Berbagai pikiran yang menghampiri Bonita tidak sanggup membuatnya tertidur walau berusaha memejamkan mata. Saat akhirnya dia membuka mata karena matanya terasa sangat perih, Velica sudah terlelap.
Dia menghela napas gusar dan mengambil ponsel yang tergeletak di dekatnya, tapi tidak ada satu pun kabar dari Benjamin hingga membuat luka di hatinya semakin menganga dan mulai terasa menyesakkan. Kini, berbagai perasaan buruk yang berkecamuk di dalam hatinya berubah menjadi ombak yang bergulung-gulung tanpa mampu dibendung.'Dia pasti sibuk, bukan? Sibuk bercinta.' Pikirnya putus asa.Dadanya berdenyut nyeri saat kata-kata itu muncul. Dia mampu membayangkan apa yang Benjamin dan model bernama Zayna itu lakukan seolah benar-benar sedang melihatnya di depan mata. Sesuatu yang bahkan belum pernah dilakukan olehnya dan Benjamin selama empat tahun menjalin hubungan. Namun, dia wanita dewasa. Dia tahu betul apa yang terjadi jika sepasang manusia sedang bercinta.'Sadarlah, Boo! Seharusnya kamu merelakannya pergi jika memang benar dia berselingkuh darimu! Tegarlah seperti ayahmu!' Hardik hatinya yang lemah.Beban yang menghampirinya bertambah. Batu yang mengendap entah sejak kapan mulai menghimpit keutuhan hatinya. Kepercayaan yang berusaha dia berikan pada seorang pria pupus hanya karena ada seorang wanita yang bersedia diajak berselingkuh.'Siapa yang harus aku salahkan? Bee karena berselingkuh dariku atau Zayna yang bersedia diajak berselingkuh? Atau ... aku karena tidak pernah memberi Bee kesempatan untuk bercinta denganku?'Pikiran Bonita masih berusaha menolak fakta Benjamin yang mengkhianati dirinya, tapi hatinya terlalu sakit membayangkan betapa kepercayaan yang selama ini dititipkan pada kekasihnya itu hancur begitu saja. Dia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa menitipkan kepercayaan seperti itu pada seorang pria dan hanya ada penyesalan yang tersisa pada dirinya saat ini.Wajah ibunya terbayang di kedua manik matanya. Wanita yang melahirkannya itu pergi bersama pria lain. Bonita masih ingat saat dia memanggil-manggil wanita itu agar tetap tinggal, tapi wanita itu mengabaikannya dan memilih pergi bersama pria brengsek yang bahkan namanya pun terlupakan dari ingatan.Mata Bonita dipaksa terpejam saat pikirannya semakin gusar. Dia ingin semua pikiran-pikiran buruk itu pergi. Namun, tetap terjaga dan saling bersahutan seperti dendang genderang perang.Alarm dari ponsel membuat Bonita membuka mata. Dia mematikan alarm dan beranjak ke wastafel untuk membasuh wajah. Saat dia kembali, Velica masih terlelap.Dia menulis pesan di selembar kertas dan meletakkannya di bawah ponsel milik Velica, lalu mengambil tas dan serangkaian kunci miliknya sebelum keluar kamar. Kakinya berjalan cepat menuju mobil untuk kembali ke hotel tempat Benjamin menginap. Dia memarkir mobil di depan restoran yang menjadi tempat makan malam bersama Velica kemarin dan memperhatikan semua orang yang lalu-lalang di depan hotel di seberang sana.Masih pagi sekali saat Bonita melihat pintu terpencil di sebuah sudut hotel yang semalam tidak disadari olehnya. Beberapa orang yang terlihat seperti staf kebersihan keluar-masuk dengan tergesa-gesa. Pintu itu tidak dijaga oleh siapapun dan sepertinya cukup aman untuk dimasuki.Bonita keluar dari mobil dan berjalan sejauh dua puluh meter ke arah kiri sebelum menyeberang. Dia mengikuti langkah dua orang wanita yang mengarah ke hotel dan menyelinap masuk ke pintu terpencil itu. Jantungnya berdetak kencang seirama dengan derap langkah kakinya menyusuri lorong hotel yang sepi.'Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak tahu di mana kamar mereka berada. Haruskah aku kembali ke mobil saja?'Tepat saat Bonita berpikir seperti itu, dia sampai di depan sebuah lift. Jarinya secara asal menekan tombol angka empat dan memasuki lift yang pintunya segera terbuka. Dia berniat melihat-lihat isi hotel dan akan pergi jika tidak ada tanda-tanda apapun dari Benjamin atau Zayna.Pintu lift tertutup dan kembali terbuka setelah sampai di lantai empat. Seorang pria berpakaian formal memberi salam pagi padanya saat berpapasan. Bonita membalas salam dengan canggung dan beranjak menjauh karena khawatir dikenali sebagai penyusup."Kenapa aku tidak bertanya padanya di mana kamar Zayna? Mungkin saja dia tahu." Desis Bonita saat menyadari kealpaannya.Bonita berdecak kesal untuk meratapi betapa bodoh dirinya seraya melangkahkan kaki melewati lorong dengan banyak pintu di kedua sisi. Di pintu itu ada berbagai nomor yang berurutan. Dia yakin ada Benjamin dan Zayna di salah satu kamar itu. Entah kamar dengan nomor berapa.Seorang wanita yang terlihat mabuk keluar dari kamar yang berjarak sekitar sembilan meter dari tempat Bonita berdiri. Mereka berpapasan di tengah jalan tanpa saling malempar tatap atau mengatakan apapun. Bonita melanjutkan langkah dan berbelok, lalu menemukan lorong lain dengan pintu-pintu di kedua sisinya. Lorong dengan pintu-pintu yang terlihat sama dengan lorong dan pintu lain sebelum ini.Bonita menghela napas keras karena merasa usahanya sia-sia dan berbalik ke arah datangnya beberapa saat lalu. Alih-alih menggunakan lift, dia turun menggunakan tangga darurat ke lantai tiga. Dia baru saja akan terus turun ke lantai dua saat mendengar suara pria yang dia kenali. Langkahnya terhenti untuk mendengarkan suara pria itu dengan seksama. Suara pria itu ringan dan terdengar lembut di telinganya."Berita tentang kita harus dikonfirmasi." Ujar pria itu penuh dengan nada tuntutan yang mendesak.Bonita yakin sekali itu suara Benjamin. Dia mengintip dengan menggeser tubuh sedikit ke arah lift berada. Dugaannya tepat. Benjamin sedang berdiri di depan lift dengan seorang wanita anggun dan seksi yang diketahui Bonita melalui foto bernama Zayna. Zayna sedang memeluk lengan Benjamin dan menyandarkan kepala di bahu Benjamin dengan tatapan manja seolah Benjamin miliknya. Pemandangan yang dilihat Bonita itu tiba-tiba terlihat menjijikkan.'Mereka benar-benar melakukannya. Mereka benar-benar bercinta, bukan?' Pikir Bonita dengan kebencian yang mulai tumbuh. Amarah menyambar melalui nadi ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya tegang dan terdiam untuk mencari kalimat apa yang paling cocok untuk mengutuk kedua pelaku selingkuh itu.Tepat saat Bonita akan membuka suara untuk menegur keduanya, mereka memasuki lift. Dia melangkahkan kaki dengan cepat untuk menghampiri mereka dan bertemu tatap dengan Benjamin saat pintu lift hampir saja tertutup sempurna.Benjamin melepas pelukan Zayna dari lengannya saat menyadari keberadaan Bonita, tepat saat Bonita berlari menuruni tangga darurat dengan hati hancur tanpa mampu mengatakan apapun. Niat untuk menyalurkan amarah pada Benjamin dan Zayna menguap begitu saja saat Bonita menyadari tatapan bersalah di mata Benjamin seolah tatapan bersalah itu merupakan pengakuan atas perbuatannya."Boo!" Teriak Benjamin seraya menjejalkan diri keluar dari lift yang dipaksa terbuka tiba-tiba. Sial baginya karena pintu lift terbuka dengan sangat lambat. "Tunggu!""Sudahlah. Dia tidak akan mendengarkanmu." Ujar Zayna santai dengan tangan menggapai lengan Benjamin untuk kembali dipeluk olehnya.Benjamin menepis tangan Zayna. Dia berlari mengejar Bonita. Sayangnya langkah Bonita terlalu cepat untuk dikejar. Bonita tidak lagi peduli untuk menggunakan pintu yang mana. Rasa sakit di hatinya membuatnya tidak mampu berpikir jernih. Langkahnya menghampiri pintu utama dan keluar tanpa menoleh, dengan gaung suara Benjamin yang memanggil namanya berulang-ulang.Perasaan Bonita yang semula ragu, kini mantap dengan sendirinya. Dia akan meninggalkan Benjamin dan hidup sendiri selamanya. Satu-satunya hal yang terpatri di jiwanya sejak bertahun lalu, yang sempat terlupakan selama empat tahun, kini kembali padanya. Alasannya?Karena jika yang lain berniat pergi, maka yang lain harus merelakan. Seperti hubungan yang terjadi pada kedua orang tuanya.***Perjalanan panjang dari hotel dipenuhi dentam kencang berulang yang mengalir dari jantung ke seluruh tubuh, hingga membuat Bonita menggigil karena amarah. Sesampainya di rumah, dia meletakkan tas dan serangkaian kunci asal saja di tepi kolam renang, lalu mengempaskan tubuh ke dalam air yang menyilaukan mata. Masih terbayang di pelupuk matanya saat Benjamin dipeluk mesra oleh Zayna di dalam lift berjam-jam yang lalu. Dinginnya air kolam tidak mampu membuatnya berpikir jernih. Gigilan di tubuhnya bertambah. Amarahnya teraduk dengan rasa cemburu. Dia tidak mampu mengutarakan emosi macam apa yang sedang memenuhi jiwanya.Bagaimanapun kelihatannya di mata Bonita, di antara perasaannya yang berkecamuk hingga segalanya yang terlihat hanyalah abu-abu, Benjamin dan Zayna memang terlihat sangat serasi. Bonita sangat yakin mereka sepertinya sudah lama menjalin hubungan. Sepertinya kata-kata Benjamin saat menyebut Zayna sebagai teman lama —walau tanpa menyebut nama Zayna, memang merupakan kebenar
"Kamu baik-baik saja?" tanya Helga untuk yang kesekian kalinya.Bonita mengedikkan bahu. Dia terlalu malas untuk menjawab setelah diceramahi habis-habisan oleh ayahnya.Pagi tadi, Nolan datang ke bridal. Dia mengaku baru saja membebaskan Benjamin dari kurungan penjara sementara di kantor polisi. Bonita sudah menjelaskan apa yang terjadi, tapi Nolan tetap memintanya bicara baik-baik dibandingkan dengan memanggil polisi untuk mengusir Benjamin. Nolan berpendapat, bagaimanapun juga Benjamin bukan kriminal karena datang ke rumah dengan niat untuk meluruskan masalah.Di layar ponsel Bonita yang sedang digenggam olehnya saat ini terdapat berbagai gosip mengenai betapa dekatnya hubungan Benjamin dan model bernama Zayna Lott. Dua insan itu bermunculan di berbagai portal berita. Bahkan ada foto-foto di sebuah halaman majalah online yang memublikasikan mereka sebagai "pasangan kekasih baru paling panas".Bonita berdecak kesal dengan dada bergemuruh. Ponselnya dihempaskan asal saja ke arah meja.
"Aku manusia. Sama sepertimu. Mea hanya bercanda." Sela Benjamin seraya bangkit dan menarik lengan Zayna untuk duduk di salah satu kursi yang ada. "Kamu baru pindah? Aku dengar ibuku bicara dengan seorang wanita semalam. Mungkin itu ibumu karena aku sempat mendengar wanita itu berkata dia pindah bersama dengan suami dan anak gadisnya."Zayna mengangguk ragu. Dia memang duduk bersama mereka, tapi ada perasaan takut saat menatap Benjamin. Dia masih menganggap Benjamin mungkin saja memang hantu atau makhluk yang hanya ada di dalam khayalannya."Apakah kamu anak tunggal?" tanya Mea dengan nada suara bergelombang yang manis.Zayna mengangguk seraya menggeser duduk agar tidak terlalu dekat dengan Benjamin. Mea yang memperhatikan Zayna tersenyum karena memiliki sesuatu di dalam benaknya yang tidak seharusnya dilakukan, tapi rasa penasarannya mampu mengalahkan akal."Jangan ganggu Zayna. Dia tidak menyukaimu." Ujar Mea pada Benjamin seraya mengamit satu batang bunga liar dari sekian banyak yan
Ucapan Zayna menjadi kenyataan hanya dalam waktu hitungan jam. Saat Benjamin datang ke toko perlengkapan petualang miliknya setelah bertemu Zayna, ada beberapa pelanggan baru yang sengaja menunggu agar bisa menemuinya dan mengajaknya berbincang."Aku baru tahu ada toko selengkap ini di area ini. Aku akan ke sini lagi dan mengajak teman-temanku yang lain." Ujar Hugo yang marupakan salah seorang pelanggan baru Benjamin."Aku akan menunggu kedatangan kalian. Kim akan membantu kalian mendapatkan semua barang yang kalian butuhkan jika aku sedang tidak berada di sini." Ujar Benjamin dengan mata melirik pada Kimberly yang sedang berkutat di dekat kasir."Sebetulnya aku penasaran apakah bisa bertemu dengan Zayna. Dia anggun sekali dan sangat seksi." Sela Ressa dengan tatapan berbinar.Hugo menyikut lengan Ressa hingga Ressa tersenyum canggung, tapi tatapannya tidak mampu menyembunyikan kenyataan bahwa dia memang ingin sekali bertemu Zayna. Jika bertemu, dia ingin mencuri kesempatan agar bisa m
Helga dan Bonita menghabiskan makan malam ditemani musik klasik yang mengalun dari gramofon antik peninggalan kakek Helga. Keheningan dilatari alunan musik seolah sedang memuntahkan petuah lama tanpa kata. Mengusik jiwa yang gelisah dengan nada rendah yang mendayu dan bergema."Salad buatanmu enak, Boo." Ujar Helga untuk membuka percakapan.Bonita mengangguk singkat seraya membereskan piring bekas makan menjadi tumpukan rapi di tengah meja. Empat tahun menjadi kekasih Benjamin membuatnya cukup menguasai banyak resep makanan khusus vegetarian. Salad merupakan resep yang paling mudah dibuat. Benjamin yang memberitahu berbagai resep salad yang sebelumnya belum pernah dibuat olehnya. Benjamin bahkan pernah berkata jika suatu hari Bonita membuka kedai makanan, maka kedai itu pasti ramai sekali oleh pengunjung."Kamu mungkin tahu kenapa aku mengajakmu menginap.""Aku tahu. Aku hanya tidak berminat membahasnya. Aku tidak tahu apa yang dulu membuatmu membantunya dekat denganku, tapi apapun itu
Empat setengah tahun yang lalu, Bonita datang ke pesta di sebuah kafe karena Velica memaksanya ikut. Dia merasa sangat bosan karena hanya Velica satu-satunya orang yang dikenalnya di tempat itu, maka dia pamit ke toilet seorang diri untuk mendapatkan sedikit ruang.Dia menerima pesan di ponsel sebelum sampai di toilet. Nolan memintanya menjaga diri dan menyemprotkan cairan merica pada mata pria manapun yang berniat buruk, juga menendang bagian vitalnya jika memungkinkan.Dua wanita di depan cermin besar sedang berbincang tentang seorang pria yang namanya tidak diperhatikan Bonita saat masuk ke area toilet wanita. Bonita tidak mengenal keduanya, itu sebabnya dia berlalu dan masuk ke salah satu kubik toilet yang kosong. Bonita baru saja memasukkan ponsel ke saku cardigan yang kebesaran saat mendengar teriakan histeris yang terkesan genit dari luar, yang sebetulnya lebih mirip dengan lengkingan dua ekor hyena yang menusuk telinga.'Selalu saja ada teriakan saat membicarakan pria seolah me
"Kita hanya membutuhkan setengah dari ini. Jangan terlalu boros. Ada banyak kain menumpuk di gudang." Ujar Bonita melalui telepon dengan ayahnya karena baru saja mendapat kiriman tujuh lusin roll kain berbagai jenis dan warna."Kain-kain itu sedang diskon, Boo. Aku hanya membayar dua-pertiga harga aslinya." Ujar Nolan yang bersuara hangat di ujung sana. "Bagaimana denganmu dan Jeremy? Kalian tidak membakar rumah selama aku pergi, bukan?""Jeremy menggangguku sepanjang hari dan membuatku membereskan semua kegaduhan yang dibuat bersama teman-temannya di rumah." Desis Bonita seraya menatap ke luar etalase bridal —ke arah parkiran, lalu tersenyum pada sepasang pelanggan yang melambai padanya dari dalam mobil yang akan beranjak pergi."Kakakmu sebentar lagi menikah. Bersabarlah dengannya.""Andai aku tidak bersabar dengannya mungkin aku sudah pindah ke apartemen dan hidup sendiri.""Jeremy akan pindah setelah menikah dengan Melissa. Kamu pasti akan merindukannya nanti. Dia bersikap seperti
Berjam-jam berlalu setelah Bonita pergi dengan wajah masam dari bridal, tatapan Bonita yang memindai Benjamin masih terbayang jelas di pelupuk mata pria itu. Ada sesuatu yang tidak biasa dari tatapan Bonita yang tiba-tiba membuat Benjamin jatuh cinta pada pandangan pertama dua minggu yang lalu, tapi Benjamin tidak yakin bagaimana harus menjabarkan perasaan. Benjamin tahu tatapan itu berbeda dengan tatapan sosok gadis kecil di dalam pigura yang sedang dia tatap saat itu, walau keduanya orang yang sama."Boleh aku menyimpan yang ini?" tanya Benjamin tiba-tiba. Dia menenteng foto berpigura yang sebelumnya terpajang di meja sudut seraya berjalan ke sofa ruang keluarga, lalu duduk di seberang Jeremy dan Melissa. Itu pertama kalinya dia berkunjung dan rumah itu meninggalkan kesan hangat di hatinya sejak pijakan pertama. "Boo akan mengutukmu jika mengambil miliknya tanpa seizinnya." Tegur Melissa yang duduk bersebelahan dengan Jeremy."Adikku sangat sulit ditaklukkan. Menyerah sajalah." Ujar
Bermandi peluh dalam kenikmatan yang tidak terelakkan membuat Bonita dan Benjamin lupa segala yang terjadi di luar campervan. Sudah tidak terhitung berapa kali Jeremy mencoba menelepon pengantin baru yang menghilang di acara pernikahannya sendiri. Padahal dia sudah jauh-jauh datang mengitari setengah dunia demi menghadiri acara sakrat adiknya yang selalu bersikap seenaknya."Sudahlah, biarkan mereka berdua. Tidak akan terjadi apa-apa." Ujar Melissa yang mencoba membuat kemarahan Jeremy reda seraya menepuk punggung anak laki-laki mereka yang bernama Julian yang berada di pelukannya. "Bahkan jika terjadi sesuatu, mereka akan menemukan cara menyelesaikannya."Jeremy melirik ke arah Edith yang tersenyum simpul di sudut resort yang disewa sebagai tempat menginap selama menyiapkan acara pernikahan. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan ibunya, perasaan benci yang dulu menggerogoti hatinya perlahan pudar."Edith tidak akan khawatir. Boo sudah membuktikan dirinya pantas berkeliling dunia
Cumbuan dalam dan hangat terjalin di antara sepasang suami istri yang baru saja menikah di altar yang dibangun di area air terjun yang dikelilingi kabut tipis. Keluarga dan sahabat kedua mempelai bersorak riang saat menyaksikan dua sejoli itu akhirnya bersatu dalam cinta setelah perjalanan panjang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dan jarak jauh hingga mengelilingi dunia.Hanya ada belasan orang di tengah dinginnya hawa pegunungan termasuk pengantin. Tempat yang tidak lazim untuk mengadakan pesta pernikahan tentu saja, tapi apapun akan dilakukan agar Bonita dan Benjamin yang sudah lama menjalin hubungan dalam ketidakpastian mampu melangkah ke jenjang pernikahan.Gaun dan jas yang dipakai mempelai pengantin merupakan gaun dan jas yang sudah mereka miliki sejak lama. Dekorasi altar pernikahan dibuat sederhana menggunakan bunga dan tanaman pohon lokal yang berada di sekitar lokasi pernikahan. Velica dan Melissa yang menyiapkannya selama beberapa hari. Sedangkan hidangan hangat yang m
"Hentikan!" Tegur Bonita.Tawa Benjamin menggema di dinding batu. Poin-poin yang dituliskan Bonita sebagian besar masuk akal, walau ada poin yang menurutnya konyol, "Kamu yakin ingin tahu tentang itu? Kamu mungkin akan cemburu.""Aku tidak akan cemburu selama kamu jujur padaku. Aku tidak akan cemburu pada yang hal-hal sudah berlalu.""Baiklah." Ujar Benjamin seraya menggenggam tangan Bonita dan mengajaknya duduk di sofa. Tatapannya terpaku pada wanita yang paling bersinar di matanya itu, "Hanya agar segalanya jelas, apakah ini artinya aku diterima menjadi kekasihmu lagi?""Selama kamu memenuhi semua poin di kertas itu ..., maka: ya."Kecupan yang mendarat di bibir Bonita membuatnya terkejut dan canggung. Dia belum sempat berpikir lebih baik saat Benjamin meraih wajahnya seraya menggeser tubuh lebih dekat pada kekasih hatinya itu. Perlahan, Benjamin memimpin kecupan hingga berubah menjadi cumbuan lembut. Belum terbiasa bercumbu setelah bertahun-tahun berlalu, Bonita berusaha menyamakan
"Itu benar." Ujar Bonita dengan wajah tertunduk. Dia sudah memikirkan hal itu jutaan kali. Keputusan membatalkan pernikahan memang bukan hanya karena Mea. "Aku pergi mencari ibuku di hari seharusnya kita berkencan —di hari kamu bertemu Mea. Ibuku memberitahu semua yang terjadi dengan hubungannya dengan ayahku. Aku memang mencintaimu, tapi ... kupikir mungkin lebih baik jika aku kembali memikirkan apa landasanku jatuh cinta. Aku tidak tahu apakah cintaku padamu murni atau karena aku mencintai ide tentang jatuh cinta seperti yang dulu ibuku rasakan pada Frans."Angan Benjamin yang awalnya melayang, ditebas hingga roboh. Dia sadar harapannya masih ada, tapi alasan Bonita membatalkan pernikahan mereka membuatnya merasa hampa."Jujur saja, aku ragu apakah kamu benar-benar mencintaiku. Mencintai seseorang pada pandangan pertama terasa sangat sulit untuk kupercayai. Saat mengetahui tentang Mea, kupikir kamu hanya mencintaiku karena aku mungkin mirip dengannya.""Kalian sangat berbeda." Jelas
Semua jendela di rumah batu milik keluarga Tristan berteralis hingga membuat Bonita menyerah untuk kabur. Dia sudah mencari setiap sudut rumah yang sekiranya bisa dibuka, tapi tidak ada jalan untuk keluar. Dia sudah meminta tolong pada orang-orang yang lewat melalui jendela, tapi mereka semua mengabaikannya seolah tidak ingin memiliki masalah karena membantu tahanan.Bulan sabit muncul dengan cepat. Bonita memilih bersabar menunggu Tristan esok hari dan akan membuat perhitungan dengan pria itu karena menyekapnya bersama Benjamin walau perkataan Tristan tentang makanan dan kamar benar adanya.Benjamin sudah mandi dan berganti dengan pakaian yang ditemukannya dari dalam lemari. Dia meminta Bonita untuk mandi dan berganti pakaian sementara dia menghangatkan makanan yang ada di dalam kulkas, tapi Bonita terlalu kesal untuk menurut saat melihat semua pakaian wanita di lemari hanyalah gaun tidur seksi.Anting berlian dan gaun putih berenda masih membalut tubuh Bonita yang berbaring di tempat
"Apakah kamu sedang menggunakan metode yang sama seperti saat kamu meminta dekorasi bunga kesukaan Mea untuk tema pernikahan kita?" tanya Bonita dengan tatapan miris.Pertanyaan Bonita membuat tubuh Benjamin membeku. Dia tidak menyangka Bonita menaruh perhatian pada bunga itu hingga masih mengingatnya setelah bertahun-tahun berlalu."Kukira aku sudah menuliskan dengan jelas bahwa aku tidak sudi menjadi pengganti bagi wanita manapun.""Kamu tidak pernah menjadi pengganti wanita manapun, Boo.""Jangan!" Teriak Bonita penuh amarah seraya menunjuk ke wajah Benjamin. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu menyebutku seperti itu!""Baiklah. Akan kukatakan sekali lagi agar kamu mengerti. Kamu tidak pernah menjadi pengganti bagi wanita manapun, Bonita."Ujung jari Bonita terasa seolah terkena aliran listrik saat Benjamin menyebutkan namanya. Dia menurunkan telunjuknya dan menyilangkan lengan di depan dada untuk melindungi diri dari serangan yang mungkin
"Aku tidak memercayai ramalan.""Hidupmu pasti membosankan." Celoteh Tristan dengan langkah menjauh. Dia mengeluarkan ponsel dari saku dan menerima telepon dengan mata bersinar. "Aku akan mengantarnya. Tunggu saja di sana dan siapkan penampilan terbaikmu.""Kamu bekerja untuk teater?" tanya Bonita asal saja karena menganggap penampilan yang Tristan sebutkan ada hubungannya dengan itu.Tristan tertawa seraya mengembalikan ponsel ke saku, "Tidak. Aku memiliki perkebunan buah di daerah barat. Dekat dengan tempat tinggal ibuku.""Wah, aku merasa tersanjung karena mengenal orang penting." Ujar Bonita dengan senyum simpul."Percuma saja karena kamu sudah menolak ajakan kencanku.""Haruskah aku menyesal?" sindir Bonita."Seharusnya ya, tapi tidak. Kamu sudah memiliki kekasih. Aku tidak akan merebut wanita manapun demi kesenangan pribadi."Bonita menatap Tristan lekat, "Aku bisa mengenalkanmu dengan Velica. Dia sahabatku. Dia sudah lama melajang sejak sebelum aku berkeliling dunia. Tertarik un
"Itu kekasihmu?" tanya pria asing itu dengan tatapan tertambat pada foto di samping kemudi campervan Bonita. Ingatan pria itu timbul tenggelam saat mencoba kembali menatap wajah Bonita lebih serius.Bonita tidak menanggapi. Dia tahu foto yang dimaksud pria asing itu merupakan foto Benjamin. Foto itu memang sudah lama tertempel di sana."Lupakan candaanku tentang menjadi kekasihmu. Aku tidak bersungguh-sungguh.""Aku tidak akan menerima ajakan kencanmu walaupun kamu bersungguh-sungguh.""Tenang saja, aku tidak akan menghitung makan siang yang kutawarkan tadi sebagai kencan. Restoran itu berjarak dua jam dari sini, tapi sebaiknya kamu memiliki pakaian yang sedikit pantas untuk makan di tempat yang berkelas."Bonita tersenyum lebar, "Kurasa ini saat yang tepat untuk memakai gaun kesukaanku lagi.""Kamu memiliki gaun?" tanya pria asing itu dengan sudut mata memicing."Tentu saja. Sebetulnya aku mewarisi bridal keluarga. Aku berpakaian seperti ini," ujar Bonita seraya menunjuk kaus dan cela
Minggu, bulan, tahun demi tahun berganti. Keinginan Benjamin untuk menemukan Bonita tidak pernah surut. Dia sudah benar-benar melupakan Mea. Di hatinya hanya ada Bonita. Wanita-wanita lain yang menggodanya selama di perjalanan mencari mantan tunangannya bahkan tidak ada seorang pun yang mampu membuat hatinya berpaling walau hanya seperseribu detik.Satu yang dipelajari Benjamin dari petualangan mencari kekasih hatinya, yaitu dia yakin mereka akan dipertemukan di saat yang lebih tepat. Itu sebabnya dia bersabar dengan apapun yang terjadi di hidupnya. Jika memang harus menempuh dunia ratusan keliling pun, dia sanggup asalkan pada akhirnya dia bisa bertemu dengan Bonita.Namun, Benjamin tidak tahu Bonita menghindari tempat-tempat yang pernah mereka bahas bersama. Bonita lebih memilih pergi ke tempat lain sementara Benjamin mencarinya di tempat-tempat yang dulu pernah menjadi calon destinasi bulan madu mereka. Benjamin menatap kanguru dari kejauhan di Australia, saat Bonita berpesta deng