Suara yang tadinya tenang dan anggun itu mendadak bergetar. Du Fei menoleh dan tertegun melihat mata jernih itu kini berkaca-kaca, seperti menyimpan kerinduan yang lama terpendam.Sebelum Du Fei sempat bereaksi, Nona Xin telah bergerak secepat kilat ke arahnya. Jemari lentiknya yang halus meraih tangan Du Fei, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan."Eeh, Nona Xin …," Du Fei menjadi salah tingkah, wajahnya memanas saat wanita cantik itu mengusap pipinya dengan lembut. Tatapan mesra yang diberikan Nona Xin membuatnya membeku di tempat, tak mampu bergerak ataupun berpikir jernih."Apakah Nona Xin jatuh cinta kepadaku pada pandangan pertama?" batinnya dengan jantung berdebar kencang. "Nona ... bu-bukan aku tak su-suka, tapi ini terlalu ... cepat!" Du Fei tergagap, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.Seulas senyum lembut tersungging di bibir Nona Xin. "Kau sudah besar sekarang, Keponakanku sayang!""Ke-keponakan?" Du Fei mengerjap beber
Rubah Merah menyemburkan api dari moncongnya, menciptakan badai api yang menghanguskan udara. Tetapi Du Fei merasakan tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Tangannya terangkat, energi keemasan mengalir dari telapak tangannya, membentuk perisai yang menahan semburan api."Bibi, di belakangmu!" Du Fei berseru ketika melihat Lushe Yao, si Siluman Ular menyerang dengan taring beracunnya.Xin Ru tersenyum, tubuhnya melenting ke belakang dengan anggun. Saat Lushe Yao melesat lewat di atasnya, jemari lentiknya menampar sisik ular itu, "Segel Cahaya!""ARRGGHH!" Lushe Yao menjerit kesakitan ketika sekujur tubuhnya terasa seperti panas terbakar, sisik-sisiknya mulai memerah dan retak, "Apa yang kau lakukan padaku?""Mengembalikanmu ke wujud asli," Xin Ru mendarat dengan ringan ke atas tanah, "Seekor ular hijau kecil yang terlalu serakah."Xie Gua mengambil kesempatan menyerang Du Fei yang asyik menonton pertarungan bibinya dari arah belakang. Siluman itu tak tahu kalau mata pemuda itu yang kin
Xin Ru tersenyum misterius, jemarinya yang lentik meraih tangan Du Fei. "Kau siap melihatnya?"Sebelum Du Fei sempat menjawab, Xin Ru mengajaknya melangkah ke bibir jurang. "Bi-Bibi?" "Percayalah padaku," bisik Bibi cantik sebelum melompat ke dalam jurang, menarik Du Fei bersamanya.Angin dingin menyayat wajah mereka saat tubuh keduanya meluncur turun dengan kecepatan mengerikan. Du Fei merasakan jantungnya seolah naik ke tenggorokan, wajahnya pucat pasi. Ia memejamkan mata erat-erat, tangannya mencengkeram tangan Xin Ru seperti pegangan terakhir kehidupan."Bukalah matamu, Du Fei!" suara Xin Ru terdengar jernih di tengah deru angin.Dengan perasaan was-was, Du Fei memberanikan diri membuka mata. Pemandangan yang menyambutnya membuat nafasnya tercekat, mereka melayang turun ke dalam jurang raksasa yang dindingnya bercahaya seperti kristal. Stalaktit es yang besar menggantung bagai pedang-pedang raksasa, memantulkan cahaya dari suatu sumber yang belum terlihat.Semakin dalam mereka tu
"Beraninya kau mengusik tidurku!" Suara mendesis bergema dalam air, menggetarkan seluruh danau. Seekor belut raksasa melesat dengan kecepatan tak terduga ke arah Du Fei, pemuda itu berhasil menghindar, namun tak urung ujung ekor makhluk itu menyabet lengannya, menciptakan luka goresBelut raksasa itu mengamuk, murka karena kehadiran Du Fei yang mengusik kedamaian danau. Air yang biasanya sedingin es kini menghangat oleh energi yang diserap si Topeng Hantu."Berani sekali kau mencuri energi kediamanku!" Belut siluman mendesis marah. Tubuh peraknya berkilat dalam kegelapan, listrik biru mulai menari-nari di sepanjang sisiknya."Tunggu! Aku ke sini untuk …," Du Fei tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena belut itu kembali menyerang, kali ini dengan mulut menganga memamerkan deretan gigi setajam pedang.Du Fei berusaha berenang naik ke permukaan, namun ekor siluman belut raksasa menyambar bagai cambuk. Percikan listrik biru menyambar, nyaris mengenai kakinya. Belum sempat Du Fei mengh
"Ternyata kitab Sembilan Naga ditulis pada dinding batu!" Du Fei terkesiap, matanya melebar takjub. Di hadapannya, rahasia ilmu tertinggi Klan Naga terpapar dalam bentuk yang tak pernah ia bayangkan - terukir abadi dalam dinding gua yang tersembunyi di dasar danau es.Tulisan-tulisan itu berpendar semakin terang, seolah merespons kehadiran Du Fei. Ia bisa merasakan energi kuno mengalir dari setiap huruf yang terukir, memanggil darah naga yang mengalir dalam nadinya."Inilah warisan sejati Klan Naga," bisiknya penuh kekaguman, tangannya menyentuh dinding yang berpendar. "Bukan sebuah kitab yang bisa dibawa pergi, tapi pengetahuan yang hanya bisa dipelajari di tempat suci ini."Matanya terpaku pada tulisan besar di bagian atas, 'Hanya yang terpilih yang diizinkan menguasai seluruh isi kitab Sembilan Naga, bila tidak terpilih maka tubuh akan hangus saat mempelajarinya.'Du Fei menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat menyentuh ukiran pertama yang menjelaskan dasar-dasar ilmu pedang
"Bibi, aku harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Huolong," Du Fei membungkuk hormat pada Xin Ru yang berdiri di mulut gua.Xin Ru mengangguk, ia membawa keponakannya terbang ke atas hingga mencapai bibr tebing lalu mendarat di atas hamparan rumput."Ingatlah selalu, Du Fei!" ujar Xin Ru lembut juga tegas, "kekuatan yang kau miliki sekarang adalah tanggung jawab besar. Berpeganglah selalu pada kebenaran, jangan biarkan dendam atau kebencian menguasai hatimu!""Aku berjanji, Bibi," Du Fei mengangguk mantap. Dengan langkah ringan ia mulai menuruni gunung, sosoknya perlahan menghilang di balik kabut pagi.***Malam merangkak sunyi di tepi Sungai Kuning. Air sungai yang biasanya keruh kini berkilau hitam memantulkan cahaya bulan. Di tepinya, seorang wanita berbaju hitam berdiri tegak, rambutnya yang panjang bergerak pelan ditiup angin malam.Jin She, senior dari sekte Iblis Bayangan, dengan dua gelang besi terselip di pinggangnya, menatap tajam ke arah sungai. Matanya yang setajam elang m
"Gu-Guru ... murid tidak mampu!" Li Li menjawab gemetar, "mengapa tidak Saudari Xiao Lin saja? Dia lebih lay ....""Diamm, ucapanku adalah perintah yang tak bisa dibantah!" Yun Hui memotong dengan nada tegas.Di balik wajah murkanya, mata Yun Hui menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah - sebuah rahasia gelap yang tak akan pernah ia ungkapkan pada siapapun.Upacara pelantikan Li Li sebagai ketua Hoa Mei yang baru berlangsung dalam keheningan. Tak seorang pun berani membantah keputusan Biarawati Yun Hui, meski kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.Begitu upacara selesai, Yun Hui bergegas meninggalkan aula, mengabaikan Xiao Lin yang berusaha berbicara dengannya. Sang Biarawati mengurung diri di ruang pertapaan, tempat ia selalu menyendiri belakangan ini.Dengan hati was-was, Xiao Lin memberanikan diri mengetuk pintu ruangan itu."Masuk!" Suara Yun Hui terdengar dari dalam.Xiao Lin melangkah masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan sayuran. Begitu melihatnya, Yun
Pintu kuil berderit terbuka, sosok bertopeng hitam berdiri di ambang pintu. Cahaya lampion yang tergantung di teras kuil menerangi topengnya yang berukir."Amitaba," Xiao Lin berusaha untuk tetap tenang dan menyapa tamu tak diundang di hadapannya, "mengapa Anda datang ke kuil malam-malam dengan cara seperti ini? Apakah yang Anda cari?"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Jari-jarinya yang panjang mengincar leher Xiao Lin dengan gerakan menotok. Xiao Lin memiringkan tubuh, menghindari serangan itu dalam hitungan sepersekian detik. Jantungnya nyaris berhenti saat merasakan angin dingin dari serangan yang nyaris mengenai nadinya."Trakk!" Tasbih kayu di tangan Xiao Lin berbenturan dengan lengan si penyerang. Butir-butir tasbih berputar cepat, menciptakan perisai yang menangkis serangan bertubi-tubi. Namun lawannya tak memberi kesempatan bernafas lega - setiap serangan yang ditangkis segera diikuti serangan lain ke arah pundak, seolah berusaha menotok titik vital.Xiao Lin bermanu
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu