"Gu-Guru ... murid tidak mampu!" Li Li menjawab gemetar, "mengapa tidak Saudari Xiao Lin saja? Dia lebih lay ....""Diamm, ucapanku adalah perintah yang tak bisa dibantah!" Yun Hui memotong dengan nada tegas.Di balik wajah murkanya, mata Yun Hui menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah - sebuah rahasia gelap yang tak akan pernah ia ungkapkan pada siapapun.Upacara pelantikan Li Li sebagai ketua Hoa Mei yang baru berlangsung dalam keheningan. Tak seorang pun berani membantah keputusan Biarawati Yun Hui, meski kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.Begitu upacara selesai, Yun Hui bergegas meninggalkan aula, mengabaikan Xiao Lin yang berusaha berbicara dengannya. Sang Biarawati mengurung diri di ruang pertapaan, tempat ia selalu menyendiri belakangan ini.Dengan hati was-was, Xiao Lin memberanikan diri mengetuk pintu ruangan itu."Masuk!" Suara Yun Hui terdengar dari dalam.Xiao Lin melangkah masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan sayuran. Begitu melihatnya, Yun
Pintu kuil berderit terbuka, sosok bertopeng hitam berdiri di ambang pintu. Cahaya lampion yang tergantung di teras kuil menerangi topengnya yang berukir."Amitaba," Xiao Lin berusaha untuk tetap tenang dan menyapa tamu tak diundang di hadapannya, "mengapa Anda datang ke kuil malam-malam dengan cara seperti ini? Apakah yang Anda cari?"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Jari-jarinya yang panjang mengincar leher Xiao Lin dengan gerakan menotok. Xiao Lin memiringkan tubuh, menghindari serangan itu dalam hitungan sepersekian detik. Jantungnya nyaris berhenti saat merasakan angin dingin dari serangan yang nyaris mengenai nadinya."Trakk!" Tasbih kayu di tangan Xiao Lin berbenturan dengan lengan si penyerang. Butir-butir tasbih berputar cepat, menciptakan perisai yang menangkis serangan bertubi-tubi. Namun lawannya tak memberi kesempatan bernafas lega - setiap serangan yang ditangkis segera diikuti serangan lain ke arah pundak, seolah berusaha menotok titik vital.Xiao Lin bermanu
Air mata menggenang di pelupuk mata Xiao Lin. Kenangan-kenangan itu kembali seperti ombak yang menghantam pantai - pertemuannya dengan Yao Pang, tawa bahagia mereka, hingga hari kelam saat ia mengetahui kebenaran mengerikan tentang pria yang ia cintai."Tidak," Xiao Lin menggeleng kuat, memaksa dirinya kembali ke realitas bahwa ia sudah memilih jalan hidup menjadi seorang biksuni. Meninggalkan semua hal-hal duniawi.Kening murid senior Hoa Mei itu berkerut dalam. Siapa yang membawanya ke tempat ini? Jangan-jangan sosok misterius yang menyelinap ke Hoa Mei dan menculiknya semalam adalah Yao Pang, mantan suaminya."Aku harus pergi dari sini secepatnya dan kembali ke Hoa Mei," gumam Xiao Lin seraya bangkit berdiri. "Aku tak ingin bertemu dengan dia, lagipula Guru pasti mencemaskanku."Dengan langkah seringan mungkin, ia bergerak ke arah pintu. Telinganya waspada menangkap setiap bunyi, memastikan penculiknya tak ada di sekitar. Setelah yakin situasi aman, ia membuka pintu perlahan.Namun
"Karena kekhawatiranku terhadap kelangsungan sekte telah membutakan mataku," Jin She menunduk, suaranya penuh penyesalan. "Dan sekarang, dengan membawamu kembali ke sini, aku berharap bisa memperbaiki kesalahanku."Xiao Lin membeku, terpana mendengar pengakuan mengejutkan itu. Di belakangnya, Yao Pang berdiri menunggu, matanya tak lepas mengawasi setiap gerak-gerik wanita satu-satunya yang masih mengisi hatinya."Xiao Lin," Yao Pang melangkah maju, tangannya menyentuh bahu sang mantan istri dengan lembut.Sentuhan itu bagaikan api yang membakar. Xiao Lin tersentak dan segera beringsut menjauh seolah sentuhan itu bisa membunuhnya. "Segala yang terjadi sudah merupakan kehendak Langit," Biksuni dari Hoa Mei itu menangkupkan tangan ke depan dada, membungkuk dalam. "Hamba, Chong Seng telah memilih meninggalkan segalanya dan menjadi biksuni. Kini izinkan Hamba pergi!""Kau bukan Chong Seng, selamanya kau adalah Xiao Lin, istriku!" Yao Pang berteriak, suaranya pecah oleh frustasi. "Mengapa
Kesadaran Xiao Lin perlahan pulih. Kepalanya masih terasa berat akibat totokan Jin She. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus jendela bertirai sutra. Ia mendapati dirinya berbaring di ranjang besar dalam sebuah kamar mewah yang asing.Derit pintu mengalihkan perhatiannya. Dua orang pelayan memasuki kamar, yang satu membawa baskom berisi air hangat yang masih mengepul, sementara yang lain membawa setumpuk pakaian sutra berwarna merah muda."Nyonya Xiao, Tuan Yao memerintahkan kami untuk melayani Nyonya," kedua pelayan yang masih sangat muda itu membungkuk hormat, senyum ramah tersungging di bibir mereka.Xiao Lin mengabaikan keramahan mereka. "Aku harus pergi dari sini," gumamnya sambil bergegas menuju pintu. Namun begitu membukanya sedikit, ia melihat dua pria berbadan kekar berdiri mengapit pintu. Pedang panjang terselip di pinggang mereka, wajah mereka keras dan waspada.Dengan hati gundah, Xiao Lin menutup pintu kembali. Matanya pun beredar
Xiao Lin menghirup udara segar pagi hari dengan penuh kelegaan saat berhasil keluar dari gedung megah markas Iblis Darah. Akan tetapi kelegaannya tak bertahan lama. Baru beberapa meter dari gerbang utama, langkahnya terhenti melihat sosok tegap yang berdiri membelakanginya.Jantungnya berdebar kencang, ia mengenali pemilik punggung itu. Yao Pang, pria yang pernah mengisi hidupnya."Mengapa kau masih ingin pergi? Bukankah sudah kukatakan rumahmu di sini bersamaku dan anak kita," Yao Pang berkata lembut sambil berbalik menghadapnya. Matanya memancarkan kesedihan yang dalam."Kumohon lepaskan aku!" Xiao Lin menangkupkan kedua tangan ke depan dada, memohon pengertian. "Jalan kita berbeda, tak ada gunanya kau menahanku di sini."Yao Pang menggeleng perlahan, senyum getir tersungging di bibirnya. "Kau tak mengerti, Xiao Lin. Seandainya kulepaskan pun, kau akan pergi kemana?""Tentu saja kembali ke Hoa Mei," jawab Xiao Lin tanpa ragu."Jin She, jelaskan pada istriku apa yang sebenarnya terja
"Ibu jahat!" jerit gadis kecil itu histeris, sebelum berlari masuk ke kamarnya. Yao Pang dan Xiao Lin segera menyusul putri mereka satu-satunya."Yao Chen, Ibu datang jauh-jauh untuk bertemu denganmu. Mengapa kau berbuat seperti ini?" Yao Pang mengetuk pintu kamar putrinya dengan hati-hati."Ibu jahat!" teriak Yao Chen masih dipenuhi amarah. Xiao Lin menahan Yao Pang yang hendak memaksa masuk untuk kembali membujuk Yao Chen. "Dia pantas untuk marah, aku telah meninggalkannya sejak ia masih bayi.""Xiao Lin, maafkan Yao Chen ... ia mungkin masih kecewa padamu," ujar Yao Pang, ada kecemasan dalam nada suaranya. ia sungguh khawatir wanita di hadapannya akan pergi lagi gara-gara sikap putri mereka."Tidak apa-apa, aku akan berusaha merebut hatinya kembali," Xiao Lin tersenyum, meski hatinya sebenarnya hancur menerima penolakan Yao Chen.'Dan aku juga akan berusaha merebut hatimu kembali,' Yao Pang berjanji dalam hati, menatap wanita yang masih selalu mengisi setiap sudut hatinya.***Ri
"Kita harus membantu Ayah menangkap si Topeng Hantu," gumam sosok yang paling tinggi, Pangeran Qi Lung, sang Putra Mahkota. Cahaya lilin yang menembus tirai membuat mata hitamnya bersinar penuh ambisi.Pangeran Qi Zheng Yi mengusap lengannya gelisah, "Tapi ... Ibu pasti marah kalau aku meninggalkan istana." Bayangan wajah murka ibunya membuat bulu kuduknya meremang."Bagaimana kalau kita minta izin pada Ibu Kedua?" Qi Lung menepuk pundak saudara tirinya, berusaha menenangkan. Setelah saling sepakat, mereka bertiga bergegas menuju taman istana. Di sebuah gazebo yang berdiri di tengah kolam yang dihubungkan dengan jembatan, Putri Qi Yue duduk anggun merajut syal biru tua. Jemarinya yang lentik menari di antara benang-benang sutra, sementara Bibi Wu setia mendampingi di sampingnya.Wajah Qi Yue seketika berseri melihat kedatangan mereka. Syal yang tengah dirajutnya diletakkan dengan hati-hati di atas meja batu. Ia bangkit menyambut, namun matanya hanya tertuju pada satu sosok."Qi Lung,
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu