Malam itu, meskipun Keira berada dalam pelukan Adrian, pikirannya tetap bergejolak. Kata-kata Samantha terus terngiang di kepalanya.
"Aku hanya ingin tahu apakah aku masih punya kesempatan." Seharusnya Keira tidak terpengaruh. Seharusnya ia percaya pada Adrian. Tapi mengapa ada keraguan yang menyelinap ke dalam hatinya? Keira menghela napas panjang. Tangannya secara refleks menggenggam kaus Adrian, mencari kenyamanan dalam dekapan pria itu. Adrian menyadari kegelisahan Keira. Ia menurunkan kepalanya sedikit, menyentuh keningnya ke kening Keira. "Kau tidak perlu khawatir tentang Samantha." Keira mengangkat wajahnya, menatap mata Adrian. "Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja." Adrian tersenyum kecil, jari-jarinya mengusap pipi Keira dengan lembut. "Keira, kau tahu aku tidak pernah main-main dengan perasaanku. Aku telah memilihmu, dan aku tidak akan mengubahnyaKeira mengunci diri di kamar selama beberapa jam, membiarkan pikirannya berkelana di antara emosi yang bercampur aduk. Ia ingin marah, ingin membenci Adrian karena mempertimbangkan membantu Samantha. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa Adrian adalah pria yang selalu ingin melakukan hal yang benar—itulah salah satu alasan mengapa ia mencintainya.Namun, bukankah ini terlalu berlebihan?Keira menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke langit-langit. Tidak ada gunanya menyiksa diri dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum tentu ada jawabannya. Ia butuh kepastian. Ia butuh kebenaran.Dengan tekad yang baru muncul, Keira membuka pintu dan menemukan Adrian masih duduk di ruang tamu, menundukkan kepalanya dalam diam. Saat mendengar suara langkah Keira, ia langsung berdiri."Keira, aku—""Jawab satu pertanyaanku, Adrian," potong Keira dengan suara dingin. "Kau benar-benar akan tetap di sisi Sam
Keira menatap langit malam dari balkon apartemen mereka. Angin dingin menyentuh kulitnya, tetapi pikirannya jauh lebih bergejolak dibandingkan suhu udara.Adrian berdiri di belakangnya, diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Apa yang kau pikirkan?"Keira menghela napas panjang. "Samantha."Adrian merapatkan tubuhnya di samping Keira. "Aku tahu ini sulit bagimu."Keira menoleh, menatap wajah pria itu. "Bukan hanya sulit, Adrian. Aku takut."Adrian mengernyit. "Takut?"Keira mengangguk. "Takut bahwa meskipun kau yakin sudah menutup masa lalumu dengannya, bayangan itu tetap ada. Samantha bukan hanya seseorang yang datang dan pergi.""Dia bagian dari masa lalu yang pernah kau cintai, dan sekarang dia kembali dengan situasi yang..."Keira menggigit bibirnya, mencoba mencari kata yang tepat."Rumit?" tebak Adrian.Keira tersenyum miris. "Ya, rumit."Adrian mengulu
Samantha duduk di tepi ranjangnya, menatap kartu nama yang baru saja diterimanya. Nama Ethan Vale terukir di sana, dengan nomor telepon di bawahnya. Ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tadi yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya begitu saja.Pikirannya masih kacau.Adrian menolak dirinya, Keira membencinya, dan kini ia harus menghadapi kehamilannya sendirian. Tapi lalu muncul pria asing ini, menawarkan bantuan dengan cara yang tidak ia pahami.Apakah ini sebuah kebetulan? Atau jebakan?Samantha menggenggam kartu itu erat, sebelum akhirnya melemparnya ke atas meja."Tidak. Aku bisa mengatasinya sendiri," gumamnya.Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa dirinya mulai ragu.Di tempat lain, Adrian duduk di ruang kerja dengan wajah penuh beban. Ia belum berbicara banyak dengan Keira sejak terakhir kali mereka berselisih tentang Samantha.Ia tahu Keira butuh waktu, tapi setiap detik yang berlalu tanpa kejelasan membuatnya gelisah.Adr
Hujan turun dengan deras di luar jendela kaca restoran La Belle. Samantha menatap butiran air yang jatuh, pikirannya masih berkecamuk tentang pertemuannya dengan Ethan Vale.Pria itu memang menawarkan bantuan, tapi Samantha bukan orang bodoh. Tidak ada yang datang tanpa harga.Ethan menyesap anggurnya dengan santai, seolah bisa membaca pikirannya. "Kau masih ragu."Samantha menoleh, tatapannya tajam. "Tentu saja aku ragu. Kau datang entah dari mana dan tiba-tiba ingin membantuku. Kau pikir aku akan langsung percaya?"Ethan menyunggingkan senyum kecil. "Wajar jika kau tidak percaya. Tapi aku yakin kau tidak punya banyak pilihan sekarang."Samantha mengepalkan jemarinya di atas meja. Ia benci mengakuinya, tapi Ethan benar."Apa maumu dariku?" tanyanya akhirnya.Ethan menatapnya lama sebelum menjawab, "Aku hanya ingin kau menerima tawaran ini. Tidak ada tuntutan, tidak ada perjanjian yang mengikat. Aku hanya akan membantumu mendapatkan kehidupan yang lebih baik."Samantha mengerutkan k
Keira duduk di sofa apartemen Samantha, menyilangkan tangan di dadanya. Matanya menatap lurus ke arah wanita di depannya, penuh kewaspadaan. Samantha, di sisi lain, terlihat sedikit gelisah, tapi berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya."Kau ingin bicara? Baiklah, bicara," kata Samantha, menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan nada santai.Keira menarik napas dalam. "Aku ingin tahu kebenarannya, Samantha. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"Samantha tersenyum tipis. "Kebenaran? Keira, aku rasa kau sudah tahu semuanya."Keira menatapnya tajam. "Aku ingin mendengarnya langsung darimu. Kau datang kembali ke dalam hidup Adrian dengan membawa masalah ini.""Sekarang, tiba-tiba ada pria misterius bernama Ethan yang ikut campur. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kau rencanakan."Samantha mendengus, lalu tertawa kecil. "Kau benar-benar tidak percaya padaku, ya?"Keira tak mengalihkan pandangannya. "Apa aku punya alasan untuk percaya?"Samantha terdiam sejenak. Ia menatap ke arah jendela, h
Langit masih gelap saat Adrian melangkah keluar dari gedung kantornya. Udara malam membawa hawa dingin yang menyelusup ke dalam jaketnya, tetapi pikirannya lebih sibuk memikirkan sesuatu yang lain.Ethan Vale.Nama itu kini bukan sekadar bayangan di pikirannya, tetapi sebuah ancaman nyata. Ia telah meminta seseorang menyelidiki pria itu, dan laporan awal yang ia dapatkan semakin membuatnya waspada.Samantha mungkin percaya bahwa Ethan ada di pihaknya, tetapi Adrian tahu lebih baik daripada mempercayai orang dengan catatan kriminal sepertinya.Ponselnya bergetar di saku. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal."Jangan terlalu penasaran, Adrian. Kau tidak akan suka dengan apa yang kau temukan."Mata Adrian menyipit. Ia langsung menelepon seseorang.— "Jules, kau sudah mendapat sesuatu?"— "Ya," suara Jules terdengar serius. "Ethan Vale bukan orang biasa. Dia punya hubungan dengan organisasi bawah tanah yang beroperasi di luar negeri.""Sepertinya dia juga punya kepentingan dalam
Malam semakin larut, tetapi Keira tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang terang dengan pesan terakhir dari Adrian."Kita bisa bicara besok? Aku ingin menjelaskan semuanya."Keira menggigit bibirnya. Penjelasan apa lagi yang harus ia dengar? Samantha sudah cukup menjelaskan semuanya saat ia mendatanginya sore tadi.Keira tidak menyangka Samantha akan datang menemuinya. Wanita itu berdiri di depan kafe kecil dekat apartemennya, mengenakan mantel panjang dan syal yang membungkus lehernya dengan rapat. Ada sorot lelah di matanya, tetapi juga sesuatu yang berbeda—seperti kepasrahan."Apa yang kau inginkan?" tanya Keira tanpa basa-basi.Samantha tersenyum kecil. "Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Keira. Aku hanya ingin berbicara."Keira menghela napas panjang, lalu menarik kursi di hadapannya. "Baiklah. Aku mendengarkan."Samantha menatapnya, lalu berkata pelan, "Aku tahu aku sudah menghancurkan banyak hal, termasuk hubunganmu dengan Adrian. Tapi aku
Pagi itu, Keira duduk di meja dapur, menatap secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Matanya terasa berat akibat kurang tidur, tetapi pikirannya masih berputar-putar memikirkan pertemuannya dengan Samantha.Di sisi lain, Adrian sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Ia melirik Keira yang tampak diam, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri."Keira," panggilnya lembut.Keira mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu, tetapi ada sesuatu dalam mata Keira yang terasa berbeda—seperti ada jarak yang tidak bisa Adrian jangkau."Kita bisa bicara sebentar sebelum aku pergi?" tanya Adrian hati-hati.Keira menatapnya beberapa detik sebelum mengangguk pelan.Adrian menarik kursi di depannya, lalu duduk dengan ekspresi serius. "Aku tahu kau bertemu dengan Samantha kemarin."Keira tidak terkejut. Ia sudah menduga Samantha pasti memberitahunya. "Ya, dia datang kepadaku.""Apa yang dia katakan?"Keira menghela napas. "Dia bilang dia tidak akan lagi meminta bantuanmu."Adrian mengangguk pelan.
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m
Mobil mereka melaju melewati jalanan berbatu yang semakin jauh dari kota. Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan yang pekat. Keira bersandar di kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian di jembatan.Samantha duduk diam di sebelahnya, kedua tangannya masih menggenggam erat sabuk pengaman seolah takut melepaskannya. Sementara itu, Adrian dan Dylan tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka benar-benar telah lolos dari pengejaran."Tidak ada tanda-tanda mobil lain," kata Dylan akhirnya. "Setidaknya untuk sekarang, kita aman."Adrian mengangguk, tapi ekspresinya tetap dingin dan penuh kehati-hatian. "Jangan lengah dulu. Mereka pasti akan mencari kita lagi."Keira menelan ludah. "Ke mana tujuan kita sekarang?"Samantha yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. "Kita harus keluar dari negara ini secepat mungkin."Dylan mengangkat alis. "Dan bagaimana caranya? Semua jalur utama pasti sudah mer
Malam semakin pekat saat Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan menyusuri jalanan gelap menuju titik pertemuan. Hanya suara angin dan derap langkah mereka yang terdengar.Keira merapatkan jaket yang diberikan Dylan, berusaha menghalau dingin sekaligus menutupi identitasnya. Mereka harus bergerak cepat sebelum orang-orang Victor menyadari keberadaan mereka.Adrian berjalan di sampingnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Samantha masih mengikuti. Gadis itu tampak pucat, tetapi tetap berusaha tegar."Kita hampir sampai," bisik Dylan, mempercepat langkahnya.Di depan, samar-samar terlihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah jembatan kecil. Lampunya dimatikan, dan hanya suara mesin yang terdengar pelan."Siapa yang menunggu di sana?" tanya Adrian waspada."Orang kepercayaanku," jawab Dylan. "Dia bisa membawa kita keluar dari kota tanpa terdeteksi."Mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai mobil itu. Seorang pria berkacamata hitam turun dari kursi kemudi, meskipun mala
Udara pagi masih dingin saat Keira, Adrian, dan Samantha melangkah keluar dari rumah persembunyian mereka. Langit berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati mereka yang dipenuhi kewaspadaan. Adrian berjalan paling depan, matanya tajam menyapu lingkungan sekitar. Keira dan Samantha mengikutinya dengan hati-hati, tas kecil berisi barang-barang penting menggantung di punggung mereka. “Kita ke mana sekarang?” bisik Keira. Adrian melirik arlojinya sebelum menjawab. “Ada tempat yang aman di pinggiran kota. Aku punya kontak di sana yang bisa membantu kita keluar dari negara ini dengan aman.” Samantha mendesah pelan. “Keluar dari negara ini? Apa itu satu-satunya pilihan kita?” Adrian menatapnya serius. “Victor tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kita harus berada di luar jangkauannya.” Keira menelan ludah. Membayangkan meninggalkan semua yang ia kenal terasa berat, tetapi ia tahu ini bukan tentang dirinya saja. Ini tentang berta
Malam mulai menyelimuti langit saat Keira, Adrian, dan Samantha akhirnya mencapai pinggiran hutan. Napas mereka masih terengah-engah setelah pelarian panjang yang hampir membuat mereka tertangkap.Keira menatap Adrian dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka masih mencari kita.”Adrian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Hutan mulai beralih ke tanah lapang dengan beberapa gudang tua yang tampak terlantar. Ia menunjuk ke salah satu bangunan yang terlihat lebih kokoh. “Kita bersembunyi di sana dulu. Kita butuh tempat untuk menyusun rencana sebelum melanjutkan perjalanan.”Samantha tampak ragu. “Bagaimana kalau tempat itu tidak aman?”Adrian menatapnya tajam. “Saat ini, kita tidak punya pilihan lain.”Mereka bertiga bergerak dengan hati-hati, menyelinap ke dalam gudang tua yang pintunya setengah terbuka. Begitu masuk, mereka mendapati ruangan luas dengan beberapa tumpukan kayu dan alat-alat pertanian berkarat. Bau tanah lembap bercampur debu memenuhi udara.Ke
Malam semakin larut, dan udara dingin mulai merayapi rumah kecil itu. Keira duduk di dekat perapian, tangannya memeluk lutut, mencoba mencari kehangatan. Samantha beristirahat di sofa, sementara Adrian sibuk memeriksa peta digital di ponselnya.Suasana hening, tetapi bukan ketenangan yang nyaman—melainkan ketegangan yang menggantung di udara.Keira mengangkat wajahnya. “Adrian, menurutmu Victor akan menemukan kita secepat itu?”Adrian menghela napas panjang. “Victor bukan orang yang mudah menyerah. Tapi sejauh ini, kita masih memiliki sedikit keunggulan.”Samantha menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, matanya menatap langit-langit. “Masalahnya, kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Kita harus berpikir bagaimana mengakhiri ini.”Keira menatap Samantha. Ia tahu perempuan itu benar. Mereka tidak bisa terus-menerus melarikan diri.“Lalu, apa rencanamu?” tanya Keira akhirnya.Adrian menatap Samantha sejenak sebelum menjawab. “Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita. Tapi k
Mobil melaju kencang di jalan berbatu, meninggalkan villa Victor yang kini sudah jauh di belakang mereka. Di dalam mobil, suasana terasa tegang.Keira duduk di kursi penumpang, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan Samantha yang masih menekan lukanya."Kau yakin baik-baik saja?" tanya Keira dengan nada khawatir.Samantha mengangguk pelan, meskipun wajahnya sedikit pucat. "Ini hanya luka ringan. Aku pernah mengalami yang lebih buruk," jawabnya, berusaha tetap tenang.Adrian tetap fokus pada jalan di depan. Tangannya erat menggenggam setir, memastikan mereka tidak tersesat atau masuk ke dalam perangkap."Kita harus segera menemukan tempat aman untuk bersembunyi," kata Adrian. "Victor pasti sudah menyebar anak buahnya untuk mencari kita."Keira menelan ludah. "Kau ada ide ke mana kita harus pergi?"Adrian terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku punya tempat di luar kota. Rumah kecil yang jarang dipakai. Itu cukup jauh dari sini dan aman."Keira mengangguk, mempercayai pen
Alarm terus berbunyi, memecah keheningan malam di villa Victor. Lampu merah berkedip-kedip di sepanjang koridor, menandakan bahwa mereka telah terdeteksi.Keira merasakan jantungnya berdetak begitu cepat saat ia, Adrian, dan Samantha berlari melewati lorong sempit, berusaha mencari jalan keluar."Ke arah sini!" bisik Samantha, menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong.Adrian menarik Keira, memastikan ia tetap dekat dengannya. "Jangan lepas tanganku," katanya tegas.Keira mengangguk, meskipun ketakutan mulai menyelimutinya.Begitu mereka mencapai pintu itu, Samantha dengan cepat mengeluarkan alat kecil dari sakunya dan mengutak-atik panel kunci elektronik di sebelahnya."Ayo cepat, Sam," bisik Keira, merasa waktu mereka semakin menipis.Langkah kaki para penjaga semakin mendekat. Mereka bisa mendengar suara perintah tegas melalui radio yang dibawa para penjaga.Klik.Pintu terbuka tepat pada waktunya.Mereka bertiga segera masuk dan menutup pintunya kembali dengan cepat. Ruangan y