Ruang tamu di kediaman besar itu dipenuhi keheningan yang berat, seolah semua orang menahan napas menunggu. Mata Keira terpaku pada berkas di tangannya, surat penawaran dari perusahaan rival yang selama ini menjadi momok terbesar bisnis keluarganya. Wajahnya tak bisa menyembunyikan konflik batin. Adrian duduk di seberangnya, tenang seperti biasa, meski matanya mengamati setiap gerakan keira dengan saksama. “Apa yang kau pikirkan, Keira?” Suara Adrian memecah keheningan, dalam nada rendah namun penuh perhatian. Keira mengangkat wajah, memperlihatkan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku tidak tahu, Adrian. Ini… ini seperti perangkap. Tapi di sisi lain, tawaran ini terlalu besar untuk diabaikan.” Adrian bersandar di kursinya, melipat tangan di depan dada. “Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Mereka tahu kelemahan keluargamu. Dan mereka menggunakan itu untuk menekanmu.” Keira mengangguk kecil, seolah menegaskan ucapan Adrian. Surat itu bukan hanya sekadar tawaran, tetapi ancam
Langit sore mulai berubah menjadi jingga. Keira berdiri di tepi balkon vila yang disewa Adrian untuk perjalanan bisnisnya, memandangi siluet pegunungan yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin lembut menggerai rambutnya, membuat aroma pepohonan pinus menyatu dengan udara. Namun, wajahnya tak menunjukkan ketenangan. Tatapannya kosong, tenggelam dalam pikirannya yang penuh konflik. “Keira?” suara Adrian terdengar dari pintu. Keira menoleh, dan matanya bertemu dengan tatapan tajam Adrian. Sejak tiba di vila ini dua hari lalu, Adrian hampir selalu menghindari pembicaraan serius, seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin ia bagi. Namun malam ini, ada sesuatu di matanya yang berbeda—seolah ia siap membuka dirinya. “Kamu masih di sini,” Adrian melangkah mendekat, membawa secangkir kopi yang mengepul di tangannya. Ia menyerahkannya kepada Keira. “Anginnya cukup dingin. Aku pikir ini akan membuatmu merasa lebih baik.” Keira mengambil cangkir itu, namun tatapannya tetap terp
Jalanan malam yang gelap hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang memudar. Adrian duduk di belakang kemudi dengan tatapan fokus ke depan, sementara Keira di sampingnya, sesekali melirik pria itu. Atmosfer dalam mobil terasa tegang, meskipun suara mesin mobil yang stabil berusaha menenangkan. "Adrian," Keira akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut namun tegas. "Kamu belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kebocoran apa yang kamu maksud?" Adrian tetap diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab. "Salah satu proyek besar di perusahaanku, sebuah teknologi enkripsi data yang kami kembangkan untuk sistem keamanan global, tampaknya telah diretas. Informasi yang seharusnya dirahasiakan bocor, dan ada kemungkinan besar teknologi itu jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab." Keira menatap Adrian dengan pandangan khawatir. "Itu serius. Bagaimana mungkin bisa bocor?" "Itu yang harus aku cari tahu. Aku punya tim yang bekerja tanpa henti untuk
Keira menatap layar laptopnya dengan napas yang berat. Di hadapannya, serangkaian angka dan laporan keuangan berdansa, membentuk pola yang baginya kini terasa lebih seperti teka-teki daripada informasi. Beberapa hari terakhir, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Adrian menghilang tanpa kabar, dan ancaman yang sebelumnya terasa jauh kini mulai menyentuh hidupnya secara langsung. “Keira, kau baik-baik saja?” suara lembut Naya, sahabatnya, memecah keheningan ruangan. Keira hanya mengangkat bahu tanpa menoleh. “Aku hanya... merasa semuanya terlalu rumit, Nay. Adrian, proyek ini, dan sekarang perusahaan ayahku mulai diguncang masalah internal.” Naya mendekati meja Keira, meletakkan segelas teh hangat di dekat tangannya. “Mungkin kau perlu istirahat. Kau tidak harus memikul semuanya sendirian, Keira.” Keira menatap sahabatnya, merasa sejenak ada ketenangan di tengah badai pikirannya. Tapi hatinya tetap tak bisa diam. Adrian, pria yang selama ini berdiri sebagai sos
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis di kamar Keira, menciptakan pola bercahaya di dinding. Namun, keindahan itu tidak menarik perhatian perempuan muda yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. Matanya terpaku pada jendela, pikirannya penuh dengan keraguan. Di lantai, tas kecil telah siap dengan perlengkapan penting untuk perjalanan mereka pagi ini. Adrian mengetuk pintu kamar, membuka sedikit celah. “Keira, kau siap?” tanyanya, suaranya terdengar lembut, berbeda dari biasanya. Keira menoleh, mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia mengambil tasnya dan berjalan melewati Adrian yang memperhatikannya dengan ekspresi penuh perhatian. Keira tahu dia harus menenangkan pikirannya, tapi bayangan kemungkinan buruk terus menghantuinya. Mereka berjalan ke mobil tanpa banyak bicara. Adrian, seperti biasa, mengemudi dengan tenang namun fokus. Sepanjang perjalanan menuju alamat yang tertera di balik foto, jalanan lengang, seperti memberi ruang pada pikiran masing-masing yang
Lampu meja kerja Adrian menyala redup, menyinari peta usang yang baru saja mereka temukan di buku tua. Di tengah keheningan malam, hanya suara detak jam dan sesekali deru mobil di luar apartemen yang terdengar. Keira duduk di sofa, memperhatikan Adrian yang tak henti-hentinya menelusuri peta itu dengan tatapan penuh konsentrasi. “Peta ini menunjukkan tiga lokasi,” kata Adrian, menunjuk lingkaran kecil yang digambar di atas kertas. “Satu di sini, yang lainnya di luar kota. Tapi aku tidak tahu apa yang ada di lokasi-lokasi ini.” Keira berjalan mendekat, memegang cangkir kopi yang sudah setengah kosong. Dia melihat peta itu dengan seksama. “Semua ini seperti teka-teki, Adrian. Apa menurutmu kita akan menemukan jawaban di tempat berikutnya?” Adrian mengangguk pelan. “Setiap petunjuk yang kita temukan membawa kita lebih dekat ke kebenaran. Aku hanya tidak tahu apa yang akan kita hadapi selanjutnya.” Keira meletakkan tangannya di pundak Adrian. “Apa pun itu, kita akan me
Cahaya pagi yang masuk melalui tirai jendela mengusik tidur Adrian. Dia membuka mata perlahan, merasakan tubuhnya berat setelah malam yang panjang. Di meja kerja, dokumen “Proyek Leviathan” yang mereka temukan semalam masih tergeletak. Kunci kecil dari logam berada tepat di atasnya, mengkilap terkena sinar matahari. Keira sudah bangun lebih dulu, terlihat sibuk di dapur. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi ruangan. Saat Adrian duduk di sofa, Keira menghampirinya dengan secangkir kopi. “Kopi pagi. Aku tahu kamu butuh ini,” katanya sambil tersenyum. Adrian mengambil cangkir itu, menghirup aromanya sebelum menyesapnya. “Terima kasih. Kamu tidak tidur lama tadi malam?” Keira duduk di sampingnya, menyilangkan kaki. “Sulit tidur dengan semua yang terjadi. Dokumen itu membuatku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang kita hadapi?” Adrian memandangnya sejenak, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Leviathan... Nama itu terdengar seperti sesuatu ya
Malam itu, dingin menelisik tulang. Keira menatap keluar jendela kamarnya, memandangi pendaran lampu kota yang terlihat redup di balik tirai hujan. Tangannya menggenggam secangkir teh yang mulai kehilangan kehangatannya, namun pikirannya melayang jauh ke berbagai peristiwa yang terjadi. Adrian. Nama itu terus berputar di benaknya. Ia bukan lagi hanya seorang sopir pribadi. Dia adalah teka-teki yang belum sepenuhnya terpecahkan, penuh kejutan yang terus membuat Keira terheran-heran. Tapi, setelah kebohongan besar itu terbongkar, hatinya terasa terlalu berat untuk memaafkan begitu saja. Keira meremas cangkir di tangannya. Rasanya ingin marah, tapi di sisi lain, ia sadar bahwa Adrian menyimpan kebaikan yang tulus di balik segala rahasianya. Pikirannya kembali ke momen ketika Adrian menyelamatkan ayahnya. Bagaimana mungkin ia mengabaikan kenyataan bahwa tanpa Adrian, keluarganya mungkin sudah kehilangan segalanya? Sementara itu, di tempat lain, Adrian duduk di tepi balkon
Langit senja mulai berubah gelap saat Adrian berdiri di tepi bukit, memandangi kota di kejauhan yang diterangi cahaya lampu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan ringan sore tadi. Keira berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati ekspresi Adrian yang tampak serius."Sepertinya kau masih memikirkan semuanya," ujar Keira lembut, tangannya menggenggam jaketnya erat karena hawa mulai dingin.Adrian menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi dadanya sebelum perlahan menghembuskannya. "Ada banyak hal yang masih harus kupastikan," katanya dengan suara tenang, tapi ada ketegangan tersirat dalam nadanya. "Setiap langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya."Keira mengangguk, memahami maksudnya. Mereka telah mencapai titik kritis dalam perjalanan ini—misteri yang mereka kejar semakin dekat dengan jawaban, tapi juga semakin berbahaya.Tiba-tiba, di kejauhan, suara gemerisik te
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme pelan yang menghantam kaca jendela gedung tua yang kini menjadi saksi bisu pertarungan mental di antara mereka. Udara dingin menusuk kulit, bercampur dengan aroma tanah basah yang semakin mempertegas suasana mencekam di ruangan itu.Di luar, suara deru mobil terdengar samar, mendekati area bangunan terbengkalai yang kini menjadi tempat pertemuan mereka. Namun, di dalam ruangan, keheningan terasa begitu berat.Adrian berdiri tegap, tatapannya tajam menelusuri wajah pria berjas hitam yang kini melangkah perlahan ke arah mereka. Sorot mata pria itu penuh kepastian, seolah ia telah merencanakan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Keira menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Apa kau pikir semua ini hanya permainan?"Pria itu menyeringai tipis. "Segala sesuatu yang besar selalu diawali dengan pengorbanan, nona Keira. Kau seharusnya sudah tahu itu."Adrian mengepalka
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi