Perjalanan panjang dari hotel dipenuhi dentam kencang berulang yang mengalir dari jantung ke seluruh tubuh, hingga membuat Bonita menggigil karena amarah. Sesampainya di rumah, dia meletakkan tas dan serangkaian kunci asal saja di tepi kolam renang, lalu mengempaskan tubuh ke dalam air yang menyilaukan mata.
Masih terbayang di pelupuk matanya saat Benjamin dipeluk mesra oleh Zayna di dalam lift berjam-jam yang lalu. Dinginnya air kolam tidak mampu membuatnya berpikir jernih. Gigilan di tubuhnya bertambah. Amarahnya teraduk dengan rasa cemburu. Dia tidak mampu mengutarakan emosi macam apa yang sedang memenuhi jiwanya.Bagaimanapun kelihatannya di mata Bonita, di antara perasaannya yang berkecamuk hingga segalanya yang terlihat hanyalah abu-abu, Benjamin dan Zayna memang terlihat sangat serasi. Bonita sangat yakin mereka sepertinya sudah lama menjalin hubungan. Sepertinya kata-kata Benjamin saat menyebut Zayna sebagai teman lama —walau tanpa menyebut nama Zayna, memang merupakan kebenaran.Muncul ide bagaimana jika dia menenggelamkan diri saja dan mati di kolam itu? Mungkin akan menyenangkan saat tahu Benjamin menangisi kematiannya. Namun, akan sangat menyedihkan jika tidak, karena Benjamin sudah memiliki wanita lain yang jauh lebih baik darinya.Bonita mengeluarkan kepala di permukaan air dan menghirup udara dengan rakus. Dia menatap matahari yang menggantung tinggi. Silau sekali hingga limpahan cahaya matahari seolah menamparnya tanpa ampun.'Bee membuatmu silau hingga kamu memberinya kepercayaan yang tidak perlu. Coba kamu lihat apa yang dia lakukan pada kepercayaanmu yang berharga itu! Mungkin sebaiknya kamu memang tidak perlu dekat dengan pria manapun hingga ajal menjemputmu, Boo.' Pikiran memuakkan itu muncul tanpa disadari Bonita.Decak kesal menghantarkan riak air di sekeliling tubuhnya yang mengapung di permukaan. Dia memejamkan mata dan yang terbayang di pelupuk matanya masih sama. Sosok Benjamin yang dipeluk mesra oleh wanita anggun dan seksi —yang kecantikannya tidak akan mampu dikalahkan oleh wanita manapun yang dikenalnya, bahkan termasuk dirinya, membuat hatinya dipenuhi sengatan panas yang menyesakkan.Dia tahu dia cemburu. Tahu dengan jelas bahwa dia marah. Namun, tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibirnya karena kekesalannya telah mengunci semua kata yang mungkin terungkap.'Zayna sangat cantik. Pria mana yang tidak luluh pada tubuhnya yang seksi? Dibandingkan dengan wajah dan tubuh sepertiku. Aku kalah telak darinya. Kurasa ... ini saat hubunganku dan Bee berakhir.'Pikiran untuk menyerah datang begitu saja seiring helaan napas yang membuat hati Bonita hampa. Jenis kehampaan yang menyebarkan rasa sakit yang tidak mungkin sembuh dalam waktu dekat.Suara telepon berdering dari ponsel yang tergeletak sembarangan di tepi kolam renang menyadarkan lamunannya. Dia tahu telepon siapa itu karena nada deringnya berbeda dengan yang lainnya.Entah sudah berapa kali Benjamin meneleponnya sejak mereka bertemu tatap di depan lift. Bonita tidak sedikit pun berniat menerimanya. Bagi Bonita segalanya sudah jelas saat menemukan tatapan bersalah dari Benjamin di hotel berjam-jam yang lalu. Rasa sakit di hatinya yang sejak kemarin tidak beranjak pergi, terasa semakin lebar dan dia membiarkan rasa sakit itu menenggelamkannya dalam derita.Bulir air panas lolos dari sela matanya bercampur dengan air dingin di kolam renang. Dia membiarkan tubuhnya terapung di atas air dan berniat tetap seperti itu sepanjang hari. Setidaknya tidak akan ada yang mengganggunya di rumah yang hanya ada dirinya sendiri karena Nolan sedang berada di luar negeri.Dering telepon berhenti dan kembali terdengar sesaat kemudian. Bonita tidak lagi peduli pada siapa yang menelepon. Dia berniat tidak akan menerima satu pun telepon hari itu. Dia sudah memberi Velica pesan di perjalanan pulang dan berkata akan pergi menyendiri di kota lain untuk sementara waktu.Matahari semakin terik dan menyilaukan mata. Walau ada banyak awan mendung tebal berwarna kecoklatan di sekelilingnya, bahkan memejamkan mata pun tidak sanggup menghalau sinar yang menusuk retina.Bonita kembali menyelam dan berenang ke tepi. Dia membiarkan semua barang-barangnya tergeletak di tempatnya, lalu masuk ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Dia beranjak ke dapur untuk mengisi perut dengan selembar roti dan setengah gelas jus blueberry hanya agar Nolan tidak melakukan ceramah panjang mengenai kesehatan lambung jika tahu Bonita melewatkan waktu makan.Dia baru saja akan kembali ke kamar saat menyadari hujan turun. Kakinya melangkah malas untuk mengambil tas dan serangkaian kunci yang tergeletak di tepi kolam renang. Alih-alih kembali ke kamar, dia meletakkan semuanya di kursi teras belakang yang terlindung oleh atap. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan duduk di kursi yang kosong. Ada puluhan telepon dari Benjamin, juga beberapa telepon dari Velica dan Melissa sang kakak ipar. Dia memberi kakak iparnya panggilan telepon yang segera diterima."Kamu berada di mana, Boo?""Aku masih hidup. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku." Jawab Bonita malas karena suara panik Melissa yang menusuk telinga Bonita terdengar memuakkan."Benj ….""Aku tidak ingin membahasnya. Katakan padanya aku tidak ingin lagi bertemu dengannya. Kurasa hubungan kami saat ini sudah cukup jelas. Itu saja." Ujar Bonita yang langsung memutus sambungan telepon. Dentam di jantungnya masih saja kencang dan gelisah. Gemuruh di dadanya yang sempat hilang setelah mandi, kini datang lagi. Dia menatap air hujan yang turun tanpa mengatakan apapun dan membiarkan waktu berlalu hingga siang berganti malam. Pikirannya terus berkutat dengan semua ide gila yang tidak mungkin terlaksana.Lelah dengan segalanya membuat Bonita memaksa tubuh bangkit dan memutuskan kembali ke kamar. Dia meletakkan barang-barangnya di meja, lalu merebahkan tubuh di tempat tidur. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang gemetar karena amarah. Pada akhirnya dia memejamkan mata karena merasa sangat lelah dengan perasaannya sendiri. Mimpi buruk mengganggu Bonita. Dia berlari tanpa arah untuk menemukan jalan keluar. Rasa takut menghantuinya. Bahkan keringat akibat berlari di dalam mimpi membuat tubuhnya yang terbalut selimut menjadi basah. Entah berapa lama dia tertidur sebelum terbangun dengan sebuah elusan di pipinya."Bangunlah, Boo. Ayo, kita bicara."Bonita tahu pemilik suara siapa itu hingga begitu saja mendorong tubuh itu menjauh darinya sebelum membuka mata. Dia merasa sangat marah hingga langsung melayangkan tatapan benci setelah matanya terbuka."Aku bisa menjelaskan semuanya." Tawar Benjamin yang berusaha menghindar dari tangan Bonita yang berusaha mendorongnya menjauh."Aku tidak butuh penjelasan darimu! Pergi sekarang atau aku akan memanggil polisi untuk mengusirmu!" Teriak Bonita seraya bangkit dan terus mendorong tubuh Benjamin agar keluar dari kamarnya."Dengarkan aku.""Apakah kamu tuli? Aku tidak ingin mendengar apapun! Pergi dan jangan ganggu aku! Hubungan kita selesai di sini!" Teriak Bonita setelah berhasil mendorong tubuh Benjamin keluar dari kamar yang pintunya terbuka. Dia segera menutup pintu dan menguncinya. "Pergi dari sini atau aku akan menelepon polisi!!""Boo, dengarkan aku." Nada memohon dari suara Benjamin yang gemetar di luar kamar terdengar jelas.Bonita mengabaikan permohonan Benjamin dan kembali meringkuk di tempat tidur. Kali ini dengan bantal yang menutupi telinga untuk menghalau suara walau percuma.'Bagaimana dia bisa masuk ke rumah ini? Aku yakin sudah mengunci gerbang dan pintu depan. Apakah ayah atau Jeremy sudah pulang? Atau dia mengendap melalui dinding pembatas?' pikir Bonita panik.Benjamin terus memanggil nama Bonita seraya mengetuk pintu, hingga permintaannya yang meminta Bonita keluar untuk bicara terasa sangat mengganggu. Bahkan jika Benjamin tidak mengatakan apapun, keberadaannya di rumah itu sudah sangat mengganggu Bonita.Bonita berdecak kesal dengan kebencian membuncah di dalam hatinya, "Aku tidak ingin bicara denganmu! Aku melihatmu dengan wanita itu. Model itu menempel seperti seekor ular padamu! Aku tahu semalam kalian menginap di kamar yang sama! Kamu tidak akan bisa membohongiku!""Aku bisa menjelaskan semuanya.""Pergi atau aku akan benar-benar menelepon polisi!!""Boo, dengarkan ....""Aku tidak akan mendengarkanmu! Aku sudah memberimu kepercayaan dan kamu menghancurkannya! Kamu berkata padaku akan membantu teman lama, tapi yang kamu lakukan hanyalah tidur dengan wanita itu!""Boo, beri aku kesempatan untuk bicara. Zayna memang teman lamaku dan aku sedang membantunya. Aku tidak berbohong padamu.""Membantu apa hingga kalian harus menginap di kamar yang sama? Kamu pikir aku bodoh?" Teriak Bonita yang tidak lagi memakai bantal untuk menghalau suara Benjamin dari telinganya."Kita bisa membicarakan ini tanpa harus berteriak, Boo. Buka pintunya dan aku akan memberitahu kamu semua yang terjadi.""Aku tidak ingin bicara denganmu! Semua yang kulihat pagi ini sudah cukup untuk menjelaskan semuanya! Pergi dan jangan ganggu aku! Aku membencimu!"Benjamin menghela napas dan terduduk dengan punggung bersandar pada pintu, "Aku akan menunggu. Aku akan memberi kamu waktu untuk menenangkan diri, tapi kita perlu bicara. Kamu harus mendengarkan penjelasanku."Bonita mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan menelepon polisi. Dia memberi laporan dengan suara berbisik bahwa ada seorang pria memasuki rumahnya tanpa izin. Setengah jam kemudian tiga orang polisi datang dan membawa paksa Benjamin bersama mereka. Bonita berkata pada polisi itu bahwa dirinya baik-baik saja walau tidak bersedia membuka pintu kamar hingga mereka benar-benar pergi pada akhirnya.Kini, hanya tinggal Bonita seorang diri dengan hati terluka. Pengkhianatan datang setelah pertama kali mencoba memberi kepercayaan pada seorang pria. Dia membenci dirinya sendiri karena hatinya terlalu mudah luluh pada perhatian yang terlihat tulus.Ada yang terasa salah di hati Bonita. Ada sesuatu yang terasa tidak pada tempatnya. Dia terus berpikir apakah terlalu berlebihan memanggil polisi untuk mengusir Benjamin dari rumahnya? Apakah dia bersikap terlalu kejam karena tidak memberi Benjamin kesempatan untuk bicara?Namun, ada satu hal yang sangat jelas. Benjamin dan Zayna tidak mungkin tidak melakukan apapun saat menginap di satu kamar yang sama. Empat tahun menjalin hubungan dan merasa sudah mengetahui semua sifat Benjamin ternyata berakhir sia-sia. Hubungan mereka hanya bertahan sampai di sana.***"Kamu baik-baik saja?" tanya Helga untuk yang kesekian kalinya.Bonita mengedikkan bahu. Dia terlalu malas untuk menjawab setelah diceramahi habis-habisan oleh ayahnya.Pagi tadi, Nolan datang ke bridal. Dia mengaku baru saja membebaskan Benjamin dari kurungan penjara sementara di kantor polisi. Bonita sudah menjelaskan apa yang terjadi, tapi Nolan tetap memintanya bicara baik-baik dibandingkan dengan memanggil polisi untuk mengusir Benjamin. Nolan berpendapat, bagaimanapun juga Benjamin bukan kriminal karena datang ke rumah dengan niat untuk meluruskan masalah.Di layar ponsel Bonita yang sedang digenggam olehnya saat ini terdapat berbagai gosip mengenai betapa dekatnya hubungan Benjamin dan model bernama Zayna Lott. Dua insan itu bermunculan di berbagai portal berita. Bahkan ada foto-foto di sebuah halaman majalah online yang memublikasikan mereka sebagai "pasangan kekasih baru paling panas".Bonita berdecak kesal dengan dada bergemuruh. Ponselnya dihempaskan asal saja ke arah meja.
"Aku manusia. Sama sepertimu. Mea hanya bercanda." Sela Benjamin seraya bangkit dan menarik lengan Zayna untuk duduk di salah satu kursi yang ada. "Kamu baru pindah? Aku dengar ibuku bicara dengan seorang wanita semalam. Mungkin itu ibumu karena aku sempat mendengar wanita itu berkata dia pindah bersama dengan suami dan anak gadisnya."Zayna mengangguk ragu. Dia memang duduk bersama mereka, tapi ada perasaan takut saat menatap Benjamin. Dia masih menganggap Benjamin mungkin saja memang hantu atau makhluk yang hanya ada di dalam khayalannya."Apakah kamu anak tunggal?" tanya Mea dengan nada suara bergelombang yang manis.Zayna mengangguk seraya menggeser duduk agar tidak terlalu dekat dengan Benjamin. Mea yang memperhatikan Zayna tersenyum karena memiliki sesuatu di dalam benaknya yang tidak seharusnya dilakukan, tapi rasa penasarannya mampu mengalahkan akal."Jangan ganggu Zayna. Dia tidak menyukaimu." Ujar Mea pada Benjamin seraya mengamit satu batang bunga liar dari sekian banyak yan
Ucapan Zayna menjadi kenyataan hanya dalam waktu hitungan jam. Saat Benjamin datang ke toko perlengkapan petualang miliknya setelah bertemu Zayna, ada beberapa pelanggan baru yang sengaja menunggu agar bisa menemuinya dan mengajaknya berbincang."Aku baru tahu ada toko selengkap ini di area ini. Aku akan ke sini lagi dan mengajak teman-temanku yang lain." Ujar Hugo yang marupakan salah seorang pelanggan baru Benjamin."Aku akan menunggu kedatangan kalian. Kim akan membantu kalian mendapatkan semua barang yang kalian butuhkan jika aku sedang tidak berada di sini." Ujar Benjamin dengan mata melirik pada Kimberly yang sedang berkutat di dekat kasir."Sebetulnya aku penasaran apakah bisa bertemu dengan Zayna. Dia anggun sekali dan sangat seksi." Sela Ressa dengan tatapan berbinar.Hugo menyikut lengan Ressa hingga Ressa tersenyum canggung, tapi tatapannya tidak mampu menyembunyikan kenyataan bahwa dia memang ingin sekali bertemu Zayna. Jika bertemu, dia ingin mencuri kesempatan agar bisa m
Helga dan Bonita menghabiskan makan malam ditemani musik klasik yang mengalun dari gramofon antik peninggalan kakek Helga. Keheningan dilatari alunan musik seolah sedang memuntahkan petuah lama tanpa kata. Mengusik jiwa yang gelisah dengan nada rendah yang mendayu dan bergema."Salad buatanmu enak, Boo." Ujar Helga untuk membuka percakapan.Bonita mengangguk singkat seraya membereskan piring bekas makan menjadi tumpukan rapi di tengah meja. Empat tahun menjadi kekasih Benjamin membuatnya cukup menguasai banyak resep makanan khusus vegetarian. Salad merupakan resep yang paling mudah dibuat. Benjamin yang memberitahu berbagai resep salad yang sebelumnya belum pernah dibuat olehnya. Benjamin bahkan pernah berkata jika suatu hari Bonita membuka kedai makanan, maka kedai itu pasti ramai sekali oleh pengunjung."Kamu mungkin tahu kenapa aku mengajakmu menginap.""Aku tahu. Aku hanya tidak berminat membahasnya. Aku tidak tahu apa yang dulu membuatmu membantunya dekat denganku, tapi apapun itu
Empat setengah tahun yang lalu, Bonita datang ke pesta di sebuah kafe karena Velica memaksanya ikut. Dia merasa sangat bosan karena hanya Velica satu-satunya orang yang dikenalnya di tempat itu, maka dia pamit ke toilet seorang diri untuk mendapatkan sedikit ruang.Dia menerima pesan di ponsel sebelum sampai di toilet. Nolan memintanya menjaga diri dan menyemprotkan cairan merica pada mata pria manapun yang berniat buruk, juga menendang bagian vitalnya jika memungkinkan.Dua wanita di depan cermin besar sedang berbincang tentang seorang pria yang namanya tidak diperhatikan Bonita saat masuk ke area toilet wanita. Bonita tidak mengenal keduanya, itu sebabnya dia berlalu dan masuk ke salah satu kubik toilet yang kosong. Bonita baru saja memasukkan ponsel ke saku cardigan yang kebesaran saat mendengar teriakan histeris yang terkesan genit dari luar, yang sebetulnya lebih mirip dengan lengkingan dua ekor hyena yang menusuk telinga.'Selalu saja ada teriakan saat membicarakan pria seolah me
"Kita hanya membutuhkan setengah dari ini. Jangan terlalu boros. Ada banyak kain menumpuk di gudang." Ujar Bonita melalui telepon dengan ayahnya karena baru saja mendapat kiriman tujuh lusin roll kain berbagai jenis dan warna."Kain-kain itu sedang diskon, Boo. Aku hanya membayar dua-pertiga harga aslinya." Ujar Nolan yang bersuara hangat di ujung sana. "Bagaimana denganmu dan Jeremy? Kalian tidak membakar rumah selama aku pergi, bukan?""Jeremy menggangguku sepanjang hari dan membuatku membereskan semua kegaduhan yang dibuat bersama teman-temannya di rumah." Desis Bonita seraya menatap ke luar etalase bridal —ke arah parkiran, lalu tersenyum pada sepasang pelanggan yang melambai padanya dari dalam mobil yang akan beranjak pergi."Kakakmu sebentar lagi menikah. Bersabarlah dengannya.""Andai aku tidak bersabar dengannya mungkin aku sudah pindah ke apartemen dan hidup sendiri.""Jeremy akan pindah setelah menikah dengan Melissa. Kamu pasti akan merindukannya nanti. Dia bersikap seperti
Berjam-jam berlalu setelah Bonita pergi dengan wajah masam dari bridal, tatapan Bonita yang memindai Benjamin masih terbayang jelas di pelupuk mata pria itu. Ada sesuatu yang tidak biasa dari tatapan Bonita yang tiba-tiba membuat Benjamin jatuh cinta pada pandangan pertama dua minggu yang lalu, tapi Benjamin tidak yakin bagaimana harus menjabarkan perasaan. Benjamin tahu tatapan itu berbeda dengan tatapan sosok gadis kecil di dalam pigura yang sedang dia tatap saat itu, walau keduanya orang yang sama."Boleh aku menyimpan yang ini?" tanya Benjamin tiba-tiba. Dia menenteng foto berpigura yang sebelumnya terpajang di meja sudut seraya berjalan ke sofa ruang keluarga, lalu duduk di seberang Jeremy dan Melissa. Itu pertama kalinya dia berkunjung dan rumah itu meninggalkan kesan hangat di hatinya sejak pijakan pertama. "Boo akan mengutukmu jika mengambil miliknya tanpa seizinnya." Tegur Melissa yang duduk bersebelahan dengan Jeremy."Adikku sangat sulit ditaklukkan. Menyerah sajalah." Ujar
Mobil Bonita dipacu menuju rumah. Dia membanting pintu mobil karena kekesalannya pada Benjamin belum tersalurkan. Dia berjalan cepat untuk membuka pintu depan dan segera menghampiri kamar Jeremy yang dia tahu tidak pernah dikunci, lalu mengambil tongkat baseball yang terpajang di dinding kamar. Dia berniat memukul tubuh Benjamin yang sedang terlelap di tempat tidur dengan tongkat itu, tapi membatalkannya. Dia melempar tongkat sembarangan hingga terdengar suara kelotak keras dan mengambil buku tebal yang tergeletak di meja sebagai gantinya. Benjamin berteriak kesakitan karena pukulan Bonita mengenai lengan, bahu. dan dadanya."Hapus fotoku, Brengsek!" Teriak Bonita seraya memukul tubuh Benjamin dengan buku asal saja. Bagian tubuh yang manapun, dia tidak peduli. Hanya dengan mendengar Benjamin mengeluh kesakitan sudah membuat hatinya bersorak karena pria itu memang pantas mendapatkan ganjaran."Hei! Letakkan buku itu, Boo!" Teriak Jeremy yang terbangun karena kegaduhan yang tiba-tiba te
Bermandi peluh dalam kenikmatan yang tidak terelakkan membuat Bonita dan Benjamin lupa segala yang terjadi di luar campervan. Sudah tidak terhitung berapa kali Jeremy mencoba menelepon pengantin baru yang menghilang di acara pernikahannya sendiri. Padahal dia sudah jauh-jauh datang mengitari setengah dunia demi menghadiri acara sakrat adiknya yang selalu bersikap seenaknya."Sudahlah, biarkan mereka berdua. Tidak akan terjadi apa-apa." Ujar Melissa yang mencoba membuat kemarahan Jeremy reda seraya menepuk punggung anak laki-laki mereka yang bernama Julian yang berada di pelukannya. "Bahkan jika terjadi sesuatu, mereka akan menemukan cara menyelesaikannya."Jeremy melirik ke arah Edith yang tersenyum simpul di sudut resort yang disewa sebagai tempat menginap selama menyiapkan acara pernikahan. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan ibunya, perasaan benci yang dulu menggerogoti hatinya perlahan pudar."Edith tidak akan khawatir. Boo sudah membuktikan dirinya pantas berkeliling dunia
Cumbuan dalam dan hangat terjalin di antara sepasang suami istri yang baru saja menikah di altar yang dibangun di area air terjun yang dikelilingi kabut tipis. Keluarga dan sahabat kedua mempelai bersorak riang saat menyaksikan dua sejoli itu akhirnya bersatu dalam cinta setelah perjalanan panjang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dan jarak jauh hingga mengelilingi dunia.Hanya ada belasan orang di tengah dinginnya hawa pegunungan termasuk pengantin. Tempat yang tidak lazim untuk mengadakan pesta pernikahan tentu saja, tapi apapun akan dilakukan agar Bonita dan Benjamin yang sudah lama menjalin hubungan dalam ketidakpastian mampu melangkah ke jenjang pernikahan.Gaun dan jas yang dipakai mempelai pengantin merupakan gaun dan jas yang sudah mereka miliki sejak lama. Dekorasi altar pernikahan dibuat sederhana menggunakan bunga dan tanaman pohon lokal yang berada di sekitar lokasi pernikahan. Velica dan Melissa yang menyiapkannya selama beberapa hari. Sedangkan hidangan hangat yang m
"Hentikan!" Tegur Bonita.Tawa Benjamin menggema di dinding batu. Poin-poin yang dituliskan Bonita sebagian besar masuk akal, walau ada poin yang menurutnya konyol, "Kamu yakin ingin tahu tentang itu? Kamu mungkin akan cemburu.""Aku tidak akan cemburu selama kamu jujur padaku. Aku tidak akan cemburu pada yang hal-hal sudah berlalu.""Baiklah." Ujar Benjamin seraya menggenggam tangan Bonita dan mengajaknya duduk di sofa. Tatapannya terpaku pada wanita yang paling bersinar di matanya itu, "Hanya agar segalanya jelas, apakah ini artinya aku diterima menjadi kekasihmu lagi?""Selama kamu memenuhi semua poin di kertas itu ..., maka: ya."Kecupan yang mendarat di bibir Bonita membuatnya terkejut dan canggung. Dia belum sempat berpikir lebih baik saat Benjamin meraih wajahnya seraya menggeser tubuh lebih dekat pada kekasih hatinya itu. Perlahan, Benjamin memimpin kecupan hingga berubah menjadi cumbuan lembut. Belum terbiasa bercumbu setelah bertahun-tahun berlalu, Bonita berusaha menyamakan
"Itu benar." Ujar Bonita dengan wajah tertunduk. Dia sudah memikirkan hal itu jutaan kali. Keputusan membatalkan pernikahan memang bukan hanya karena Mea. "Aku pergi mencari ibuku di hari seharusnya kita berkencan —di hari kamu bertemu Mea. Ibuku memberitahu semua yang terjadi dengan hubungannya dengan ayahku. Aku memang mencintaimu, tapi ... kupikir mungkin lebih baik jika aku kembali memikirkan apa landasanku jatuh cinta. Aku tidak tahu apakah cintaku padamu murni atau karena aku mencintai ide tentang jatuh cinta seperti yang dulu ibuku rasakan pada Frans."Angan Benjamin yang awalnya melayang, ditebas hingga roboh. Dia sadar harapannya masih ada, tapi alasan Bonita membatalkan pernikahan mereka membuatnya merasa hampa."Jujur saja, aku ragu apakah kamu benar-benar mencintaiku. Mencintai seseorang pada pandangan pertama terasa sangat sulit untuk kupercayai. Saat mengetahui tentang Mea, kupikir kamu hanya mencintaiku karena aku mungkin mirip dengannya.""Kalian sangat berbeda." Jelas
Semua jendela di rumah batu milik keluarga Tristan berteralis hingga membuat Bonita menyerah untuk kabur. Dia sudah mencari setiap sudut rumah yang sekiranya bisa dibuka, tapi tidak ada jalan untuk keluar. Dia sudah meminta tolong pada orang-orang yang lewat melalui jendela, tapi mereka semua mengabaikannya seolah tidak ingin memiliki masalah karena membantu tahanan.Bulan sabit muncul dengan cepat. Bonita memilih bersabar menunggu Tristan esok hari dan akan membuat perhitungan dengan pria itu karena menyekapnya bersama Benjamin walau perkataan Tristan tentang makanan dan kamar benar adanya.Benjamin sudah mandi dan berganti dengan pakaian yang ditemukannya dari dalam lemari. Dia meminta Bonita untuk mandi dan berganti pakaian sementara dia menghangatkan makanan yang ada di dalam kulkas, tapi Bonita terlalu kesal untuk menurut saat melihat semua pakaian wanita di lemari hanyalah gaun tidur seksi.Anting berlian dan gaun putih berenda masih membalut tubuh Bonita yang berbaring di tempat
"Apakah kamu sedang menggunakan metode yang sama seperti saat kamu meminta dekorasi bunga kesukaan Mea untuk tema pernikahan kita?" tanya Bonita dengan tatapan miris.Pertanyaan Bonita membuat tubuh Benjamin membeku. Dia tidak menyangka Bonita menaruh perhatian pada bunga itu hingga masih mengingatnya setelah bertahun-tahun berlalu."Kukira aku sudah menuliskan dengan jelas bahwa aku tidak sudi menjadi pengganti bagi wanita manapun.""Kamu tidak pernah menjadi pengganti wanita manapun, Boo.""Jangan!" Teriak Bonita penuh amarah seraya menunjuk ke wajah Benjamin. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu menyebutku seperti itu!""Baiklah. Akan kukatakan sekali lagi agar kamu mengerti. Kamu tidak pernah menjadi pengganti bagi wanita manapun, Bonita."Ujung jari Bonita terasa seolah terkena aliran listrik saat Benjamin menyebutkan namanya. Dia menurunkan telunjuknya dan menyilangkan lengan di depan dada untuk melindungi diri dari serangan yang mungkin
"Aku tidak memercayai ramalan.""Hidupmu pasti membosankan." Celoteh Tristan dengan langkah menjauh. Dia mengeluarkan ponsel dari saku dan menerima telepon dengan mata bersinar. "Aku akan mengantarnya. Tunggu saja di sana dan siapkan penampilan terbaikmu.""Kamu bekerja untuk teater?" tanya Bonita asal saja karena menganggap penampilan yang Tristan sebutkan ada hubungannya dengan itu.Tristan tertawa seraya mengembalikan ponsel ke saku, "Tidak. Aku memiliki perkebunan buah di daerah barat. Dekat dengan tempat tinggal ibuku.""Wah, aku merasa tersanjung karena mengenal orang penting." Ujar Bonita dengan senyum simpul."Percuma saja karena kamu sudah menolak ajakan kencanku.""Haruskah aku menyesal?" sindir Bonita."Seharusnya ya, tapi tidak. Kamu sudah memiliki kekasih. Aku tidak akan merebut wanita manapun demi kesenangan pribadi."Bonita menatap Tristan lekat, "Aku bisa mengenalkanmu dengan Velica. Dia sahabatku. Dia sudah lama melajang sejak sebelum aku berkeliling dunia. Tertarik un
"Itu kekasihmu?" tanya pria asing itu dengan tatapan tertambat pada foto di samping kemudi campervan Bonita. Ingatan pria itu timbul tenggelam saat mencoba kembali menatap wajah Bonita lebih serius.Bonita tidak menanggapi. Dia tahu foto yang dimaksud pria asing itu merupakan foto Benjamin. Foto itu memang sudah lama tertempel di sana."Lupakan candaanku tentang menjadi kekasihmu. Aku tidak bersungguh-sungguh.""Aku tidak akan menerima ajakan kencanmu walaupun kamu bersungguh-sungguh.""Tenang saja, aku tidak akan menghitung makan siang yang kutawarkan tadi sebagai kencan. Restoran itu berjarak dua jam dari sini, tapi sebaiknya kamu memiliki pakaian yang sedikit pantas untuk makan di tempat yang berkelas."Bonita tersenyum lebar, "Kurasa ini saat yang tepat untuk memakai gaun kesukaanku lagi.""Kamu memiliki gaun?" tanya pria asing itu dengan sudut mata memicing."Tentu saja. Sebetulnya aku mewarisi bridal keluarga. Aku berpakaian seperti ini," ujar Bonita seraya menunjuk kaus dan cela
Minggu, bulan, tahun demi tahun berganti. Keinginan Benjamin untuk menemukan Bonita tidak pernah surut. Dia sudah benar-benar melupakan Mea. Di hatinya hanya ada Bonita. Wanita-wanita lain yang menggodanya selama di perjalanan mencari mantan tunangannya bahkan tidak ada seorang pun yang mampu membuat hatinya berpaling walau hanya seperseribu detik.Satu yang dipelajari Benjamin dari petualangan mencari kekasih hatinya, yaitu dia yakin mereka akan dipertemukan di saat yang lebih tepat. Itu sebabnya dia bersabar dengan apapun yang terjadi di hidupnya. Jika memang harus menempuh dunia ratusan keliling pun, dia sanggup asalkan pada akhirnya dia bisa bertemu dengan Bonita.Namun, Benjamin tidak tahu Bonita menghindari tempat-tempat yang pernah mereka bahas bersama. Bonita lebih memilih pergi ke tempat lain sementara Benjamin mencarinya di tempat-tempat yang dulu pernah menjadi calon destinasi bulan madu mereka. Benjamin menatap kanguru dari kejauhan di Australia, saat Bonita berpesta deng