Hening malam membawa suasana yang ganjil di apartemen Adrian. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya redup ke dinding kaca besar di ruang kerjanya. Ia duduk di depan layar komputer, kedua tangannya sibuk memindai file rekaman yang ia bawa dari misi tadi siang. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang tertahan, namun matanya tetap fokus, mencari jejak bukti yang bisa menghubungkan semua rencana musuh mereka. Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari belakang. Adrian tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Keira meletakkan secangkir kopi di meja, lalu duduk di sofa dengan tubuh bersandar lelah. “Kau sudah menemukan sesuatu?” tanya Keira pelan, matanya menatap layar penuh garis data dan diagram. Adrian mengangguk kecil, meski ekspresinya tak sepenuhnya puas. “Rekaman ini memang mengonfirmasi apa yang kita curigai. Mereka berencana menyabotase perusahaan-perusahaan kecil untuk menguasai pasar. Tapi ada satu nama yang terus muncul, seseorang yang sepert
Udara dingin malam menyelimuti gudang tua itu. Aroma logam bercampur debu menguasai ruangan yang gelap, diterangi hanya oleh lampu-lampu redup dari perangkat pengawasan yang dipasang Adrian dan Keira. Suara tembakan yang menggema beberapa saat lalu masih meninggalkan jejak keheningan yang mencekam. Adrian bergerak cepat, tubuhnya menempel di dinding, memastikan setiap sudut aman sebelum melangkah lebih jauh. Di belakangnya, Keira mengikuti dengan hati-hati, pistol kecil tergenggam erat di tangannya. Matanya terus memindai sekitar, mencari tanda-tanda bahaya. "Di sana," bisik Adrian sambil menunjuk ke arah tangga besi yang mengarah ke lantai atas. Dari sudut kamera yang mereka pasang sebelumnya, tempat itu tampak seperti titik utama transaksi. Keira mengangguk, mengikuti arahan Adrian. Setiap langkah terasa berat, seolah waktu melambat saat mereka mendekati sumber suara langkah-langkah yang mulai menjauh. Ketika mereka tiba di lantai dua, bayangan tiga pria berse
Malam itu, langit gelap pekat tanpa bintang. Cahaya lampu jalan memantul samar di genangan air hujan yang tersisa. Adrian dan Keira berjalan cepat menyusuri gang kecil, suasana di antara mereka penuh dengan ketegangan yang sulit disembunyikan. Bayangan Shadow dan ancamannya masih mengintai di pikiran mereka, meskipun tubuh mereka kini menjauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Keira melirik Adrian yang terus berjalan di depannya. Raut wajah pria itu tampak tenang, tapi Keira bisa merasakan ada sesuatu yang menggelisahkan di balik ketenangan itu. Langkah Adrian sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah ia ingin melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. “Adrian,” panggil Keira akhirnya, suaranya nyaris tenggelam di antara suara langkah mereka. Adrian berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. "Apa?" tanyanya, nada suaranya datar, tetapi matanya menunjukkan kilatan kekhawatiran. Keira menahan napas sejenak sebelum berbicara. "Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Shadow
Malam menjelang dengan langit yang gelap gulita, hanya diterangi oleh secercah bulan sabit. Adrian memarkir mobil di tepi jalan kecil, tersembunyi di balik semak-semak. Keira menatap rumah tua di kejauhan—tempat yang Adrian sebut sebagai "tempat cadangan." "Ini?" tanya Keira dengan nada ragu. Adrian mengangguk sambil mematikan mesin mobil. "Tempat ini tidak terdaftar di mana pun. Mereka tidak akan menemukannya, setidaknya untuk sementara." Keira keluar dari mobil, angin dingin malam menusuk kulitnya. Rumah itu terlihat seperti ditinggalkan bertahun-tahun. Catnya mengelupas, jendela-jendelanya tertutup debu, dan pintu depannya sedikit bergoyang diterpa angin. "Kau yakin tempat ini aman?" tanya Keira sambil berjalan di samping Adrian. Adrian hanya tersenyum tipis. "Percayalah, penampilan luar tidak selalu mencerminkan isi di dalamnya." Begitu mereka masuk ke dalam rumah, Keira terkejut melihat interiornya. Meskipun dari luar terlihat usang, di dalamnya terdapat berbag
Langit pagi tampak kelabu. Matahari seolah enggan menampakkan diri, tersembunyi di balik awan tebal yang menggantung rendah. Adrian berdiri di balkon apartemennya, memandangi hiruk-pikuk kota di bawah sana. Secangkir kopi hitam di tangannya sudah mendingin, tetapi ia tak peduli. Pikirannya terus bergulat dengan percakapan semalam bersama Keira. Hatinya berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi bibirnya seolah terkunci. Rahasia-rahasia yang selama ini ia simpan begitu dalam telah menjadi tembok besar di antara mereka. Dan Keira… ia tak pantas menerima semua ini. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Adrian meletakkan cangkir di meja kecil dan berjalan ke arah pintu. Saat membukanya, seorang pria berjas hitam berdiri di sana, wajahnya kaku. “Pak Adrian,” katanya, suaranya datar namun penuh arti. “Kami perlu bicara. Ini mendesak.” Adrian mengerutkan dahi. “Siapa Anda?” Pria itu tak menjawab, melainkan menyerahkan sebuah amplop putih dengan cap merah di s
Keira menatap ke luar jendela mobil dengan pikiran yang penuh. Jalanan yang mereka lalui mulai sepi, hanya ditemani deretan lampu jalan yang memancarkan cahaya redup. Di sampingnya, Adrian tetap fokus pada kemudi, tetapi Keira bisa merasakan ketegangannya. Keheningan di antara mereka terasa berat. Keira ingin berbicara, ingin bertanya lebih banyak, tetapi sesuatu dalam ekspresi Adrian membuatnya ragu. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” akhirnya Keira bertanya, suaranya nyaris berbisik. Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kita harus menemukan tempat yang benar-benar aman. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan.” Keira menggigit bibir. “Dan apa yang mereka inginkan?” Adrian terdiam sejenak, lalu menjawab, “Bukan sesuatu yang bisa aku jelaskan dalam satu kalimat. Tapi mereka mengincarku karena sesuatu yang aku miliki… sesuatu yang juga melibatkanmu.” Keira menoleh dengan dahi berkerut. “Melibatkanku? Maksudmu apa?” Adr
Keira dan Adrian terus berlari di antara pepohonan, napas mereka terengah-engah. Malam semakin pekat, dan hanya cahaya bulan yang menjadi penerang langkah mereka. Keira merasakan ranting-ranting tajam mencakar kulitnya, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: mereka harus menjauh dari kabin itu. Adrian menggenggam tangannya erat, menuntunnya melewati semak-semak tinggi. Mereka tidak tahu siapa yang mengejar mereka, tapi jelas orang-orang itu bukan orang baik. “Tunggu…” Keira terengah, menarik tangan Adrian agar berhenti. “Kita… harus pikirkan… ke mana kita pergi.” Adrian mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya sebelum menoleh ke arah Keira. “Ada gua di sisi utara hutan ini. Kita bisa bersembunyi di sana sampai fajar.” Keira mengangguk, menahan rasa takut yang masih menggigit pikirannya. Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini lebih hati-hati. Langkah mereka pelan, berusaha menghindari suara yang bisa menarik perhatian
Keira duduk terdiam, memandangi mulut gua yang masih gelap. Angin malam mengalir masuk, membawa aroma tanah basah dan kesunyian yang dalam. Suasana terasa semakin menegangkan, tetapi Keira merasa ada kedamaian aneh yang mengalir dari dalam dirinya, berkat kehadiran Adrian di sampingnya. Adrian, yang duduk bersandar di dinding gua, menatap Keira dengan perhatian penuh. Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh Keira, meskipun ia berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya. Tanpa berbicara, Adrian meraih tangan Keira, memberi isyarat agar mereka tetap terhubung. Keira menatap tangannya sejenak, merasakan kehangatan yang luar biasa. Keira berusaha tersenyum, meskipun dalam hatinya masih ada rasa takut yang mendalam. “Kita harus keluar dari sini, kan?” tanya Keira, suara lembutnya menggema di dalam gua. Adrian menatapnya serius, seolah mempertimbangkan kata-kata Keira. “Kita akan keluar, Keira. Aku janji. Tapi kita harus lebih hati-hati. Mereka masih mencari kita.” Keira menga
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m
Mobil mereka melaju melewati jalanan berbatu yang semakin jauh dari kota. Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan yang pekat. Keira bersandar di kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian di jembatan.Samantha duduk diam di sebelahnya, kedua tangannya masih menggenggam erat sabuk pengaman seolah takut melepaskannya. Sementara itu, Adrian dan Dylan tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka benar-benar telah lolos dari pengejaran."Tidak ada tanda-tanda mobil lain," kata Dylan akhirnya. "Setidaknya untuk sekarang, kita aman."Adrian mengangguk, tapi ekspresinya tetap dingin dan penuh kehati-hatian. "Jangan lengah dulu. Mereka pasti akan mencari kita lagi."Keira menelan ludah. "Ke mana tujuan kita sekarang?"Samantha yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. "Kita harus keluar dari negara ini secepat mungkin."Dylan mengangkat alis. "Dan bagaimana caranya? Semua jalur utama pasti sudah mer
Malam semakin pekat saat Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan menyusuri jalanan gelap menuju titik pertemuan. Hanya suara angin dan derap langkah mereka yang terdengar.Keira merapatkan jaket yang diberikan Dylan, berusaha menghalau dingin sekaligus menutupi identitasnya. Mereka harus bergerak cepat sebelum orang-orang Victor menyadari keberadaan mereka.Adrian berjalan di sampingnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Samantha masih mengikuti. Gadis itu tampak pucat, tetapi tetap berusaha tegar."Kita hampir sampai," bisik Dylan, mempercepat langkahnya.Di depan, samar-samar terlihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah jembatan kecil. Lampunya dimatikan, dan hanya suara mesin yang terdengar pelan."Siapa yang menunggu di sana?" tanya Adrian waspada."Orang kepercayaanku," jawab Dylan. "Dia bisa membawa kita keluar dari kota tanpa terdeteksi."Mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai mobil itu. Seorang pria berkacamata hitam turun dari kursi kemudi, meskipun mala
Udara pagi masih dingin saat Keira, Adrian, dan Samantha melangkah keluar dari rumah persembunyian mereka. Langit berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati mereka yang dipenuhi kewaspadaan. Adrian berjalan paling depan, matanya tajam menyapu lingkungan sekitar. Keira dan Samantha mengikutinya dengan hati-hati, tas kecil berisi barang-barang penting menggantung di punggung mereka. “Kita ke mana sekarang?” bisik Keira. Adrian melirik arlojinya sebelum menjawab. “Ada tempat yang aman di pinggiran kota. Aku punya kontak di sana yang bisa membantu kita keluar dari negara ini dengan aman.” Samantha mendesah pelan. “Keluar dari negara ini? Apa itu satu-satunya pilihan kita?” Adrian menatapnya serius. “Victor tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kita harus berada di luar jangkauannya.” Keira menelan ludah. Membayangkan meninggalkan semua yang ia kenal terasa berat, tetapi ia tahu ini bukan tentang dirinya saja. Ini tentang berta
Malam mulai menyelimuti langit saat Keira, Adrian, dan Samantha akhirnya mencapai pinggiran hutan. Napas mereka masih terengah-engah setelah pelarian panjang yang hampir membuat mereka tertangkap.Keira menatap Adrian dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka masih mencari kita.”Adrian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Hutan mulai beralih ke tanah lapang dengan beberapa gudang tua yang tampak terlantar. Ia menunjuk ke salah satu bangunan yang terlihat lebih kokoh. “Kita bersembunyi di sana dulu. Kita butuh tempat untuk menyusun rencana sebelum melanjutkan perjalanan.”Samantha tampak ragu. “Bagaimana kalau tempat itu tidak aman?”Adrian menatapnya tajam. “Saat ini, kita tidak punya pilihan lain.”Mereka bertiga bergerak dengan hati-hati, menyelinap ke dalam gudang tua yang pintunya setengah terbuka. Begitu masuk, mereka mendapati ruangan luas dengan beberapa tumpukan kayu dan alat-alat pertanian berkarat. Bau tanah lembap bercampur debu memenuhi udara.Ke
Malam semakin larut, dan udara dingin mulai merayapi rumah kecil itu. Keira duduk di dekat perapian, tangannya memeluk lutut, mencoba mencari kehangatan. Samantha beristirahat di sofa, sementara Adrian sibuk memeriksa peta digital di ponselnya.Suasana hening, tetapi bukan ketenangan yang nyaman—melainkan ketegangan yang menggantung di udara.Keira mengangkat wajahnya. “Adrian, menurutmu Victor akan menemukan kita secepat itu?”Adrian menghela napas panjang. “Victor bukan orang yang mudah menyerah. Tapi sejauh ini, kita masih memiliki sedikit keunggulan.”Samantha menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, matanya menatap langit-langit. “Masalahnya, kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Kita harus berpikir bagaimana mengakhiri ini.”Keira menatap Samantha. Ia tahu perempuan itu benar. Mereka tidak bisa terus-menerus melarikan diri.“Lalu, apa rencanamu?” tanya Keira akhirnya.Adrian menatap Samantha sejenak sebelum menjawab. “Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita. Tapi k
Mobil melaju kencang di jalan berbatu, meninggalkan villa Victor yang kini sudah jauh di belakang mereka. Di dalam mobil, suasana terasa tegang.Keira duduk di kursi penumpang, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan Samantha yang masih menekan lukanya."Kau yakin baik-baik saja?" tanya Keira dengan nada khawatir.Samantha mengangguk pelan, meskipun wajahnya sedikit pucat. "Ini hanya luka ringan. Aku pernah mengalami yang lebih buruk," jawabnya, berusaha tetap tenang.Adrian tetap fokus pada jalan di depan. Tangannya erat menggenggam setir, memastikan mereka tidak tersesat atau masuk ke dalam perangkap."Kita harus segera menemukan tempat aman untuk bersembunyi," kata Adrian. "Victor pasti sudah menyebar anak buahnya untuk mencari kita."Keira menelan ludah. "Kau ada ide ke mana kita harus pergi?"Adrian terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku punya tempat di luar kota. Rumah kecil yang jarang dipakai. Itu cukup jauh dari sini dan aman."Keira mengangguk, mempercayai pen
Alarm terus berbunyi, memecah keheningan malam di villa Victor. Lampu merah berkedip-kedip di sepanjang koridor, menandakan bahwa mereka telah terdeteksi.Keira merasakan jantungnya berdetak begitu cepat saat ia, Adrian, dan Samantha berlari melewati lorong sempit, berusaha mencari jalan keluar."Ke arah sini!" bisik Samantha, menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong.Adrian menarik Keira, memastikan ia tetap dekat dengannya. "Jangan lepas tanganku," katanya tegas.Keira mengangguk, meskipun ketakutan mulai menyelimutinya.Begitu mereka mencapai pintu itu, Samantha dengan cepat mengeluarkan alat kecil dari sakunya dan mengutak-atik panel kunci elektronik di sebelahnya."Ayo cepat, Sam," bisik Keira, merasa waktu mereka semakin menipis.Langkah kaki para penjaga semakin mendekat. Mereka bisa mendengar suara perintah tegas melalui radio yang dibawa para penjaga.Klik.Pintu terbuka tepat pada waktunya.Mereka bertiga segera masuk dan menutup pintunya kembali dengan cepat. Ruangan y