Qi Zheng Yi berdiri tegak, matanya berkilat-kilat menatap langsung ke arah ibunya, "Ibu belum menjawab pertanyaanku, aku mirip dengan siapa?" Suaranya gemetar menahan emosi ketika melanjutkan, "Apakah sebenarnya aku bukan anak Ibu?"Warna menghilang dari wajah Qi Yue yang cantik, "Apa yang kau katakan ini? Jelas-jelas kau anakku!" Namun ada getaran dalam suaranya yang mengkhianati kepercayaan diri yang ia tunjukkan."Tetapi Ibu memperlakukanku seperti orang lain selama bertahun-tahun!" Qi Zheng Yi akhirnya meledak, melepaskan semua kekecewaan yang selama ini terpendam. "Aku selalu berusaha menyenangkan hatimu tapi Ibu tak pernah sekalipun memuji atau menunjukkan kasih sayang seperti sikap Ibu pada Qi Lung. Mengapa?"Qi Yue membisu, lidahnya seolah membeku. Di bawah meja, jari-jarinya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan badai emosi yang mengancam akan memporak-porandakan topeng keanggunannya."Apakah jangan-jangan aku juga anak hasil perkosaan seperti Kakak
Siang itu di langit Kotaraja Qi, sinar mentari menciptakan semburat keemasan di atas atap-atap rumah. Para pedagang masih sibuk menjajakan dagangan mereka, sementara warga berlalu lalang memenuhi jalan utama yang dilapisi batu granit. Aroma rempah-rempah dan makanan hangat berbaur dengan hiruk pikuk aktivitas kota.Mendadak, derap kaki kuda menggetarkan tanah. Seekor kuda putih melesat bagai kilat, menghalau kerumunan yang seketika menepi dengan panik. Di atas punggung kuda itu, Pangeran Yun Hao duduk dengan tegap, wajahnya yang tampan terlihat tegang menahan emosi. Si Awan Putih, kuda kesayangan Yun Hao sejak kecil, seolah memahami gejolak hati tuannya. Tanpa perlu dipandu, ia mempercepat larinya meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju padang rumput luas yang terbentang hingga kaki langit. Kaki-kakinya yang kuat menghentak tanah dalam irama yang sempurna.Setibanya di tengah hamparan rumput yang menguning, Yun Hao menarik tali kekang kudanya. Si Awan Putih melambatkan langkah sampai k
"Yang Mulia Ratu ingin bertemu," jawab Panglima Taban tanpa ekspresi, suaranya pun terdengar dingin.Yun Hao mengangguk patuh, "Baik, Panglima!"Mereka berjalan dalam diam menyusuri koridor-koridor istana yang diterangi lampion merah. Panglima Taban memimpin di depan, langkahnya lebar-lebar menuju ruang baca. Di belakangnya, Yun Hao mengikuti dengan langkah ringan seorang pendekar.Ruang baca Ratu Sayana luas dan megah. Aroma dupa wangi terhirup saat Yun Hao memasukinya, bercampur dengan wewangian kertas-kertas tua. Di sana, Ratu Sayana duduk anggun di kursi ukir, tenggelam dalam sebuah buku filsafat tebal."Hormat Yun Hao pada Yang Mulia Ratu," Yun Hao membungkuk dalam.Sayana mengalihkan pandangan dari bukunya, senyum manis mengembang di wajahnya yang cantik. Ia meletakkan bukunya dengan hati-hati di atas meja kayu cendana, lalu bangkit menghampiri putra dari madunya, Qi Yue."Yun Hao, anakku!" Jemari lentiknya yang dihiasi cincin giok menyentuh bahu Yun Hao dengan kelembutan seoran
Fajar belum sepenuhnya merekah, akan tetapi Yun Hao sudah bangun dan mengenakan baju zirah prajurit biasa. Tangannya bergerak cepat mengemas beberapa keperluan seperti pakaian dan bekal makanan, termasuk pedang kesayangannya yang ia bungkus dengan kain hitam. Dalam keremangan kamar tidurnya yang hanya diterangi sebuah lilin kecil, ia meletakkan sebuah surat di atas meja bundar, lalu menyelinap keluar sebelum diketahui para pengawal maupun dayang-dayang istana.Di gerbang utara, ia bergabung dengan pasukan Jenderal Lo yang bersiap menuju Gunung Huolong. Di antara ratusan prajurit berseragam sama, tak ada yang mengenali sosok sang pangeran.Selang beberapa jam kemudian, mentari pagi baru mulai menghangatkan taman istana ketika Bibi pengasuh yang mengantarkan baskom berisi air hangat, menemukan kamar Yun Hao telah kosong. mata tuanya membelalak melihat sepucuk surat di atas meja. Tangan gemetar membaca nama Qi Yue sebagai penerima surat.Dengan langkah tergopoh-gopoh, wanita tua itu ber
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Fajar belum sepenuhnya merekah, akan tetapi Yun Hao sudah bangun dan mengenakan baju zirah prajurit biasa. Tangannya bergerak cepat mengemas beberapa keperluan seperti pakaian dan bekal makanan, termasuk pedang kesayangannya yang ia bungkus dengan kain hitam. Dalam keremangan kamar tidurnya yang hanya diterangi sebuah lilin kecil, ia meletakkan sebuah surat di atas meja bundar, lalu menyelinap keluar sebelum diketahui para pengawal maupun dayang-dayang istana.Di gerbang utara, ia bergabung dengan pasukan Jenderal Lo yang bersiap menuju Gunung Huolong. Di antara ratusan prajurit berseragam sama, tak ada yang mengenali sosok sang pangeran.Selang beberapa jam kemudian, mentari pagi baru mulai menghangatkan taman istana ketika Bibi pengasuh yang mengantarkan baskom berisi air hangat, menemukan kamar Yun Hao telah kosong. mata tuanya membelalak melihat sepucuk surat di atas meja. Tangan gemetar membaca nama Qi Yue sebagai penerima surat.Dengan langkah tergopoh-gopoh, wanita tua itu ber
"Yang Mulia Ratu ingin bertemu," jawab Panglima Taban tanpa ekspresi, suaranya pun terdengar dingin.Yun Hao mengangguk patuh, "Baik, Panglima!"Mereka berjalan dalam diam menyusuri koridor-koridor istana yang diterangi lampion merah. Panglima Taban memimpin di depan, langkahnya lebar-lebar menuju ruang baca. Di belakangnya, Yun Hao mengikuti dengan langkah ringan seorang pendekar.Ruang baca Ratu Sayana luas dan megah. Aroma dupa wangi terhirup saat Yun Hao memasukinya, bercampur dengan wewangian kertas-kertas tua. Di sana, Ratu Sayana duduk anggun di kursi ukir, tenggelam dalam sebuah buku filsafat tebal."Hormat Yun Hao pada Yang Mulia Ratu," Yun Hao membungkuk dalam.Sayana mengalihkan pandangan dari bukunya, senyum manis mengembang di wajahnya yang cantik. Ia meletakkan bukunya dengan hati-hati di atas meja kayu cendana, lalu bangkit menghampiri putra dari madunya, Qi Yue."Yun Hao, anakku!" Jemari lentiknya yang dihiasi cincin giok menyentuh bahu Yun Hao dengan kelembutan seoran
Siang itu di langit Kotaraja Qi, sinar mentari menciptakan semburat keemasan di atas atap-atap rumah. Para pedagang masih sibuk menjajakan dagangan mereka, sementara warga berlalu lalang memenuhi jalan utama yang dilapisi batu granit. Aroma rempah-rempah dan makanan hangat berbaur dengan hiruk pikuk aktivitas kota.Mendadak, derap kaki kuda menggetarkan tanah. Seekor kuda putih melesat bagai kilat, menghalau kerumunan yang seketika menepi dengan panik. Di atas punggung kuda itu, Pangeran Yun Hao duduk dengan tegap, wajahnya yang tampan terlihat tegang menahan emosi. Si Awan Putih, kuda kesayangan Yun Hao sejak kecil, seolah memahami gejolak hati tuannya. Tanpa perlu dipandu, ia mempercepat larinya meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju padang rumput luas yang terbentang hingga kaki langit. Kaki-kakinya yang kuat menghentak tanah dalam irama yang sempurna.Setibanya di tengah hamparan rumput yang menguning, Yun Hao menarik tali kekang kudanya. Si Awan Putih melambatkan langkah sampai k
Qi Zheng Yi berdiri tegak, matanya berkilat-kilat menatap langsung ke arah ibunya, "Ibu belum menjawab pertanyaanku, aku mirip dengan siapa?" Suaranya gemetar menahan emosi ketika melanjutkan, "Apakah sebenarnya aku bukan anak Ibu?"Warna menghilang dari wajah Qi Yue yang cantik, "Apa yang kau katakan ini? Jelas-jelas kau anakku!" Namun ada getaran dalam suaranya yang mengkhianati kepercayaan diri yang ia tunjukkan."Tetapi Ibu memperlakukanku seperti orang lain selama bertahun-tahun!" Qi Zheng Yi akhirnya meledak, melepaskan semua kekecewaan yang selama ini terpendam. "Aku selalu berusaha menyenangkan hatimu tapi Ibu tak pernah sekalipun memuji atau menunjukkan kasih sayang seperti sikap Ibu pada Qi Lung. Mengapa?"Qi Yue membisu, lidahnya seolah membeku. Di bawah meja, jari-jarinya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan badai emosi yang mengancam akan memporak-porandakan topeng keanggunannya."Apakah jangan-jangan aku juga anak hasil perkosaan seperti Kakak
Aroma bebek panggang mengepul di dalam ruang makan besar di kediaman Putri Qi Yue. Cahaya dari lampion-lampion kertas yang digantung di setiap sudut menciptakan suasana makan yang hangat. Empat sosok duduk mengelilingi meja bundar, namun ketegangan tak kasat mata membuat jarak di antara mereka terasa begitu jauh.Qi Yue dengan telaten mengambilkan sepotong paha bebek yang berukuran paling besar ke dalam mangkuk porselen Qi Lung. Gerakan tangannya lembut dan penuh perhatian saat menuangkan teh hangat ke cangkir sang Putra Mahkota. Uap teh jasmine menari-nari di udara, seolah berusaha mencairkan atmosfer beku yang menyelimuti ruangan.Qi Zheng Yi dan Yun Hao duduk tegang di kursi mereka, jemari menggenggam sumpit erat-erat. Mata mereka tak lepas dari bebek panggang yang menggiurkan, namun tak berani mengulurkan tangan tanpa izin sang Ibu. Keduanya hanya bisa mengaduk-aduk sayuran di mangkuk masing-masing."Kalian berdua mengapa hanya makan sayur saja?" Qi Yue tiba-tiba mendorong piring
"Kita harus membantu Ayah menangkap si Topeng Hantu," gumam sosok yang paling tinggi, Pangeran Qi Lung, sang Putra Mahkota. Cahaya lilin yang menembus tirai membuat mata hitamnya bersinar penuh ambisi.Pangeran Qi Zheng Yi mengusap lengannya gelisah, "Tapi ... Ibu pasti marah kalau aku meninggalkan istana." Bayangan wajah murka ibunya membuat bulu kuduknya meremang."Bagaimana kalau kita minta izin pada Ibu Kedua?" Qi Lung menepuk pundak saudara tirinya, berusaha menenangkan. Setelah saling sepakat, mereka bertiga bergegas menuju taman istana. Di sebuah gazebo yang berdiri di tengah kolam yang dihubungkan dengan jembatan, Putri Qi Yue duduk anggun merajut syal biru tua. Jemarinya yang lentik menari di antara benang-benang sutra, sementara Bibi Wu setia mendampingi di sampingnya.Wajah Qi Yue seketika berseri melihat kedatangan mereka. Syal yang tengah dirajutnya diletakkan dengan hati-hati di atas meja batu. Ia bangkit menyambut, namun matanya hanya tertuju pada satu sosok."Qi Lung,
"Ibu jahat!" jerit gadis kecil itu histeris, sebelum berlari masuk ke kamarnya. Yao Pang dan Xiao Lin segera menyusul putri mereka satu-satunya."Yao Chen, Ibu datang jauh-jauh untuk bertemu denganmu. Mengapa kau berbuat seperti ini?" Yao Pang mengetuk pintu kamar putrinya dengan hati-hati."Ibu jahat!" teriak Yao Chen masih dipenuhi amarah. Xiao Lin menahan Yao Pang yang hendak memaksa masuk untuk kembali membujuk Yao Chen. "Dia pantas untuk marah, aku telah meninggalkannya sejak ia masih bayi.""Xiao Lin, maafkan Yao Chen ... ia mungkin masih kecewa padamu," ujar Yao Pang, ada kecemasan dalam nada suaranya. ia sungguh khawatir wanita di hadapannya akan pergi lagi gara-gara sikap putri mereka."Tidak apa-apa, aku akan berusaha merebut hatinya kembali," Xiao Lin tersenyum, meski hatinya sebenarnya hancur menerima penolakan Yao Chen.'Dan aku juga akan berusaha merebut hatimu kembali,' Yao Pang berjanji dalam hati, menatap wanita yang masih selalu mengisi setiap sudut hatinya.***Ri
Xiao Lin menghirup udara segar pagi hari dengan penuh kelegaan saat berhasil keluar dari gedung megah markas Iblis Darah. Akan tetapi kelegaannya tak bertahan lama. Baru beberapa meter dari gerbang utama, langkahnya terhenti melihat sosok tegap yang berdiri membelakanginya.Jantungnya berdebar kencang, ia mengenali pemilik punggung itu. Yao Pang, pria yang pernah mengisi hidupnya."Mengapa kau masih ingin pergi? Bukankah sudah kukatakan rumahmu di sini bersamaku dan anak kita," Yao Pang berkata lembut sambil berbalik menghadapnya. Matanya memancarkan kesedihan yang dalam."Kumohon lepaskan aku!" Xiao Lin menangkupkan kedua tangan ke depan dada, memohon pengertian. "Jalan kita berbeda, tak ada gunanya kau menahanku di sini."Yao Pang menggeleng perlahan, senyum getir tersungging di bibirnya. "Kau tak mengerti, Xiao Lin. Seandainya kulepaskan pun, kau akan pergi kemana?""Tentu saja kembali ke Hoa Mei," jawab Xiao Lin tanpa ragu."Jin She, jelaskan pada istriku apa yang sebenarnya terja
Kesadaran Xiao Lin perlahan pulih. Kepalanya masih terasa berat akibat totokan Jin She. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus jendela bertirai sutra. Ia mendapati dirinya berbaring di ranjang besar dalam sebuah kamar mewah yang asing.Derit pintu mengalihkan perhatiannya. Dua orang pelayan memasuki kamar, yang satu membawa baskom berisi air hangat yang masih mengepul, sementara yang lain membawa setumpuk pakaian sutra berwarna merah muda."Nyonya Xiao, Tuan Yao memerintahkan kami untuk melayani Nyonya," kedua pelayan yang masih sangat muda itu membungkuk hormat, senyum ramah tersungging di bibir mereka.Xiao Lin mengabaikan keramahan mereka. "Aku harus pergi dari sini," gumamnya sambil bergegas menuju pintu. Namun begitu membukanya sedikit, ia melihat dua pria berbadan kekar berdiri mengapit pintu. Pedang panjang terselip di pinggang mereka, wajah mereka keras dan waspada.Dengan hati gundah, Xiao Lin menutup pintu kembali. Matanya pun beredar