Aku tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir ayah.
Dia tak mau menceraikan ibu karena tak bisa melihat ibu, dan paman hidup bahagia.Apa bedanya dengan sekarang? Sekarang pun ibu, dan paman sudah sangat bahagia. Mereka sampai-sampai tak tau waktu, dan tempat bila ingin melakukan hubungan intim."Alasan itu terlalu klasik, Yah. Sandra nggak percaya. Pasti ada alasan yang lain kan? Boleh Sandra tau?"Ayah terlihat menghela nafas cukup dalam, dan menghembuskan nya perlahan.Tatapannya mengarah padaku. "Ayah malu, nak. Semua ini terjadi karena kesalahan ayah di masa lalu," ucapnya lirih.Aku tak menyahut ucapannya. Aku tau dia sudah siap untuk menjelaskan semuanya padaku.Tatapannya kembali menerawang jauh, "dulu ayah sangat mencintai Sari,ibumu. Tapi, sayangnya Sari nggak cinta sama ayah. Dia malah mencintai Tejo, adik kandung ayah sendiri. Karena kesal, dan merasa kalah saing dari Tejo. Ayah pun nekat berbuat hal hina, dan menjijikan itu padanya.Berharap dengan begitu Sari mau menikah dengan ayah. Setelah kejadian itu, Sari langsung mengandung. Dan dengan senang hati ayah memintanya pada orang tuanya untuk bertanggung jawab.Ayah begitu bahagia karena almarhum kakek, dan nenekmu langsung menerima niat baik ayah. Ayah dengan senang telah mengatur pesta pernikahan yang mewah untuk Sari. Sebagai bentuk permintaan maaf ayah karena telah merenggut mahkotanya. Tapi—" ayah menjeda ucapannya sejenak.Tangannya terangkat pelan, menyeka ujung matanya. Lagi-lagi dia membuang nafas dengan kasar.Seakan-akan berusaha melepas beban berat yang di pikulnya selama ini.Aku masih setia menunggu cerita lanjutan dari ayah.Meski hati ini sudah mulai bimbang lantaran mendengar penjelasan ayah.Tapi apapun itu. Aku tetap berada di pihak ayah."Sebulan sebelum hari pernikahan itu. Sari mengatakan satu hal yang membuat ayah makin merasa terkalahkan oleh Tejo. Sari mengaku bahwa dia pun sempat melakukan hal itu dengan Tejo. Dan dia pun setuju menikah dengan ayah. Asalkan setelah kamu lahir, ayah langsung menceraikannya.Ayah jelas nggak setuju dengan persyaratan itu. Ayah menolak tegas. Karena ayah nggak mau kamu tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang ibu.Dan akhirnya, Sari membuat keputusan gila itu. Kalau ayah nggak menceraikan dia, maka dia akan nekat menikah lagi dengan Tejo. Tentu hal itu pun ayah tentang habis-habisan.Tapi, telinga ibumu seolah tuli. Setelah dua hari ayah menikahinya. Dia pun menikah lagi dengan Tejo, tanpa seorang keluarga pun yang tau.Ayah, ibu, serta Mbak Wati pun sama sekali nggak tau. Ayah nggak tau mereka menikah dimana, dan bagaimana caranya. Tapi yang pasti mereka pun sudah sah menjadi sepasang suami istri.Tejo membawa Sari ke rumah. Karena memang orang tuanya sudah mengusirnya dan nggak menganggapnya sebagai anak lagi.Tejo mengenalkannya sebagai istri kepada Kakek, dan nenekmu. Kakekmu yang saat itu memang sedang sakit jantung pun terkejut bukan main, dan langsung meninggal di tempat.Sedangkan nenekmu, dia nggak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, karena malu dengan gunjingan para tetangga. Nenekmu memutuskan menjual rumah di kampung, dan membawa Sari serta ayah, dan paman Tejo selaku suaminya ke desa ini.Di desa ini nggak ada satu orang pun yang tau masalah ini. Kecuali pak RT, dan pejabat desa. Karena memang dulu nenekmu yang mengurus semuanya.Ayah meminta pada nenekmu untuk membujuk Tejo agar menceraikan Sari. Tapi, tanpa ayah duga. Nenekmu justru menolak tegas. Dan nenekmu meminta agar kami hidup seperti ini sampai maut yang memisahkan.Mau nggak mau ayah menyetujui permintaan nenekmu. Karena setelah itu nenekmu langsung pergi, menyusul Kakekmu di atas sana." Ayah menutup penjelasannya dengan senyum getirnya.Aku masih diam menyimak penjelasan ayah tadi.Kalau ibu juga melakukan hal itu dengan paman Tejo. Berarti ada kemungkinan aku adalah anak paman.Tapi, paman jelas-jelas tak menganggap ku sebagai anaknya.Sedangkan ibu lebih senang jika aku adalah anaknya bersama paman.Ternyata serumit ini hidup dengan dua orang suami.Nasib sialnya justru menimpaku. Aku tak tau siapa ayah ku sekarang.Ku tatap wajah ayah yang juga tengah menatapku. "Apa ayah masih mencintai ibu?" tanyaku dengan suara pelan."Sangat. Ayah sangat mencintainya. Dia cinta pertama ayah. Karena dia, ayah banyak menolak setiap gadis yang mendekati ayah dulu," tandasnya tegas."Apa ayah juga mencintai Sandra?" tanyaku lagi.Ayah mengganggu cepat. Dia menggeser posisi duduknya mendekatiku, dan mengusap lembut puncak kepalaku yang masih tertutup dengan jilbab berwarna putih. " Tentu, nak. Ayah sangat menyayangi mu. Karena kamu, ayah bisa bertahan selama ini. Sebenarnya sudah dari lama ayah ingin menceraikan ibumu. Tapi ibumu meminta agar kamu ikut dengannya. Dia menganggap kamu adalah anaknya dengan Tejo. Tapi, melihat perlakuannya padamu. Ayah jadi nggak tega." Tatapannya terlihat sendu."Kalau begitu ayah ceraikan ibu sekarang. Sandra pasti akan ikut ayah. Sandra janji, Yah," ucap ku sungguh-sungguh.Ayah terdiam sejenak. Dia terlihat berpikir karena permintaanku barusan.Dalam hati aku berdoa semoga ayah menyetujui permintaan ku tadi.Walaupun awalnya cara ayah untuk mendapatkan ibu bisa dibilang salah. Tapi aku mendukung ayah.Ayah sudah banyak menanggung kesakitan selama ini.Mungkin sudah setimpal dengan perbuatannya di masa lampau.Sudah cukup ayah menyiksa dirinya sendiri."Sandra janji akan ikut ayah setelah perceraian nanti?" tanya ayah seolah dia meragukan kesungguhan ku.Aku mengangguk mantap. "Sandra janji!" jawabku tegas."Baik. Setelah waktu kebersamaan paman, dan ibumu selesai. Ayah akan langsung menceraikan ibumu."Aku menggeleng. "Nggak. Itu terlalu lama. Sandra mau sekarang juga kita kerumah, dan ayah langsung ucapkan talak pada ibu. Kalau perlu langsung talak tiga!" sahutku.Ayah terkekeh mendengar ucapanku. "Anak ayah sekarang sudah tau talak tiga rupanya. Tau dari mana, Hem?"Aku gugup sendiri mendengar pertanyaan yang dilempar ayah.Semenjak aku tau bahwa ibu memiliki dua orang suami.Aku langsung mencari tau masalah pernikahan di internet.Salah satunya adalah masalah perceraian. Talak tiga tentu tak akan bisa rujuk lagi.Aku takut besok atau lusa ayah berniat rujuk lagi pada ibu.Maka dari itu aku menyuruh ayah langsung memberikan talak tiga, dan harus sekarang.Aku tak mau terlalu lama, dan ayah akan berubah pikiran lagi."Ayo. Kita kerumah. Sandra mau hari ini juga ayah, dan ibu pisah." Aku berdiri, dan mengambil tas yang terletak di atas meja.Bersiap-siap menemani ayah ke rumah untuk menceraikan istrinya.Ada sedikit rasa sedih yang terselip di hati ini karena harus melihat perpecahan keluarga sendiri.Tapi ini justru lebih baik.Aku coba menghibur diri dengan melempar senyum manis pada ayah.Aku berusaha menguatkan ayah, walau aku pun sama rapuhnya seperti ayah._____Kalau suka dengan ceritanya. Jangan lupa komen, ya. Komentar kalian adalah sebuah kata penyemangat untukku 🤗☺️"Diarak keliling desa saja, pak RT!" "Iya, betul itu! Diarak saja!" "Iya!""Iya!" Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah. Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis. Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur. Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis. "Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu
"Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny
"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka
POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut
Sudah hampir satu Minggu Tejo menunggu kabar dari Fatima dengan rasa gelisah. Dia takut Fatima menolak pinangan darinya,namun apapun itu. Tejo sudah berjanji akan menghargai keputusan Fatima.“Mari makan siang, Bang!” Ajak seorang pekerja yang mengurus kebun Tejo.“Duluan saja, Ri. Aku nanti saja.” Tejo menjawab sekenanya. Ya, dia sekarang tengah berada di kebun miliknya. Kebun yang selama ini dia abaikan karena sibuk dengan nikmat duniawi. Dia membiarkan pekerjanya yang mengurus semuanya, dan dia hanya tinggal menerima hasilnya saja.Namun, semenjak sembuh dari sakitnya. Dia perlahan sudah mulai berkebun kembali. “Huuuft!” Tejo membuang nafasnya dengan kasar. Matanya tak lepas menatap layar ponsel dalam genggamannya dengan perasaan gelisah. Dia menunggu kabar dari Dayat, abangnya. Saat mereka hendak meninggalkan rumah Fatima saat itu, Fatima berkata bahwa dia akan menghubungi Siska untuk menyampaikan keputusannya. Kring…. Kring…. Kring! Ponsel dalam genggaman Tejo berdering c
“Tejo, hei!” Dayat menepuk pundak sang adik cukup keras karena kesal. Sedari tadi dia memanggil adiknya itu, namun adiknya sibuk melamun. Tejo menoleh ke arah abangnya dengan wajah kaget. “Ada apa, bang?” Dayat mendengus. “Makan. Dari tadi di panggilin susah banget, Jo. Kalau suka, bilang saja.” “Seandainya dia bukan sahabatnya mbak Siska,” ujar Tejo dengan tatapan menerawang. Dayat berdecak, sedari tadi adiknya sekali berkata begitu. Apa hubungannya dengan Siska?“Ada apa dengan mbak-mu?” “Aku takut mbak Siska ceritain ke dia tentang kelakuanku dulu.” Tejo menjawab sambil tertunduk. Dayat baru tau tentang kegelisahan adiknya. “Kamu sudah berubah. Kalau kamu betul-betul menyukainya, berusahalah. Biar mbak-mu jadi urusan Abang.” Dayat menepuk pundak Tejo pelan, memberi dukungan padanya. ___Acara syukuran di rumah Dayat telah usai. Semua keluarga nenek Atun pun sudah kembali ke kampung. Nasib Tejo semakin tak jelas. Dia sungguh menyukai wanita yang dia temui di rumah Dayat wa
Akhirnya, hari yang dinantikan oleh pasangan Siska, dan Dayat pun tiba. Hari dimana buah cinta mereka lahir kedunia dengan selamat. Dayat mencium pipi merah anak keduanya itu dengan sayang, setelah menyuarakan adzan pada putranya. Ya, Siska telah memberikan seorang putra pada Dayat. Lengkaplah sudah keluarga kecil mereka. “Aku boleh gendong, nggak?” tanya Sandra yang sedari tadi ikut gemas melihat bayi merah dalam gendongan ayahnya. “Nanti kamu jatuhin,” sahut Dayat seraya kembali mencium pipi putranya. “Ma, Sandra boleh gendong adek, ya?” Sandra merengek pada Siska yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien. Siska tersenyum pada Sandra lalu menatap suaminya. “Mas, kasih dulu ke mbak nya!” titahnya yang membuat Sandra berjingkrak kegirangannya. “Ojo pecicilan, nduk. Jatuh adekmu nanti,” ujar Dayat memperingati saat akan menyerahkan bayi itu pada Sandra. “Pake duduk saja, nak.” Siska memberi isyarat pada Dayat agar menyuruh Sandra duduk. Dia merasa ngeri melihat cara
“Assalamualaikum.” ucap Sandra, dan Dayat berbarengan saat sudah sampai di dekat Sari, dan Trisno berdiri. “Wa’alaikumussalam.” Trisno, dan Dayat langsung berjabatan tangan. Sedangkan Sandra langsung mendekati sang ibu, dengan senyum yang merekah. “Silahkan masuk, bang.” Trisno mengajak Dayat untuk masuk kedalam rumahnya, namun Dayat menolak karena Siska sedang sendirian di rumah.Akhirnya, Dayat pun berpamitan pulang setelah berpesan pada Sandra agar tak merepotkan Sari, dan Trisno. “Masuk yuk. Di tungguin sama nenek dari tadi.” Sari merangkul pundak Sandra, dan bersama berjalan masuk kedalam rumah. ___“Cukup, Bu. Aku sudah kenyang.” Sandra menggeser piring makannya kesamping saat Sari hendak menambahkannya nasi kedalam piringnya.“Makan yang banyak, nak,” ujar Sari memaksa. Sandra menggeleng, dan tetap menjauhkan piringnya. Dia sungguh sudah sangat kenyang saat ini. Bagaimana tidak? Sedari tadi Sari terus saja memberikan berbagai makan padanya.Semua lauk, dan sayur yang dia
“Kamu mau ketemu sama ibu, nak?” Siska angkat bicara. Dia berjalan mendekati kursi tempat Sandra duduk, lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap bahu Sandra yang masih bergetar karena isak tangisnya. “Kalau mau ketemu sama ibu, biar mama yang antar,” tawar Siska dengan senang hati. Sandra mengangangkat kepalanya menatap wajah Siska lalu bergantian menatap wajah Dayat. Dayat mengangguk dengan senyum tipisnya. “Boleh, Ma?” “Boleh, dong. Besok pagi Mama antar, ya. Sekalian Mama mau olahraga pagi, soalnya sebentar lagi adikmu datang,” sahut Siska seraya mengelus perutnya yang membesar. Hari persalinannya memang sudah dekat. Itu sebabnya dia harus banyak bergerak agar persalinannya nanti berjalan dengan lancar, itu pesan ibunya setiap kali menghubunginya lewat telpon. ____“Dek, nasinya dimakan. Jangan di liatin aja,” ujar Trisno saat melihat makanan istrinya masih utuh. Sedangkan Sari sedari tadi hanya menatap piringnya dengan wajah murungnya.“Ada yang mengg
“Hei?! Kamu kenapa, nak? Dari tadi mama panggil kok nggak nyahut? Lagi lamunin apa?” Siksa datang, dan menepuk pundak Sandra. “Eh?!” Wajah Sandra langsung terkejut melihat Siska sudah duduk di sampingnya dengan perut yang sudah membuncit. “Kamu kenapa? Ada masalah sama pendaftaran kuliah?” tanya Siska dengan lembut. Tangannya mengusap surai panjang milik Sandra.Sandra langsung menampilkan senyumnya, dan menutup raut wajahnya yang sedih. “Nggak ada, ma. Semuanya lancar, kok.” “Terus, kenapa?” Siska berusaha menilik wajah dari putri sambungnya itu.Namun, Sandra lebih dulu memalingkan wajahnya. “Sandra ke kamar dulu, ya, ma. Ada tugas kuliah,” kilahnya lalu buru-buru berdiri, dan masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Siska kebingungan. Dia menatap punggung putrinya dengan kening mengernyit. Dia baru menyadari bahwa beberapa hari ini Sandra memang terlihat sedikit pendiam. Jarang sekali Sandra bercanda padanya. Senyum yang Sandra tampilkan pun sangat di paksakan. Sis
Trisno mengumpulkan keberaniannya untuk menemui Sari, dan membawanya pulang bagaimana pun caranya. Ucapan Tejo tadi benar-benar sangat mengganggu ketenangannya. Trisno memarkirkan motornya di halaman rumah Wati, lalu perlahan melangkah menuju teras rumah. Tok, tok, tok. Trisno mengetuk pintu tanpa bersuara, dia takut kalau Wati tidak mau membukakannya pintu jika tau dia yang datang. “Iya, sebentar!” Terdengar sahutan dari dalam, tak lama kemudian pintu itupun terbuka dengan Sari yang berdiri di hadapannya. “Mas Trisno?” Nampak jelas wajah Sari yang terkejut bercampur bahagia. Dia meraih tangan Trisno, dan menciuminya dengan takzim. “Masuk, mas.” Sari menggeser tempatnya berdiri, memberi jalan untuk Trisno masuk. Dengan langkah ragu, dan juga takut Trisno masuk kedalam rumah, dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya sedari tadi sibuk mencari keberadaan Wati, dan juga suaminya. “Kenapa mas baru datang sekarang?” Sari ikut duduk di samping suaminya dengan bibir mengerucut. Trisno t
Sudah dua hari Sari di bawa pergi oleh Wati, dan suaminya. Dan dua hari juga Trisno seperti orang linglung. Dia sangat frustasi karena merasa seorang diri. Tak ada yang ada di sampingnya untuk membantu. Sikap ibunya pun bertambah dingin padanya, walaupun mereka tinggal di bawah atap yang sama. Trisno yang merasa suntuk memilih untuk keluar rumah, menghirup udara segar sekaligus memperbanyak keberaniannya untuk bertemu dengan kedua kakak iparnya. Trisno melajukan motornya ke arah warung kopi yang berada dipinggir jalan, tempatnya biasa bertemu dengan Nisa, dulu.Tentu saja Trisno kesana bukan untuk mengenang kebersamaannya dengan Nisa. “Bu, kopi pahit satu gelas,”pinta Trisno begitu sudah memarkirkan motornya. Dia lalu berjalan mendekati kursi panjang, tempat para pembeli biasa duduk menikmati pesanannya. “Tumben sendiri? Biasanya sama pasangannya,” celetuk ibu pemilik warung itu. Namun, Trisno hanya menanggapi dengan senyum tipisnya saja. Dia mengabaikan ucapan ibu tersebut, dia
Tok, tok, tok! “Permisi, Trisno! Keluar kamu! Sari!” Wati mengetuk pintu rumah Trisno dengan tak sabaran. Suaranya pun sangat nyaring. Sampai-sampai suaminya menegurnya. “Dek, jangan kaya gitu, malu di liatin tetangga.” Indra menarik tangan Wati yang hendak mengetuk pintu lagi. “Biarin! Biar semua orang tau kalau Trisno laki-laki bejat!” Wati menghempaskan tangannya dengan kuat.“Sari! Keluar, dek! Ini mbak mau jemput kamu!” Sedangkan di dalam rumah nampak Sari yang sudah mulai pulih tengah sarapan bersama Trisno. Bu Darni sedang sakit, jadi dia hanya sarapan bubur lalu kembali beristirahat di kamarnya. “Suara siapa itu, dek?” tanya Trisno urung memasukan sesendok nasi pada mulutnya. “Nggak tau, Mas. Tapi, dari suaranya sepertinya itu Mbak Wati. Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu?” Batin Sari mulai gelisah. Dia yakin pasti ada yang tidak beres sehingga kakaknya sampai berteriak seperti itu. “Bentar, mas cek dulu. Kamu habiskan dulu sarapannya, ya.” Trisno mengusap kepala