Seminggu kemudian.Di depan halaman rumah susun, yang padat penduduk dan sedikit kumuh.Edward datang pagi-pagi sekali ke tempat ini untuk menjemput mantan kekasihnya, Lena. Dia ingin membawanya pergi ke kampung halaman untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit.Kemarin malam, Ibu Edward memberi kabar buruk tersebut. Katanya, ayah Edward tiba-tiba terkena serangan jantung setelah pulang kerja dari ladang. Dia pun meminta Edward pulang secepatnya ke rumah, takut kondisi ayahnya semakin memburuk.Namun, Ibu Edward berpesan agar Edward datang bersama Lena. Ia mengira Edward masih belum putus dengan Lena, makanya sangat berharap bisa bertemu wanita itu.Edward sendiri memang lupa mengabari hal tersebut kepada ibunya. Membuat ibunya jadi salah paham hingga sekarang. Selain itu, ayahnya juga sangat ingin bertemu Lena, yang katanya memiliki sikap baik dan penampilannya cantik.Karena asalan itu, Edward mau tak mau pergi bersama Lena hari ini. Padahal dia sudah sangat enggan melihat wanita it
Sepuluh jam perjalan berlal. Mobil sport yang membawa Edward dan Lena kini tiba jalanan kecil di sebuah pedesaan. Itu satu-satunya akses menuju rumah Edward di bawah kaki gunung.“Wah! Pemandangan di sini indah sekali! Beda banget sama pemandangan di kota Noxus yang padat penduduk dan penuh polusi!” ujar Lena, mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela mobil. Dia merasakan segarnya angin sore yang menerpa langsung ke wajahnya.“Hei, Ed. Kamu beneran lahir di sini? Kok aku ngerasa kamu tidak seperti orang desa ya?” tanya Lena, berusaha mengajak Edward bercanda, karena sedari tadi pria itu selalu memansang wajah jutek seakan tidak saling kenal.Edward melirik Lena sekilas, “Apa kamu ingin mengejekku?” tudingnya.“Hahaha! Mana ada hal semacam itu, Ed,” tukas Lena, terbahak-bahak. Benar-benar tak tahan lagi dengan sikap Edward yang sok pura-pura jutek begitu.Lena tahu betul karakter Edward, yang biasanya sangat baik dan enak diajak bercanda. Makanya dia agak heran dengan sikap Edward yang
Sekarang pukul delapan malam, di ruang makan keluarga Lewis.Edward, Lena, Eliza, dan kedua orang tua Edward tampak duduk bersama di kursi meja makan bundar, mereka siap menikmati hidangan lezat yang telah tersaji di atas meja."Maaf, Lena. Tante hanya bisa memasak makanan khas pedesaan," ujar Ibu Edward yang bernama asli Hilda Nevertari."Meski makanan ini berasal dari desa, rasanya bisa bersaing dengan makanan hotel bintang lima. Percayalah, lidahmu pasti akan langsung jatuh cinta," sambung Ayah Edward, Gerald Lewis.Lena tersenyum hangat pada orang tua Edward secara bergantian, hatinya terasa hangat oleh kebaikan mereka. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini dalam hidupnya."Terima kasih, Om, Tante," ucap Lena, spontan hendak mengambil lauk dari salah satu piring."Tunggu," cegah Eliza."Ya?" Lena mengalihkan pandangannya ke adik Edward itu, khawatir dia telah berbuat tidak sopan.Namun, Eliza malah memberikan tatapan tajam kepada Edward, yang sedang asik bermain
“Lapor, Master. Ada pesan masuk dari Administrator. Apakah Master ingin saya membacakannya?” suara Irene tiba-tiba terdengar, memaksa Edward membuka matanya kembali. Dia baru saja beristirahat selama sepuluh menit di kamarnya.“Administrator?” ulangi Edward, masih merasa sangat mengantuk.“Iya, Administrator. Beliau adalah malaikat yang selalu mengawasi Master dari alam Nirwana,” jelas Irene.Edward berusaha keras mengingat, “Astaga! Apakah dia malaikat yang sudah menawarkan Sistem Harem?!” Dia berteriak setelah berhasil mengingatnya.Edward segera duduk dan meraih ponselnya dari nakas. Dia ingin membaca sendiri pesan dari Administrator. Sebab, administrator biasanya seorang individu yang bertanggung jawab atas pengelolaan suatu sistem atau proyek. Mereka mengatur dan mengawasi operasi sehari-hari, memastikan semua proses berjalan lancar.Dalam konteks ini, administrator berperan penting sebagai tangan kanan Dewi Lexia. Mereka akan melaporkan setiap tindakan Edward dan bahkan dapat me
Edward tersentak akan permintaan Lena, tapi tidak segera menarik tangannya dari ranah kewanitaannya. Dia malah merasakakan kehangatan yang cukup nikmat di bawah sana, bahkan sudah basah akibat cairan cinta. Edward pun tahu bahwa Lena sudah terangsang pada saat ini.“Sekali saja, tolong lakukan bersamaku, Ed. Setelah itu, aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi,” pinta Lena, semakin kuat menekan tangan Edward di ranah kewanitaannya. Dia merasakan telapak tangan Edward yang begitu kuat dan kasar.“Kenapa kamu ingin melakukannya denganku? Apa tujuanmu?” tanya Edward penuh selidik, Lena seharusnya punya maksud tertentu ketika meminta hal tersebut.Lena dengan tenang menjawab, “Aku sadar tidak akan pernah bisa hidup bersamamu lagi, aku sangat tidak layak akan itu. Tapi, aku masih berharap bisa memiliki sesuatu darimu untuk aku kenang dalam hidupku. Setidaknya, kehadiran anakmu bisa mengobati luka dan penderitaanku selama ini,” jelasnya jujur.Edward sontak berpikir, karena ucapan Len
Pagi berikutnya. Di ruang makan. “KALIAN SUNGGUH KETERLALUAN! AKU SAMPAI SUSAH TIDUR SEPANJANG MALAM!” Eliza berseru dengan penuh kesal sambil menatap orang-orang yang sedang duduk bersamanya, tampak marah gadis yang satu ini. “Maaf, Eliza. Habisnya ayah tidak bisa menahan diri semalam. Jadinya ayah bermain terlalu keras berama ibumu,” ujar Gerald tenang, batinnya benar-benar terpuaskan ketika bertarung bersama istrinya sepanjang malam. Setelah Edward menyembuhkan penyakit jantungnya dengan obat sakti, Gerald juga mendapatkan keperkasaan yang tiada tara sebagai efek lain dari obat tersebut. Dia pun tidak ragu bercinta dengan Hilda hingga lebih dari tiga ronde. Pria paruh baya itu serasa diremajakan kembali tadi malam, makanya dia memiliki kemampuan dan stamina sangat banyak. Hal serupa juga dirasakan Hilda, yang merasa seperti gadis lagi usai menggunakan kosmetik pemberian Edward. Pesona wanita paruh baya itu kembali, membuat Gerald semakin berhasrat dan bersemangat. Alhasil, p
Di pinggir gerbang sekolah, tampak sekelompok pemuda sedang berkumpul.Namun, mereka bukan siswa biasa yang sedang asyik bercanda, situasinya terlihat serius dan tegang. Salah satunya, pemuda yang mengenakan seragam sekolah, terkesan sangat marah."Bajingan ini telah merebut Eliza dariku," ucapnya dengan nada penuh kemarahan, menunjuk ke arah seorang pemuda yang berdiri tepat di depannya. "Dia bahkan berani memacarinya. Tolong hajar dia untukku, Kak Jhon," lanjutnya, memohon pada pemuda yang menjadi pemimpin kelompok itu.Pemuda yang dituduh, Steve Mcgory, tampak tenang. Meski ia dikelilingi oleh sekelompok pemuda yang siap menyerangnya, sorot mata Steve masih tampak tegas dan siap bertarung."Benar kau sudah merebut pacar Tuan Muda Alvin?" tanya Jhon, dengan nada serius."Tidak! Eliza memang pacarku sejak awal," tukas Steve, menatap Jhon dan Alvin dengan tegas."Kurang ajar! Beraninya kau!" seru Alvin, marah dengan pengakuan Steve. Tanpa membuang waktu, dia mendaratkan pukulan keras
"Apa yang terjadi? Kenapa Steve luka-luka begini?" tanya seorang wanita perawat begitu Eliza dan Steve memasuki UKS. Dia bergegas menghampiri dan membantu Steve. Eliza melepas Steve, membiarkan urusan berikutnya pada wanita perawat itu. Dia lalu duduk di kursi dekat ranjang."Eliza, bisakah kamu menceritakan kejadiannya? Steve tidak seharusnya terluka seperti ini, 'kan?" tanya wanita perawat lagi, sambil mengobati Steve.Eliza menatap wanita itu, "Semua ini gara-gara Alvin," jawabnya. "Dia menggunakan John dan kelompoknya untuk menyakiti Steve."Wanita perawat menghentikan aktivitasnya sejenak, tampak terkejut. "Alvin lagi? Astaga! Dia benar-benar …."Eliza menghembuskan nafas berat, rasanya cukup lelah berurusan dengan Alvin. Sebab kejadian semacam ini bukan pertama kalinya. Dalam sebulan ini, Alvin sering merundung Steve dengan berbagai cara, mulai dari hal biasa hingga paling ekstrem. Dan kejadian barusan bisa dibilang sangat parah, karena Steve sampai terluka serius."Kak Chelse
Edward menatap dengan cermat sosok pria yang baru saja bangkit dengan tenaga luar biasa. Meskipun dia mengaku telah sembuh berkat obat Edward, ekspresi wajah pria itu menunjukkan kekhawatiran mendalam. “Ayah, kamu benar-benar baik-baik saja?” tanya Aluna, penuh rasa syukur dan cemas bersamaan. “Tenang, Nak. Aku baik-baik saja sekarang,” jawab pria itu sambil mengamati tim medis yang sudah berusaha menolongnya. Edward merasa lega, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara. Dia berusaha menyusun strategi untuk menghadapi ancaman di balik serangan bom tersebut. “Aluna, ayo kita bicara sebentar,” ajak Edward, menarik Aluna ke samping, jauh dari kerumunan. “Ada apa, Ed? Kenapa serangan ini bisa terjadi?” tanya Aluna dengan suara bergetar. Edward mencoba menganalisis situasi. “Ada kemungkinan bahwa serangan ini bukan hanya sekadar aksi teroris. Menurut informasi yang aku dapat, keluarga Everdeen mungkin sudah menjadi target lama. Ada beberapa kelompok yang bisa melakukan hal ini,
Edward merasa gelisah dan khawatir usai mendengar kabar buruk dari Aluna. Dia segera kembali ke meja Clara dengan wajah yang penuh kekhawatiran."Ada apa, Ed?" tanya Clara, tampak penasaran.Edward menjelaskan situasi yang sedang terjadi kepada Clara, tentang pengeboman di perusahaan ayah Aluna. Clara terkejut mendengarnya dan merasa prihatin dengan keadaan Aluna dan keluarganya."Kita harus segera pergi ke tempat Aluna. Dia butuh dukungan kita di saat-saat seperti ini," ujar Clara tegas.“Tidak, kamu tak perlu pergi kesana. Kamu masih punya masalah yang harus diselesaikan,” tukas Edward, diam-diam mengeluarkan sebotol air dari sistem harem.“Minumkan ini pada ibumu, lalu kabari aku reaksinya. Cukup satu gelas saja, jangan berlebihan,” jelasnya sambil memberikan botol air itu pada Clara.“Air mineral? Untuk apa air mineral, Ed?” Clara bingung sendiri, menatap air itu dan tidak mengerti.Edward tersenyum tipis, “Percayalah, air itu bisa mengatasi masalahmu. Aku yakin ibumu aka
Edward menatap Aluna dengan ekspresi serius, mengangguk pelan. "Dua triliun, ya? Baiklah, aku akan membantu kamu," ujarnya, mengambil ponsel Aluna dan mulai melakukan transfer.Aluna menatap Edward dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kesediaan Edward yang membantu keluarganya. "Terima kasih, Edward," ucapnya, suaranya bergetar.Edward hanya tersenyum, menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Aluna. Kita adalah pasangan, dan pasangan harus selalu membantu satu sama lain," ujarnya, menenangkan Aluna.Setelah selesai transfer, Edward mengembalikan ponsel Aluna. "Ok, masalahnya beres. Aset keluarga Everdeen sudah aman sekarang," ujarnya, tersenyum tulus.Aluna menatap Edward dengan mata berbinar, penuh rasa terima kasih. "Kamu benar-benar menyelamatkan kami, Edward. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas budi baikmu," ucapnya, suaranya penuh rasa haru.Edward hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Tak perlu membalas apa-apa, aku hanya melakukan apa yang seh
Edward termenung cukup lama usai membaca pesan Irene, benar-benar bingung dan tak tahu harus mengambil keputusan apa."Sarapannya sudah siap, Ed. Ayo kesini," teriak Aluna dari arah dapur, sontak membuyarkan lamunan Edward."Oke, sebentar ...." Edward menanggapi sambil mengenakan pakaiannya. Mencoba melupakan Helena sejenak dan berusaha fokus pada Aluna.Tak lama berselang, Edward tiba di ruang makan, tampak beragam makanan yang sudah tersaji di atas meja."Wah, kamu jago masak ternyata. Kelihatannya makananmu enak-enak," ujar Edward, memuji usaha Aluna.Wajah Aluna pun memerah, jelas senang dengan pujian Edward."Silakan dicoba, Ed. Semoga kamu tidak kecewa," ujarnya.Edward tersenyum kecil mendengarnya, "Kenapa aku harus kecewa? Aku pikir makananmu terasa lezat.", kemudian dia menyantap makanan itu. Mulai dari daging hingga sayur sop bening.Namun, yang paling menggugah selera Edward adalah sambal buatan Aluna. Siapa sangka, wanita secantik dia sangat pandai membuat sambal."Ini ena
Pagi berikutnya.Edward dan Aluna terbangung dalam keadaan telanjang, mereka tampak masih lelah usai melakukan persetubuhan panas tadi malam.Aluna sendiri sangat menikmati hal tabu tersebut meski sudah pernah merasakannya. Dia pikir Edward terlalu perkasa sehingga berhasil membuatnya melalang buana berulang kali. Ini juga merupakan pengalaman baru bagi wanita dewasa itu.Entah berapa kali Aluna mendapatkan pelepasan tadi malam, pastinya sangat sering sampai dia tak bisa menghitungnya pakai jari lagi.“Uh ... aku sepertinya akan kesulitan berjalan,” ujar Aluna masih dengan mata mengantuk.Dia lalu menyentuh ranah kewanitaannya, dan ternyata masih ada sisa-sisa cairan di sana.“Aduh, aku langsung tidur semalam, aku tak sempat membersihkannya. Kira-kira Edward benci wanita kurang teliti seperti aku tidak ya?” Aluna tampak cemas, jelas takut akan hal tersebut.“Mana mungkin aku membencimu, jusru aku menyukai wanita seperti kamu,” sahut Edward, langsung membawa Aluna ke dalam pelukannya.
“Edward, apa kamu baik-baik saja?” tegur Aluna kala Edward semakin larut dalam lamunannya.Edward tidak langsung menanggapi, hanya mentapa wajah cantik Aluna dengan sayu. Dia tiba-tiba ragu untuk menuntaskan misi utama sistem harem dengan wanita itu.Aluna seketika menyadari sesuatu dari ekspresi Edward, namun dia tidak ingin berhenti di sini setelah memantapkan hatinya untuk Edward. Dengan berani, dia pun mendekati Edward sambil melepas pakaiannya secara perlahan.“Ini mungkin bukan yang pertama bagiku, tapi aku percaya kemampuanku bisa mengilangkan semua keraguanmu. Aku harap kamu tidak keberatan, supaya kita bisa lanjut ke tahap yang lebih serius,” ujar Aluna, kini sudah telanjang bulat di depan Edward. Dia sangat berharap Edward akan langsung menyerangnya setelah disuguhkan pemandangan indah semacam itu.Glup!Edward menelan salivanya, bersamaan dengan naiknya gairah yang secara perlaan. Tidak mau jadi orang munafi, dia memang sudah terangsang oleh Aluna saat ini.“Tolong lihat ak
Malam semakin larut, bahkan hampir mendekati pagi.“Maaf, urusan kakekku benar-benar merepotkan. Kamu jadi terlibat dalam hal-hal aneh yang selalu dirasakan kakekku selama ini,” ujar Aluna begitu tiba di depan pintu apartemennya, kemudian dia membuka pintu itu dan membiarkan Edward masuk.“Silakan masuk, Edward. Anggap saja tempat tinggal sendiri,” ujarnya.“Terima kasih, Aluna,” balas Edward, tersenyum tulus. Kakinya lalu melangkah ke dalam kamar apartemen itu.Wusssh!Aroma sangat wangi langsung menyambut Edward di sana, apalagi kamar ini terasa sangat feminim karena hampir seluruhnya didekorasi warna merah muda.“Apa kamu sangat menyukai warna pink?” tanya Edward, cukup penasran jadinya, tanpa sadar menoleh ke arah selangkangan Aluna, mengira di dalam sana juga isinya berwarna merah muda. “Tentu saja, bukankah warna ini penuh dengan romansa?” Aluna tersenyum cerah, sepertinya paham maksud tatapan Edward.“Begitu ya?” Edward lanjut berjalan memasuki kamar, melihat-lihat ke sekitar.
Edward melihat Peter dengan penuh kekhawatiran. "Kakek, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa melawan vampir?" tanyanya.Peter mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Pertama-tama, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang vampir, terutama kelemahan dan cara melawan mereka,” ujarnya.Edward mengangguk, ia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tapi dari mana kita bisa menemukan informasi itu? Apa ada di buku yang aku bawa?" tanyanya lagi.Peter mengingat-ingat sambil merenung sejenak. "Ada satu tempat di kota ini yang mungkin memiliki jawabannya. Perpustakaan kuno. Mereka memiliki koleksi buku langka dan mungkin ada yang berkaitan dengan vampir," jawabnya.“Perputakaan itu lagi?” Edward terkejut mendengarnya.“Ya, hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk melawan vampir.” Peter tampak yakin dan tegas.“Ayo bergerak sekarang, kita tak boleh membuang waktu,” ajaknya.Kemudian, kedua pria beda usia i
Edward dan Aluna tiba di rumah sakit jiwa setelah beberapa saat berkendara. Aluna tampak gugup dan khawatir, sedangkan Edward mencoba untuk tetap tenang dan bijaksana.Mereka lalu berjalan menuju ke ruangan tempat kakek Aluna dirawat, letaknya di lantai atas gedung tersebut.Setelah menunggu beberapa saat, kakek Aluna akhirnya muncul di depan mereka. Dia tampak lemah dan pucat, namun masih bisa tersenyum lembut pada cucunya.“Aluna, kamu pasti cucuku, Aluna, ‘kan?” Sapa kakek itu, sepertinya masih bisa mengenali Aluna.“Ya, kakek.” Aluna langsung memeluk kakeknya dengan erat.“Salam kenal, kakek. Aku Edward Lewis,” ucap Edward segera memperkenalkan dirinya dan memberikan salam hormat pada kakek Aluna.Kakek Aluna pun memperkenalkan dirinya sebagai Peter Everdeen, seorang ahli dalam dunia ilmu hitam dari keluarga Everdeen.‘Ahli ilmu hitam?’ Ulang Edward dalam benaknya, rasanya agak akrab dengan hal-hal semacam ini.“Hahaha! Aku suka ekspresimu, Edward. Kau sepertinya sudah pernah beru