Malam itu, setelah Adrian pergi, Keira duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam berembus pelan, membuat rambutnya sedikit berantakan.Tangannya secara refleks menyentuh cincin di jarinya, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi hari ini bukan hanya mimpi.Pertunangan ini…Ia tahu bahwa ia mencintai Adrian, tidak pernah ada keraguan dalam hatinya tentang itu. Tapi jauh di lubuk hati, ada sedikit ketakutan yang masih mengendap.Bisakah ia benar-benar membangun kehidupan yang bahagia bersama Adrian?Bisakah ia meninggalkan semua luka masa lalu dan melangkah maju tanpa ragu?Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir pikirannya yang kacau.Tiba-tiba, ponselnya bergetar.Sebuah pesan dari Adrian."Kamu sudah tidur?"Keira tersenyum kecil lalu membalas, "Belum. Aku masih di balkon."Tidak butuh waktu lama sebelum balasan lain datang."Bolehkah aku meneleponmu?"Keira langsung mengetik, "Tentu."Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering.
Hari itu, suara burung di taman keluarga Hartono terdengar seperti biasa, tetapi di dalam rumah megah itu, suasana jauh dari tenang. Keira duduk di sofa ruang tamu dengan kaki disilangkan, memelototi ayahnya yang duduk berhadapan dengannya. Di tangannya, sebuah cangkir kopi hampir tumpah karena tangannya yang bergerak-gerak gelisah. “Kenapa sih, Ayah selalu memaksakan kehendak?” sergah Keira dengan nada tinggi. “Aku bukan anak kecil lagi!” Tuan William Hartono, pengusaha dengan reputasi keras dan disiplin, tetap tenang menghadapi protes putrinya. Dengan rambut mulai memutih dan wajah tegasnya, ia menyampaikan pendapatnya dengan nada dingin. “Keira, sudah berapa kali aku bilang, ini soal keamanan. Kau mungkin merasa bisa menjaga dirimu sendiri, tapi nyatanya kau ceroboh. Sudah dua kali kau hampir terlibat kecelakaan dalam satu bulan terakhir,” katanya “Kalau soal itu, aku bisa lebih hati-hati! Tidak perlu menyewa orang asing untuk mengikuti aku ke mana-mana.” Tuan William meny
Pagi itu, Keira terbangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, pikirannya dipenuhi oleh Adrian. Refleks pria itu saat menyelamatkannya dari truk hari sebelumnya membuat nya penasaran. Namun, rasa penasaran itu bercampur dengan amarah kecil yang masih ia simpan. Dia tidak suka merasa seperti gadis lemah yang butuh perlindungan. Dan Adrian, dengan sikap tenang dan hampir sempurnanya, membuat Keira merasa seperti itu. “Apa dia benar-benar hanya seorang sopir?” Keira bergumam pelan sambil menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, dan ia memilih pakaian kasual—sesuatu yang jarang ia lakukan. Saat ia melangkah keluar rumah, mobil sudah menunggunya. Adrian berdiri di samping mobil, membungkukkan sedikit badan sebagai tanda hormat. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang tampak tanpa beban. “Selamat pagi, Nona Keira,” sapanya lembut. Keira meliriknya sekilas, lalu masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa. Namun, ketika Adrian menutup pintu dengan hati-hati, Keira
Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik. “Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya. Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain. Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya. “Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya. Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat da
Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin dan
Keira menatap Adrian dengan pandangan serius ketika pria itu memasuki ruang tamu di rumahnya. Di atas meja, peta besar kota terbuka dengan beberapa tanda merah. Adrian terkejut melihat keberanian baru dalam diri Keira. “Kau yakin tentang ini, Nona Keira?” tanya Adrian dengan nada tenang, tetapi penuh peringatan. Keira mengangguk, meskipun hatinya masih gemetar. “Jika mereka mengincarku, aku tidak akan duduk diam. Kita harus mencari tahu siapa mereka, apa rencana mereka, dan menghentikannya sebelum mereka menghancurkan keluargaku.” Adrian menatap gadis itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak percakapan terakhir mereka. Keira bukan lagi gadis manja yang hanya peduli pada kemewahan. Kini ia terlihat seperti seorang pejuang yang menemukan keberanian baru dalam dirinya. “Baiklah,” kata Adrian akhirnya. “Tapi jika kita akan melangkah ke dunia ini, Anda harus siap. Dunia mereka tidak kenal belas kasihan.” “Kalau begitu, kau harus mengajarkanku,” jawab Keira teg
Keira duduk di kamar kerjanya, menatap dokumen yang mereka ambil dari gudang semalam. Tulisan-tulisan di atas kertas itu penuh dengan simbol aneh, nama-nama yang ia tidak kenali, dan beberapa angka yang tampaknya merupakan koordinat. "Adrian, apa ini sebenarnya?" tanyanya, suaranya bergetar sedikit saat Adrian memasuki ruangan. Pria itu berjalan mendekat, mengenakan ekspresi serius yang membuat suasana semakin tegang. "Ini peta aktivitas mereka. Tempat-tempat ini adalah lokasi yang sering mereka gunakan untuk rapat atau menyembunyikan operasi mereka." Keira meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus membayangkan bahaya yang mengintai. "Jika mereka tahu kita mengambil ini, apa yang akan mereka lakukan?" Adrian menatapnya, matanya menunjukkan rasa empati sekaligus peringatan. "Mereka akan mencoba menghentikan kita. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi tujuan mereka." Ucapan itu membuat darah Keira membeku. Namun, ia menguatkan dir
Pagi setelah serangan di gudang, Keira terbangun dengan kepala yang berat. Malam itu terus membayangi pikirannya, terutama ketika ia melihat Adrian terluka saat melindunginya. Namun, perhatian Keira langsung teralihkan ketika seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan surat di tangan. "Surat ini baru saja dikirimkan, Nona Keira," kata pelayan itu dengan wajah bingung. Keira mengambil surat itu. Kertasnya tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika ia membukanya, sebuah tulisan tangan rapi tertulis di atasnya: "Kami tahu apa yang kau lakukan. Berhentilah, atau kau akan kehilangan lebih banyak dari yang pernah kau bayangkan." Tangannya gemetar saat membaca surat itu. Ia segera berlari ke ruang tamu, di mana Adrian sedang duduk sambil memeriksa lukanya. "Adrian!" serunya, melemparkan surat itu ke atas meja. Adrian membaca surat itu dengan tenang, tetapi Keira bisa melihat ketegangan di rahangnya. "Mereka mulai mengawasi kita," katanya akh
Malam itu, setelah Adrian pergi, Keira duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam berembus pelan, membuat rambutnya sedikit berantakan.Tangannya secara refleks menyentuh cincin di jarinya, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi hari ini bukan hanya mimpi.Pertunangan ini…Ia tahu bahwa ia mencintai Adrian, tidak pernah ada keraguan dalam hatinya tentang itu. Tapi jauh di lubuk hati, ada sedikit ketakutan yang masih mengendap.Bisakah ia benar-benar membangun kehidupan yang bahagia bersama Adrian?Bisakah ia meninggalkan semua luka masa lalu dan melangkah maju tanpa ragu?Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir pikirannya yang kacau.Tiba-tiba, ponselnya bergetar.Sebuah pesan dari Adrian."Kamu sudah tidur?"Keira tersenyum kecil lalu membalas, "Belum. Aku masih di balkon."Tidak butuh waktu lama sebelum balasan lain datang."Bolehkah aku meneleponmu?"Keira langsung mengetik, "Tentu."Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering.
Pagi itu, setelah kejutan yang Adrian berikan di rumah lamanya, Keira masih merasakan debaran di dadanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Adrian telah menyimpan semua lukisannya, bahwa pria itu benar-benar menghargai setiap langkah yang pernah ia tempuh.Mereka kini berada di balkon rumah itu, menikmati udara pagi yang masih segar. Keira duduk di kursi kayu dengan secangkir teh di tangannya, sementara Adrian berdiri di dekat pagar, menatap ke arah taman kecil di bawah sana.“Kamu tahu…” Adrian akhirnya bersuara, membuat Keira menoleh. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya jalannya sendiri. Dan aku pikir, aku sudah menemukan jalanku.”Keira menyesap tehnya pelan. “Dan jalan itu?”Adrian menoleh, matanya menatap dalam ke arah Keira. “Ada bersamamu.”Keira terdiam. Matanya sedikit melebar, lalu perlahan melunak.“Aku tidak tahu harus berkata apa…” suaranya sedikit bergetar.Adrian tersenyum, lalu berjalan mendekat dan berlutut di hadapannya.“Keira Williams,” panggilnya lembut.
Keira duduk di tepi sofa, sementara Adrian masih berdiri di dekatnya. Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung—lebih seperti jeda yang dibutuhkan untuk memahami perasaan masing-masing.Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin tahu apa yang benar-benar ada di pikiranmu, Keira.”Keira menghela napas. “Aku sudah mengatakan semuanya, Adrian. Aku hanya… masih mencoba untuk menerima semuanya. Aku ingin percaya sepenuhnya padamu, tapi aku masih takut.”Adrian berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapannya. “Aku tahu. Dan aku tidak akan menyalahkanmu atas itu.”Keira menatap pria itu, matanya bergetar. Ia tidak menyangka Adrian akan sejujur ini, setulus ini dalam menyikapi ketakutannya.“Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih yakin, apa yang harus kulakukan?” Adrian bertanya dengan nada serius.Keira tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain tetap ada di sini, Adrian.”Adrian mengangguk pelan.
Keheningan menyelimuti ruangan saat Keira menatap Adrian yang duduk di seberangnya. Tatapan pria itu tajam, seolah sedang mempertimbangkan banyak hal sekaligus. Di antara mereka, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas."Jadi, apa keputusanmu?" suara Adrian akhirnya memecah kebisuan.Keira menarik napas dalam sebelum menjawab, "Aku... ingin percaya bahwa kita bisa menghadapi semua ini bersama. Tapi jujur saja, Adrian, aku masih takut."Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja. "Takut kehilangan aku?"Keira mengangguk pelan. "Takut kehilanganmu. Takut terluka lagi. Takut bahwa semua ini hanya sementara."Adrian menatapnya dalam-dalam. "Keira, aku tidak bisa menjanjikan bahwa segalanya akan selalu berjalan lancar. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pergi. Aku memilihmu. Itu tidak akan berubah."Keira merasakan sesuatu menghangat di dalam dadanya. Ia ingin mempercayai kata-kata Adrian, ingin menggenggam harapan yang diberikan pria itu. Namun
Fajar pun perlahan menyingsing di balik pepohonan, menyinari dunia dengan cahaya lembut yang kontras dengan kegelapan malam yang baru saja mereka lewati. Di sebuah tempat persembunyian yang baru mereka raih—sebuah rumah tua di pinggiran hutan—Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan duduk dalam keheningan yang penuh perasaan campur aduk.Setelah pelarian dramatis dari pelabuhan, ketika ancaman langsung dari tangan Lucas dan anak buah Victor sempat membuat mereka terpojok, mereka kini dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup mereka tak akan pernah kembali seperti dulu. Masing-masing membawa luka, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Namun, di balik segala kepayahan itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh seiring fajar baru.Adrian duduk di depan jendela besar yang menghadap ke hutan, matanya memandang jauh seolah mencoba membaca setiap bayangan yang masih tersisa. Ia menghela napas pelan, kemudian berkata, “Kita berhasil lolos dari cengkeraman mereka, tapi aku tahu Victor tidak
Keheningan menyelimuti ruangan ketika Keira dan Adrian duduk di sofa, menikmati kehangatan yang terasa asing namun begitu dirindukan. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya detak jantung mereka yang terdengar lebih jelas dalam kedekatan ini.Keira menatap cangkir teh di tangannya, uapnya mengepul tipis di udara. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa begitu sulit keluar.Adrian menoleh ke arahnya. "Apa yang kau pikirkan?"Keira menggigit bibir bawahnya, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya… merasa canggung."Adrian tersenyum tipis. "Aku juga."Keira mendesah pelan. "Aku tidak ingin membuat segalanya jadi sulit, Adrian. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku mengambil keputusan yang tepat."Adrian mengangguk mengerti. "Aku tidak akan memaksamu untuk terburu-buru, Keira. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, menunggumu."Keira tersenyum kecil. "Terima kasih."Malam semakin larut, dan suasana mulai terasa lebih nyaman. Mereka berbicara tentang hal-hal r
Keira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan dari Adrian masih terbuka, hanya berisi satu kalimat singkat:"Kita perlu bicara. Aku akan menemuimu malam ini."Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara secara langsung tanpa ada orang lain di sekitar. Hubungan mereka akhir-akhir ini terasa seperti berada di ambang jurang, menggantung di antara kejelasan dan keraguan.Keira menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa sekuat apa pun ia mencoba menyibukkan diri, pikirannya selalu kembali pada Adrian.Saat malam tiba, Keira duduk di ruang tamu apartemennya, menunggu dengan gelisah. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan Adrian katakan. Apakah ini tentang mereka? Tentang Samantha? Atau… tentang sesuatu yang lebih besar?Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Dengan sedikit ragu, Keira bangkit dan membuka pintu.Di hadapannya, Adrian berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia mengenakan kemeja
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m