"Kita harus membantu Ayah menangkap si Topeng Hantu," gumam sosok yang paling tinggi, Pangeran Qi Lung, sang Putra Mahkota. Cahaya lilin yang menembus tirai membuat mata hitamnya bersinar penuh ambisi.Pangeran Qi Zheng Yi mengusap lengannya gelisah, "Tapi ... Ibu pasti marah kalau aku meninggalkan istana." Bayangan wajah murka ibunya membuat bulu kuduknya meremang."Bagaimana kalau kita minta izin pada Ibu Kedua?" Qi Lung menepuk pundak saudara tirinya, berusaha menenangkan. Setelah saling sepakat, mereka bertiga bergegas menuju taman istana. Di sebuah gazebo yang berdiri di tengah kolam yang dihubungkan dengan jembatan, Putri Qi Yue duduk anggun merajut syal biru tua. Jemarinya yang lentik menari di antara benang-benang sutra, sementara Bibi Wu setia mendampingi di sampingnya.Wajah Qi Yue seketika berseri melihat kedatangan mereka. Syal yang tengah dirajutnya diletakkan dengan hati-hati di atas meja batu. Ia bangkit menyambut, namun matanya hanya tertuju pada satu sosok."Qi Lung,
Aroma bebek panggang mengepul di dalam ruang makan besar di kediaman Putri Qi Yue. Cahaya dari lampion-lampion kertas yang digantung di setiap sudut menciptakan suasana makan yang hangat. Empat sosok duduk mengelilingi meja bundar, namun ketegangan tak kasat mata membuat jarak di antara mereka terasa begitu jauh.Qi Yue dengan telaten mengambilkan sepotong paha bebek yang berukuran paling besar ke dalam mangkuk porselen Qi Lung. Gerakan tangannya lembut dan penuh perhatian saat menuangkan teh hangat ke cangkir sang Putra Mahkota. Uap teh jasmine menari-nari di udara, seolah berusaha mencairkan atmosfer beku yang menyelimuti ruangan.Qi Zheng Yi dan Yun Hao duduk tegang di kursi mereka, jemari menggenggam sumpit erat-erat. Mata mereka tak lepas dari bebek panggang yang menggiurkan, namun tak berani mengulurkan tangan tanpa izin sang Ibu. Keduanya hanya bisa mengaduk-aduk sayuran di mangkuk masing-masing."Kalian berdua mengapa hanya makan sayur saja?" Qi Yue tiba-tiba mendorong piring
Qi Zheng Yi berdiri tegak, matanya berkilat-kilat menatap langsung ke arah ibunya, "Ibu belum menjawab pertanyaanku, aku mirip dengan siapa?" Suaranya gemetar menahan emosi ketika melanjutkan, "Apakah sebenarnya aku bukan anak Ibu?"Warna menghilang dari wajah Qi Yue yang cantik, "Apa yang kau katakan ini? Jelas-jelas kau anakku!" Namun ada getaran dalam suaranya yang mengkhianati kepercayaan diri yang ia tunjukkan."Tetapi Ibu memperlakukanku seperti orang lain selama bertahun-tahun!" Qi Zheng Yi akhirnya meledak, melepaskan semua kekecewaan yang selama ini terpendam. "Aku selalu berusaha menyenangkan hatimu tapi Ibu tak pernah sekalipun memuji atau menunjukkan kasih sayang seperti sikap Ibu pada Qi Lung. Mengapa?"Qi Yue membisu, lidahnya seolah membeku. Di bawah meja, jari-jarinya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan badai emosi yang mengancam akan memporak-porandakan topeng keanggunannya."Apakah jangan-jangan aku juga anak hasil perkosaan seperti Kakak
Siang itu di langit Kotaraja Qi, sinar mentari menciptakan semburat keemasan di atas atap-atap rumah. Para pedagang masih sibuk menjajakan dagangan mereka, sementara warga berlalu lalang memenuhi jalan utama yang dilapisi batu granit. Aroma rempah-rempah dan makanan hangat berbaur dengan hiruk pikuk aktivitas kota.Mendadak, derap kaki kuda menggetarkan tanah. Seekor kuda putih melesat bagai kilat, menghalau kerumunan yang seketika menepi dengan panik. Di atas punggung kuda itu, Pangeran Yun Hao duduk dengan tegap, wajahnya yang tampan terlihat tegang menahan emosi. Si Awan Putih, kuda kesayangan Yun Hao sejak kecil, seolah memahami gejolak hati tuannya. Tanpa perlu dipandu, ia mempercepat larinya meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju padang rumput luas yang terbentang hingga kaki langit. Kaki-kakinya yang kuat menghentak tanah dalam irama yang sempurna.Setibanya di tengah hamparan rumput yang menguning, Yun Hao menarik tali kekang kudanya. Si Awan Putih melambatkan langkah sampai k
"Yang Mulia Ratu ingin bertemu," jawab Panglima Taban tanpa ekspresi, suaranya pun terdengar dingin.Yun Hao mengangguk patuh, "Baik, Panglima!"Mereka berjalan dalam diam menyusuri koridor-koridor istana yang diterangi lampion merah. Panglima Taban memimpin di depan, langkahnya lebar-lebar menuju ruang baca. Di belakangnya, Yun Hao mengikuti dengan langkah ringan seorang pendekar.Ruang baca Ratu Sayana luas dan megah. Aroma dupa wangi terhirup saat Yun Hao memasukinya, bercampur dengan wewangian kertas-kertas tua. Di sana, Ratu Sayana duduk anggun di kursi ukir, tenggelam dalam sebuah buku filsafat tebal."Hormat Yun Hao pada Yang Mulia Ratu," Yun Hao membungkuk dalam.Sayana mengalihkan pandangan dari bukunya, senyum manis mengembang di wajahnya yang cantik. Ia meletakkan bukunya dengan hati-hati di atas meja kayu cendana, lalu bangkit menghampiri putra dari madunya, Qi Yue."Yun Hao, anakku!" Jemari lentiknya yang dihiasi cincin giok menyentuh bahu Yun Hao dengan kelembutan seoran
Fajar belum sepenuhnya merekah, akan tetapi Yun Hao sudah bangun dan mengenakan baju zirah prajurit biasa. Tangannya bergerak cepat mengemas beberapa keperluan seperti pakaian dan bekal makanan, termasuk pedang kesayangannya yang ia bungkus dengan kain hitam. Dalam keremangan kamar tidurnya yang hanya diterangi sebuah lilin kecil, ia meletakkan sebuah surat di atas meja bundar, lalu menyelinap keluar sebelum diketahui para pengawal maupun dayang-dayang istana.Di gerbang utara, ia bergabung dengan pasukan Jenderal Lo yang bersiap menuju Gunung Huolong. Di antara ratusan prajurit berseragam sama, tak ada yang mengenali sosok sang pangeran.Selang beberapa jam kemudian, mentari pagi baru mulai menghangatkan taman istana ketika Bibi pengasuh yang mengantarkan baskom berisi air hangat, menemukan kamar Yun Hao telah kosong. mata tuanya membelalak melihat sepucuk surat di atas meja. Tangan gemetar membaca nama Qi Yue sebagai penerima surat.Dengan langkah tergopoh-gopoh, wanita tua itu ber
Kepala Biksu segera mengangguk tanpa banyak bertanya, pria berusia tujuh puluh tahun itu sudah mengetahui siapa ‘dia’ yang dimaksud Putri Qi Yue. "Baik, akan Hamba panggilkan Tuan Chang."Langkah-langkah sang biksu menggema saat ia menghilang ke bagian dalam kuil, meninggalkan Qi Yue sendirian di aula utama. Wanita cantik itu berdiri tegak di depan altar, matanya menatap patung Buddha besar yang duduk bersila di atas meja altar, seolah mengawasinya dengan tatapan penuh makna. Di tangannya, surat Yun Hao masih tergenggam erat, kini telah kusut tak berbentuk.Suara langkah kaki mendekat membuyarkan lamunan. Qi Yue berpaling, berhadapan dengan sosok pria berambut dan berjenggot abu-abu yang baru keluar dari dalam. Pakaian pria itu sangat sederhana, tetapi dari gerakannya yang ringan menunjukkan ia bukanlah orang biasa melainkan berilmu tinggi."Apa kabar, Tuan Chang Kong?" Senyum samar menghiasi bibir Qi Yue."Salam, Tuan Putri Qi Yue," Chang Kong membungkuk hormat. Sebagai guru dari m
"Jenderal Tua yang memerintahkan saya bergabung, Jenderal," suara Yun Hao berusaha terdengar meyakinkan. "Beliau ingin saya memperoleh pengalaman."Jenderal Lo mengamatinya dengan tajam. "Misi kita adalah misi berbahaya, bukan untuk seorang yang ingin belajar. Apakah kau tidak takut mati?""Tidak, Jenderal!" Yun Hao menggeleng tegas. "Saya siap mati demi melenyapkan pemberontak dari Negeri Wu."Kekaguman melintas di wajah keras Jenderal Lo. Namun sebelum ia sempat menanggapi, derap kaki kuda terdengar mendekat. Rombongan berkuda tersebut adalah para pedagang yang kebetulan lewat. Mereka menyapa Jenderal Lo dengan ramah, mengabarkan tentang pasar malam di kota terdekat yang menarik pengunjung dari berbagai penjuru."Jenderal, kalau kita melepas ketegangan sebentar, apa salahnya?" A Lung berbisik pada Jenderal Lo, matanya berbinar penuh harap."Jenderal, misi kita sangat penting," Yun Hao menyela dengan nada serius. "Sebaiknya kita berfokus pada tujuan utama, bersenang-senang bisa dilak
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu