup, "Tetapi itulah yang terjadi pada teman dekatku. Seseorang yang ia percayai melumpuhkannya dan menjualnya ke Wisma Harum. Ia tak bisa kabur karena seluruh tenaga dalamnya sirna."Du Fei menatap rekannya dengan sorot mata penuh simpati, "Apakah kau menyukai gadis itu?" Wajah tampan Yun Hao menghangat, "Ti-tidak ... aku hanya ingin menolongnya sebagai seorang sahabat." Suaranya terdengar gugup, mengkhianati kata-katanya sendiri.Du Fei tersenyum hangat, merangkul bahu Yun Hao. "Baik, karena kau sudah mengakui menyukai gadis itu, aku akan menolongmu!""Eh, aku tidak ...," Yun Hao mencoba membantah, namun melihat senyum penuh arti Du Fei, ia hanya bisa menunduk dengan wajah jen
Di antara tumpukan daun-daun kering, sesuatu menyembul keluar, sebuah tangan pucat yang bernoda merah pekat. Jari-jarinya mencengkeram tanah dalam posisi yang tidak natural, seolah pemiliknya telah berusaha merangkak sebelum ajal menjemput."Pa-Paman!" Yang Jin tersandung kakinya sendiri saat melompat mundur. Tubuh kurusnya gemetar saat ia berlindung di balik sosok tegap Paman Yin. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Dengan suara bergetar, Yang Jin berbisik, "Paman ... cepat periksa itu tangan siapa!"Paman Yin menelan ludah. Wajahnya yang keriput memancarkan keraguan bercampur rasa takut, namun ia mengangguk pelan. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar kakinya, sampai akhirnya menemukan sebatang ranting kering yang cukup panjang.Dengan hati-hati, pria tua itu mendekati tumpukan daun. Tangannya yang memegang ranting bergerak perlahan, menyingkirkan dedaunan satu per satu. Suara gemerisik daun kering menambah seram suasana.Tiba-tiba Paman Yin terhuyung mundur. Matanya terbelala
Dupa mengepul di depan makam Hakim Yang. Yun Hao berdiri di barisan prajurit paling belakang. Matanya yang setajam elang diam-diam mengamati masing-masing raut wajah keluarga yang berduka.Yang Jin, sang putra sulung, berlutut di depan makam. Bahunya yang biasa tegap kini gemetar menahan isak. Tangannya meremas tanah merah di bawahnya, seolah ingin menggali kembali penyesalan yang terlambat terucap.Di sisi lain, Yang Ming, sang putra bungsu hanya berdiri seperti patung. Matanya kosong menatap nisan ayahnya, sementara tangannya tak lepas menggenggam lengan sang ibu.Tetapi yang lebih menarik perhatian Yun Hao adalah istri mendiang Hakim Yang. Wanita yang baru beberapa jam lalu Yun Hao saksikan begitu tegar di halaman belakang rumah, kini mengeluarkan jeritan pilu. Tubuhnya oleng, lalu jatuh tak sadarkan diri."Ibu!" Yang Ming menangkap tubuh ibunya tepat sebelum menyentuh tanah. Paman Yin bergegas membantu, membopong Nyonya Yang menjauh dari pemakaman menuju ke rumah mereka.Yun Hao m
Yun Hao melompat masuk melalui jendela. Ming Mei buru-buru menyeka pipinya dengan sapu tangan sutera, menyembunyikan jejak air mata."Adik Yun, mengapa kau masuk melalui jendela?" Ming Mei bangkit berdiri, berusaha terlihat anggun meski matanya masih memerah.Yun Hao berdiri canggung, wajahnya diliputi keraguan. Ming Mei menangkap perubahan raut itu, menyadari pemuda di hadapannya pasti telah mendengar semuanya."Nona Ming Mei …," Yun Hao terdiam, kata-kata yang telah ia susun sepanjang jalan seakan menguap."Kau pasti sudah mendengarkan semuanya," Ming Mei mengalihkan pandangan ke arah lilin yang bergoyang di atas meja. "Aku tak akan menyalahkanmu kalau kau memilih menjauhiku karena aku hanyalah wanita penghibur yang hina."Langkah pelan membawa Yun Hao mendekat. Tangannya menyentuh bahu Ming Mei dengan lembut. "Aku tidak berniat menghakimi," suaranya tenang dan tegas. "Aku datang justru karena ingin menolongmu."Ming Mei mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang berkaca-kaca menata
Merasa kondisinya terjepit, Yun Hao hampir saja keluar dari persembunyian. Di saat-saat kritis itulah terdengar suara langkah kaki lembut memasuki halaman belakang."Yang Jin, mengapa kau masih ada di sini?"Suara Nyonya Yang mengalihkan perhatian putra sulungnya. Wanita paruh baya itu berdiri anggun dalam balutan pakaian berkabung, ditemani putra bungsu. Keningnya berkerut dalam menatap sang putra sulung.Yang Jin berbalik, menjauhi pohon besar tempatnya hendak memeriksa. Kakinya melangkah berat menuju ibunya."Upacara pemakaman ayahmu akan segera dimulai," Nyonya Yang menggelengkan kepala. "Mengapa kau malah menghilang dan berada di sini bersama Paman Yin?""Maaf, Ibu …," Yang Jin menunduk, menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang punggung. "Aku sedang membahas tentang Ayah dengan Paman Yin."Wajah Nyonya Yang melembut. Angin senja memainkan ujung pakaian berkabungnya saat ia berkata, "Ayahmu telah tiada. Kita harus merelakan kepergiannya dan menjalani kehidupan baru."Tak
Sudut bibir Yun Hao terangkat membentuk senyum dingin. Akhirnya ia memiliki kesempatan yang ditunggu-tunggu - waktu untuk menyelidiki tanpa gangguan dari dua prajurit yang sok berkuasa itu.Selama berjam-jam ia berpatroli mengelilingi kediaman megah tersebut, matanya awas mencari petunjuk sekecil apapun. Namun hingga langit mulai memerah, tak ada hal mencurigakan yang ditemukan. Tubuhnya yang lelah memaksanya beristirahat di bawah pohon besar di halaman belakang.Kantuk hampir menyergapnya ketika suara langkah-langkah kaki mengusik pendengarannya. Dengan sigap, Yun Hao melompat dan bersembunyi di balik pohon. 'A Lung kah itu? Jangan sampai ia mengadu pada Jenderal Lo,' pikirnya was-was.Dugaan Yun Hao meleset. Yang muncul bukanlah A Lung melainkan Yang Jin, putra sulung mendiang Hakim Yang. Pemuda itu tampak gelisah bercampur marah, tangannya tak berhenti mencabuti dan meremas daun-daun tanaman di dekatnya. Tak lama, seorang pria setengah baya berpakaian sederhana datang menghampiri
"Ssst!" Du Fei mendadak menghentikan pembicaraan, telinganya menangkap derap langkah dan suara-suara di luar. Kedua pemuda itu segera melompati jendela dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk bersembunyi di atas tembok pembatas. Dedaunan rimbun melindungi mereka dari pandangan mata orang-orang di bawahnya.Ratapan pilu terdengar nyaring di pagi hari itu. Istri Hakim Yang terhuyung memasuki halaman, wajahnya pucat pasi dengan bekas air mata yang belum mengering. Di kanan kirinya, dua putra sang Hakim memapah tubuh ringkih ibunya yang gemetar hebat."Suamiku ... suamiku …," Nyonya Yang terisak sebelum tubuhnya limbung tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya."Ibu!" Kedua putranya dengan sigap menangkap dan membawanya duduk di bangku taman. Wajah mereka memancarkan duka yang dalam, bercampur dengan amarah yang siap meledak.Yang Jin, putra sulung Hakim Yang, melangkah dengan tangan terkepal ke arah Jenderal Lo yang menyambut kedatangan mereka. Matanya merah, suaranya bergetar menah