Malam itu, dingin menelisik tulang. Keira menatap keluar jendela kamarnya, memandangi pendaran lampu kota yang terlihat redup di balik tirai hujan. Tangannya menggenggam secangkir teh yang mulai kehilangan kehangatannya, namun pikirannya melayang jauh ke berbagai peristiwa yang terjadi. Adrian. Nama itu terus berputar di benaknya. Ia bukan lagi hanya seorang sopir pribadi. Dia adalah teka-teki yang belum sepenuhnya terpecahkan, penuh kejutan yang terus membuat Keira terheran-heran. Tapi, setelah kebohongan besar itu terbongkar, hatinya terasa terlalu berat untuk memaafkan begitu saja. Keira meremas cangkir di tangannya. Rasanya ingin marah, tapi di sisi lain, ia sadar bahwa Adrian menyimpan kebaikan yang tulus di balik segala rahasianya. Pikirannya kembali ke momen ketika Adrian menyelamatkan ayahnya. Bagaimana mungkin ia mengabaikan kenyataan bahwa tanpa Adrian, keluarganya mungkin sudah kehilangan segalanya? Sementara itu, di tempat lain, Adrian duduk di tepi balkon
Hening malam membawa suasana yang ganjil di apartemen Adrian. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya redup ke dinding kaca besar di ruang kerjanya. Ia duduk di depan layar komputer, kedua tangannya sibuk memindai file rekaman yang ia bawa dari misi tadi siang. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang tertahan, namun matanya tetap fokus, mencari jejak bukti yang bisa menghubungkan semua rencana musuh mereka. Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari belakang. Adrian tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Keira meletakkan secangkir kopi di meja, lalu duduk di sofa dengan tubuh bersandar lelah. “Kau sudah menemukan sesuatu?” tanya Keira pelan, matanya menatap layar penuh garis data dan diagram. Adrian mengangguk kecil, meski ekspresinya tak sepenuhnya puas. “Rekaman ini memang mengonfirmasi apa yang kita curigai. Mereka berencana menyabotase perusahaan-perusahaan kecil untuk menguasai pasar. Tapi ada satu nama yang terus muncul, seseorang yang sepert
Udara dingin malam menyelimuti gudang tua itu. Aroma logam bercampur debu menguasai ruangan yang gelap, diterangi hanya oleh lampu-lampu redup dari perangkat pengawasan yang dipasang Adrian dan Keira. Suara tembakan yang menggema beberapa saat lalu masih meninggalkan jejak keheningan yang mencekam. Adrian bergerak cepat, tubuhnya menempel di dinding, memastikan setiap sudut aman sebelum melangkah lebih jauh. Di belakangnya, Keira mengikuti dengan hati-hati, pistol kecil tergenggam erat di tangannya. Matanya terus memindai sekitar, mencari tanda-tanda bahaya. "Di sana," bisik Adrian sambil menunjuk ke arah tangga besi yang mengarah ke lantai atas. Dari sudut kamera yang mereka pasang sebelumnya, tempat itu tampak seperti titik utama transaksi. Keira mengangguk, mengikuti arahan Adrian. Setiap langkah terasa berat, seolah waktu melambat saat mereka mendekati sumber suara langkah-langkah yang mulai menjauh. Ketika mereka tiba di lantai dua, bayangan tiga pria berse
Malam itu, langit gelap pekat tanpa bintang. Cahaya lampu jalan memantul samar di genangan air hujan yang tersisa. Adrian dan Keira berjalan cepat menyusuri gang kecil, suasana di antara mereka penuh dengan ketegangan yang sulit disembunyikan. Bayangan Shadow dan ancamannya masih mengintai di pikiran mereka, meskipun tubuh mereka kini menjauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Keira melirik Adrian yang terus berjalan di depannya. Raut wajah pria itu tampak tenang, tapi Keira bisa merasakan ada sesuatu yang menggelisahkan di balik ketenangan itu. Langkah Adrian sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah ia ingin melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. “Adrian,” panggil Keira akhirnya, suaranya nyaris tenggelam di antara suara langkah mereka. Adrian berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. "Apa?" tanyanya, nada suaranya datar, tetapi matanya menunjukkan kilatan kekhawatiran. Keira menahan napas sejenak sebelum berbicara. "Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Shadow
Malam menjelang dengan langit yang gelap gulita, hanya diterangi oleh secercah bulan sabit. Adrian memarkir mobil di tepi jalan kecil, tersembunyi di balik semak-semak. Keira menatap rumah tua di kejauhan—tempat yang Adrian sebut sebagai "tempat cadangan." "Ini?" tanya Keira dengan nada ragu. Adrian mengangguk sambil mematikan mesin mobil. "Tempat ini tidak terdaftar di mana pun. Mereka tidak akan menemukannya, setidaknya untuk sementara." Keira keluar dari mobil, angin dingin malam menusuk kulitnya. Rumah itu terlihat seperti ditinggalkan bertahun-tahun. Catnya mengelupas, jendela-jendelanya tertutup debu, dan pintu depannya sedikit bergoyang diterpa angin. "Kau yakin tempat ini aman?" tanya Keira sambil berjalan di samping Adrian. Adrian hanya tersenyum tipis. "Percayalah, penampilan luar tidak selalu mencerminkan isi di dalamnya." Begitu mereka masuk ke dalam rumah, Keira terkejut melihat interiornya. Meskipun dari luar terlihat usang, di dalamnya terdapat berbag
Langit pagi tampak kelabu. Matahari seolah enggan menampakkan diri, tersembunyi di balik awan tebal yang menggantung rendah. Adrian berdiri di balkon apartemennya, memandangi hiruk-pikuk kota di bawah sana. Secangkir kopi hitam di tangannya sudah mendingin, tetapi ia tak peduli. Pikirannya terus bergulat dengan percakapan semalam bersama Keira. Hatinya berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi bibirnya seolah terkunci. Rahasia-rahasia yang selama ini ia simpan begitu dalam telah menjadi tembok besar di antara mereka. Dan Keira… ia tak pantas menerima semua ini. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Adrian meletakkan cangkir di meja kecil dan berjalan ke arah pintu. Saat membukanya, seorang pria berjas hitam berdiri di sana, wajahnya kaku. “Pak Adrian,” katanya, suaranya datar namun penuh arti. “Kami perlu bicara. Ini mendesak.” Adrian mengerutkan dahi. “Siapa Anda?” Pria itu tak menjawab, melainkan menyerahkan sebuah amplop putih dengan cap merah di s
Keira menatap ke luar jendela mobil dengan pikiran yang penuh. Jalanan yang mereka lalui mulai sepi, hanya ditemani deretan lampu jalan yang memancarkan cahaya redup. Di sampingnya, Adrian tetap fokus pada kemudi, tetapi Keira bisa merasakan ketegangannya. Keheningan di antara mereka terasa berat. Keira ingin berbicara, ingin bertanya lebih banyak, tetapi sesuatu dalam ekspresi Adrian membuatnya ragu. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” akhirnya Keira bertanya, suaranya nyaris berbisik. Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kita harus menemukan tempat yang benar-benar aman. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan.” Keira menggigit bibir. “Dan apa yang mereka inginkan?” Adrian terdiam sejenak, lalu menjawab, “Bukan sesuatu yang bisa aku jelaskan dalam satu kalimat. Tapi mereka mengincarku karena sesuatu yang aku miliki… sesuatu yang juga melibatkanmu.” Keira menoleh dengan dahi berkerut. “Melibatkanku? Maksudmu apa?” Adr
Keira dan Adrian terus berlari di antara pepohonan, napas mereka terengah-engah. Malam semakin pekat, dan hanya cahaya bulan yang menjadi penerang langkah mereka. Keira merasakan ranting-ranting tajam mencakar kulitnya, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: mereka harus menjauh dari kabin itu. Adrian menggenggam tangannya erat, menuntunnya melewati semak-semak tinggi. Mereka tidak tahu siapa yang mengejar mereka, tapi jelas orang-orang itu bukan orang baik. “Tunggu…” Keira terengah, menarik tangan Adrian agar berhenti. “Kita… harus pikirkan… ke mana kita pergi.” Adrian mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya sebelum menoleh ke arah Keira. “Ada gua di sisi utara hutan ini. Kita bisa bersembunyi di sana sampai fajar.” Keira mengangguk, menahan rasa takut yang masih menggigit pikirannya. Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini lebih hati-hati. Langkah mereka pelan, berusaha menghindari suara yang bisa menarik perhatian
Langit senja mulai berubah gelap saat Adrian berdiri di tepi bukit, memandangi kota di kejauhan yang diterangi cahaya lampu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan ringan sore tadi. Keira berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati ekspresi Adrian yang tampak serius."Sepertinya kau masih memikirkan semuanya," ujar Keira lembut, tangannya menggenggam jaketnya erat karena hawa mulai dingin.Adrian menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi dadanya sebelum perlahan menghembuskannya. "Ada banyak hal yang masih harus kupastikan," katanya dengan suara tenang, tapi ada ketegangan tersirat dalam nadanya. "Setiap langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya."Keira mengangguk, memahami maksudnya. Mereka telah mencapai titik kritis dalam perjalanan ini—misteri yang mereka kejar semakin dekat dengan jawaban, tapi juga semakin berbahaya.Tiba-tiba, di kejauhan, suara gemerisik te
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme pelan yang menghantam kaca jendela gedung tua yang kini menjadi saksi bisu pertarungan mental di antara mereka. Udara dingin menusuk kulit, bercampur dengan aroma tanah basah yang semakin mempertegas suasana mencekam di ruangan itu.Di luar, suara deru mobil terdengar samar, mendekati area bangunan terbengkalai yang kini menjadi tempat pertemuan mereka. Namun, di dalam ruangan, keheningan terasa begitu berat.Adrian berdiri tegap, tatapannya tajam menelusuri wajah pria berjas hitam yang kini melangkah perlahan ke arah mereka. Sorot mata pria itu penuh kepastian, seolah ia telah merencanakan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Keira menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Apa kau pikir semua ini hanya permainan?"Pria itu menyeringai tipis. "Segala sesuatu yang besar selalu diawali dengan pengorbanan, nona Keira. Kau seharusnya sudah tahu itu."Adrian mengepalka
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi