“Assalamu’alaikum,”
Aku mendengar suara salam, sepertinya Tiara yang datang. Segera kumatikan kompor, oseng tahu dan kacang menjadi menu sarapan kami pagi ini.
“Mau apa ke sini pagi-pagi,” gumamku kesal. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat Ibu sedang bermain dengan Mehra, sepertinya beliau enggan menyambut Tiara.
“Oh, Mbak Tiara,” sapaku dengan ramah, pura-pura ramah lebih tepatnya.
Tiara menatapku sinis, lebih tepatnya saat ia melihat rambutku yang basah. Mungkinkah ia tidak suka aku basah pagi hari? Ah, bodo amat. Aku tidak mau memikirkan perasaan Tiara, untuk apa? Dia saja tega memelet Mertuaku.
“Ada perlu apa ya, Mbak?” Aku bertanya dengan ramah dan tersenyum lebar, seolah tidak memedulikan tatapannya yang sinis.
Pertanyaanku sepertinya membuyarkan lamunan Tiara, terbukti dia sedikit terkejut mendengar suaraku. Ah, Tiara, kenapa kamu datang lagi ke sini?
“Enggak, aku nyari Ibu. Beliau ada?” jawab Tiara mengulas senyum. Pura-pura lebih tepatnya, aku bisa membaca pikiranmu sekarang!
“Ada perlu apa ya, Mbak?” Biar saja dia tidak aku persilakan masuk rumah, masih ada Mas Adnan di rumah. Aku tidak ingin mereka bertemu. Cemburu? Jelas aku sebagai istrinya cemburu, walaupun mas Adnan membenci Tiara, tapi aku tetap tidak suka Tiara menyapa Mas Adnan.
“Ah... Itu, aku bawain sarapan buat Ibu.” Tiara terlihat salah tingkah, ia memperlihatkan tas kresek yang berisi beberapa toples tupperware. Sepertinya berisi beberapa makanan rumahan. Ini mencurigakan!
“Tumben, Mbak. Ada acara apa?” tanyaku sedikit kepo, biarlah dia menganggap aku cerewet.
Tiara kembali salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya yang tertutup pasmina berwarna peach, aku tahu itu tidak gatal.
“Gak ada apa-apa sih, Mbak. Cuma pengen berbagi aja,” jawab Tiara sedikit memaksakan senyum.
“Oh, terimakasih ya, Mbak. Maaf nih, yang nerima aku.” Aku menyahut tas kresek yang dibawa Tiara.
“Eh, anu... Itu buat Ibu, Mbak,” sahut Tiara, seolah tidak terima makanan itu aku yang menerima, bukan Ibu.
“Iya aku tahu, Mbak. Tenang saja. Ibu masih repot di dalam, jadi ini aku yang terima, yang penting sama-sama nyampek ke tangan Ibu, kan?” Aku menyunggingkan senyum termanis, seperti penulisnya. Eh....
“Tapi, Mbak.... “
“Udah gapapa, kamu langsung pulang aja, Mbak. InsyaAllah bakal nyampek ke tangan Ibu kok. Tenang saja!” usirku pada Tiara.
Wajahnya nampak sedikit kecewa, tapi biarlah. Lebih baik Tiara tidak bertemu dengan Ibu terlebih dahulu. Ibu bilang, sejak bangun tidur tadi seluruh badannya terasa sakit semua. Fix, itu efek dari pelet semalam. Tubuh Ibu menjadi lemas.
Jahat sekali Tiara, sudah pasti dia tahu efek peletnya pada Ibu, tapi mengapa masih nekat? Kasihan sekali mertuaku, beliau sangat baik kepada kami semua, tidak membedakan mana menantu, mana mantan menantu. Karena terlalu baik, akhirnya Tiara memanfaatkannya.
“Yaudah, Mbak. Aku titip makanannya buat Ibu. Terimakasih, assalamu’alaikum,”
Setelah aku menjawab salam, segera pintu depan kututup. Bukan apa-apa, Mas Adnan selalu. Mewanti-wanti untuk selalu menutup pintu, agar sesuatu yang tidak kasat mata, tidak seenaknya masuk ke dalam rumah.
“Siapa, Dek?” Suara Mas Adnan mengagetkanku, dia terkekeh seneng melihatku terkejut. Ah, kesel deh, untung cinta, untung sayang, kalau enggak, udah kubuang jauh dia.
“Ih, ngagetin aja sih, Mas.” Kucubit pinggang Mas Adnan, lalu kami tertawa bersama.
“Nih, dari mantan istri kamu.” Aku menyodorkan kresek itu kepada Mas Adnan dengan wajah cemberut yang aku buat-buat. Bukannya menerima, Mas Adnan malah menarikku dalam pelukan. Diciumnya pucuk kepalaku. Mau tak mau hilang sudah cemberutku, berganti dengan perasaan haru.
Duh, aku jadi meleleh. Padahal masih pagi, kenapa dia sudah bikin hatiku berbunga-bunga sih? Kan bikin aku makin cinta. Uuhhh...
Kubalas pelukan Mas Adnan erat, seolah tak ingin lepas.
“Apaan sih, pagi-pagi dah so sweet aja.”
Mas Adnan menoel hidungku mesra, “Kamu kalau cemburu lucu, Dek,” Mas Adnan terkekeh seolah nada yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu.
“Gak lucu tau,” jawabku kesal. Mas Adnan melepaskan pelukannya, lalu meraih tas kresek itu.
Matanya terpejam sejenak, mulutnya komat-kamit entah membaca apa, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Kutinggalkan Mas Adnan ke dapur, aku harus menyiapkan bekal makan siang Mas Adnan. Setiap hari, ia harus membawa bekal sendiri, ia lebih menyukai masakan rumahan tanpa micin, lebih hemat tentunya.
Ada-ada saja Tiara itu, dulu saat masih menjadi istri Mas Adnan kenapa menyia-nyiakan, sekarang seperti mengemis cinta Mas Adnan lagi, dengan cara curang pula.
Aku menggeleng pelan, lucu sekali kamu, Tiara.
“Ini, udah bisa dimakan kalau mau. Kalau enggak buang aja gapapa,” ucap Mas Adnan, meletakkan makanan pemberian Tiara.
Aku menghela nafas,” Tanya Ibu aja nanti, kalau aku gak mau, Mas,”
Mas Adnan mengendikkan bahu, tidak peduli. Ia berlalu ke kamar untuk ganti baju, karena sudah waktunya dia berangkat bekerja. Seperti itulah Mas Adnan, dia sama sekali tidak mau berhubungan dengan Tiara lagi. Bertemu saja, dia tidak mau apalagi berbincang.
“Nduk, tadi Tiara ada perlu apa ke sini?” tanya Ibu sambil menggendong Mehra.
Tentang kejadian semalam aku dan Mas Adnan sepakat untuk tidak memberitahu Ibu, kasihan. Beliau belum tahu apa yang dilakukan Tiara padanya. Yang beliau sadari, tubuhnya sudah lemas sebelum tidur.
“Nganterin ini, Bu.” Aku mengangkat toples, menunjukkannya pada Ibu.
Beliau terlihat mengeluarkan nafas dengan berat,” Buang saja, Mil. Ibu ndak selera makan makanan dari Tiara.”
Aneh sekali! Tumben Ibu berkata seperti itu, biasanya beliau akan menerima apapun pemberian Tiara. Beliau tidak ingin dipandang sebagai mantan mertua yang jahat.
“Kenapa memangnya, Bu?” tanyaku ingin tahu.
“Hah... Ibu merasa Tiara belum berubah, kebaikannya selama ini tidak tulus.” Ibu menghela nafas berat, sepertinya beliau menyadari rencana terselubung Tiara.
“Jangan lupa buang itu semua!” lanjut Ibu, sebelum beliau meninggalkanku sendirian di dapur.
Aku mengendikkan bahu, bodo amat. Segera kubuang semua makanan yang dibawa Tiara, makanannya saja. Toplesnya bisa kugunakan lagi di lain hari, toples mahal, sayang kalau dibuang, cerdik kan aku?
.
.
Pov author
“S*alan, Mila kurang ajar banget. Sengaja nyindir aku.” Tiara melempar jilbabnya, hingga terlihat rambutnya yang mengembang sempurna. Ia menghentakkan kakinya dengan kesal.
Prang!
Tiara melempar pigura yang berisi foto pernikahannya dengan Adnan. Ia marah pada Adnan, Mila apalagi.
Tiara menyesal menggugat cerai Adnan, saat tahu Adnan menghamili Mila. Ya, Adnan dan Mila menikah karena Mila sudah hamil sebelum menikah. Saat itu Tiara tidak bisa berpikir jernih, begitu cepat mengambil keputusan untuk menggugat cerai Adnan.
Setelah beberapa minggu, barulah Tiara menyadari perasaannya yang masih mencintai Adnan. B*doh memang, sebucin itulah Tiara pada Adnan.
“Argh... “ Tiara berteriak kencang, ia membuang semua alat make up di meja riasnya.
Ceklek
“Ya Allah, Nduk. Kamu kenapa seperti ini?” tanya Mbok Mina pada Tiara. Ia terkejut mendapati kamar Tiara yang berantakan.
“Keluar Mbok! Jangan ganggu aku!” teriak Tiara histeris.
“Istighfar, Nduk. Istighfar!” ucap Mbok Mina sembari mengelus lengan Tiara.
Tiara menampik tangan Mbok Mina kasar, membuat Mbok Mina sedikit terjerembab.
“Ach... “ Mbok Mina meringis, tangannya berdarah terkena lemari. Segera Mbok Mina keluar dari kamar Tiara, ia mencari obat untuk lukanya.
Sepeninggal Mbok Mina, Tiara terduduk di lantai.
“Aku harus membuat rencana baru, ya, aku harus membuat rencana lain.” Tiara menyeringai mengerikan. “Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara.
Aku bersujud di malam yang dingin, menggelar sajadah, saat semua orang masih berada di alam mimpi. Memohon ampunan kepada Allah atas dosa di masa lalu yang sudah kuperbuat. Aku tahu dosaku sangat besar, dosa yang hina, dan semua orang membenci itu. Namun, aku yakin Allah akan memberi ampunan pada hambanya yang bertaubat, betul?Aku berdoa, semoga Allah mengampuni semua dosaku, dosa semua orang yang mengenalku, tak lupa memohon agar Allah menjauhkan kami dari pelet yang digunakan Tiara.Mungkin semua orang akan berkomentar bahwa aku dan Tiara jahat! Benar, kami sama-sama jahat. Akibat ulah kami banyak dari mereka yang sakit hati.Keluarga Tiara dan semua orang yang menganggap dia sempurna akan menghujatku tiada ampun. Menyebarkan aibku melalui media sosial, bahkan ada dari mereka yang memalingkan wajah saat bertemu denganku.Beda lagi dengan Tiara, mertuaku lah saksi hidup berapa kejamnya Tiara saat masih menjadi menantu. Ibu pernah bercerita, Tiara tidak pernah membantunya mengerjakan
“Ibu, kenapa?” tanyaku bingung dengan perubahan Ibu.Kulihat Tiara tersenyum sinis melihatku. Ah, sepertinya ada yang ia rencanakan.“Apa kamu lihat-lihat?” teriak Ibu, matanya kini memerah, menatapku nyalang. Ada apa dengan Ibu?“Apa yang terjadi pada Ibu?” Aku berlari menghampiri Ibu, kuteliti semua anggota tubuh Ibu, mungkin saja ada yang sakit atau apa.Namun, aku terkejut, Ibu menampik tanganku. Lalu mendorongku hingga aku terjatuh. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Mehra. Aku meringis, bokongku sakit sekali rasanya. Segera aku berdiri sambil terus mengelus bokongku yang sakit.“Gak usah pegang-pegang, najis!” hardik Ibu padaku, jangan-jangan Ibu kena pelet lagi? Ya Allah, menyusahkan sekali sih.“Bu, ini aku Mila. Menantu Ibu!” seruku berusaha mendekati Ibu lagi.“Gak usah dekat-dekat, pergi kamu. Lebih bagus kamu pergi dari rumah ini sekalian!” teriak Ibu, ya Allah, kasihan sekali Ibu, bagaikan kalau nanti fisik Ibu lemas lagi?Aku berhenti, kutatap Tiara yang terus menata
“Mas, tadi Tiara bikin rusuh,” lapor Mila pada Adnan sesaat setelah pulang kerja.“Hmm... ““Kok gitu doang sih jawabnya? Gak seru ah!” sungut Mila kesal.“Mau dijawab gimana maunya?” tanya Adnan sedikit kesal.Mila bersungut-sungut meninggalkan Adnan yang masih termangu di dalam kamar bingung. Ada-ada saja kelakuan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga hati Mila, ia tidak ingin Mila tersakiti bila ia terlalu menanggapi obrolan tentang Tiara.“Mas, makan malam sudah siap,” teriak Mila dari dapur. Bu Rini, mertua Mila datang ke dapur dengan menggandeng Mehra.Inilah kelebihan Mila, ia mudah marah, tapi mudah pula luluh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berlama-lama memendam sakit hati, apalagi dengan Adnan. Entah mengapa pesona Adnan sudah membutakan mata dan batin Mila.Mila teringat, saat masih kuliah dulu, Adnan bersama temannya nekat menemuinya naik kereta. Dulu kereta belumlah nyaman seperti sekarang, mereka harus rela berdiri di toilet berjam-jam karena kereta yang sangat penuh. Kar
“Ayah kenapa, Yah?” Teriak Tiara histeris, dilihatnya mulut pak Surya mengeluarkan banyak darah, dan tubuhnya terlihat sangat lemas. Tubuhnya sudah terjerembap ke belakang saat Tiara masuk.“Ayah!” Panggil Tiara, berkali-kali ia menepuk pipi Ayahnya yang mulai terpejam. Kali ini ia mengguncang tubuh pak Surya, tapi tetap saja matanya tertutup.Dengan jantung yang berdebar ia mengecek nadi ayahnya, ‘Alhamdulillah, masih hidup’ batin Tiara. Segera ia keluar mencari bantal, air dalam wadah, dan handuk. Setelah mendapatkan itu semua, Tiara menaruh bantal di kepala pak Surya, tak lupa ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya menggunakan handuk. Setelah lumayan bersih, Tiara mengambil selimut untuk pak Surya.“Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara. Ia kembali ke kamarnya meninggalkan ayahnya yang sedang tertidur. Entah apa yang sakit dalam diri pak Surya, Tiara belum tahu, karena kejadian tadi seketika membuat ayahnya seketika pingsan.Setibanya di kamar,
“Bu Tiara, apakah benar, Ibu bikin masalah sama Rara?” tanya Bu Syida pada Tiara yang masih terdiam sejak selesai mengajar di kelas X A, ia masih terus memikirkan ucapan Rara yang akan mengadukan masalah tadi pada Papanya.Tiara mengangguk ragu, lalu berucap,” Saya lepas kontrol, Bu.”Bu Syida menghela napas kasar, pasti akan ada masalah besar terjadi setelah ini. Semua tahu, sekali Rara berucap, Papanya akan mengabulkan semua keinginannya.“Bu Tiara harus segera meminta maaf pada Rara sebelum dia mengadu Pak Raharjo,” saran Bu Syida cemas, saat ini mereka sedang berada di ruang guru. Tidak banyak guru yang berada di ruangan ini, karena waktu masih menunjukkan jam pelajaran.“Tidak, Bu! Saya tidak bersalah. Kenapa saya yang harus meminta maaf?” tanya Tiara sengit, ia tidak sudi meminta maaf pada anak bau kencur macam Rara.“Apakah Bu Tiara tidak memikirkan kelanjutan yayasan ini tanpa sumbangan dari pak Raharjo?” timpal Bu Syida tak kalah sengit, andaikan Pak Raharjo menyetop sumbanga
“Kita mau kemana sih?” Tanya Tiara penasaran. Pasalnya jalan yang Arya lewati adalah jalan menuju kota sebelah, tidak seperti biasanya. Tumben sekali Arya mengajaknya keluar kota, apa yang ingin Arya tunjukkan padanya?“Rahasia, pasti kamu akan suka,” jawaban Arya membuat Tiara semakin penasaran.“Kasih tahu kenapa sih, aku kepo,” rengek Tiara manja.“Aku kasih petunjuk, tempat ini berada di atas bukit,” ucap Arya terus menatap jalan.Tiara berpikir sejenak,” Ke taman langit kah?”Arya hanya tersenyum misterius, tanpa sadar ia mengecek k*ndom yang berada di saku celananya. Aman!Arya menyeringai, ia harap semuanya akan berjalan lancar. Mengingat desahan Tiara membuat Arya semakin tidak sabar untuk mencapai tujuan. Hasratnya ingin segera dituntaskan.Tiara tidak menyadari, bahwa ini adalah awal dari kehancuran hidupnya.Di lain tempat, Adnan nampak gelisah. Berkali-kali ia melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Tiara belum terlihat barang hidungnya. Biasany
“Dari mana aja kamu semalam?” bentak pak Suryo pada Tiara yang baru saja datang. Tentu saja Pak Suryo marah, karena Tiara pulang esok paginya. Itu pun sudah siang, pukul 9 pagi Tiara baru datang.Tiara menunduk tidak berani menatap ayahnya yang sedang marah. Ia tahu, ia salah. Tapi bukan salah Tiara sepenuhnya. Ia tidak tahu, kejutan yang Arya maksud adalah pesta miras.Bangun tidur tadi, Tiara terkejut mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Ia melihat Arya dan teman-temannya pun sama, polos tanpa baju. Tubuhnya bergetar, ia menatap nanar tubuhnya dan mereka bergantian, ‘Mungkinkah mereka melakukan itu denganku? Bergantian?’ batin Tiara jijik dengan dirinya sendiri.Sepagian ia menangis, menangisi kebodohannya yang mudah terpedaya oleh Arya. Ia merasa dirinya lebih rendah dari pelac*r. Tubuhnya digilir tanpa bayaran, sedangkan pelac*r masih mendapatkan uang.Setelah membangunkan Arya dengan susah payah, akhirnya mereka pulang. Walau sebelumnya sudah diwarnai dengan ce
“Yah, tolong buat ibu Mas Adnan sakit!” ucap Tiara seketika membuat Pak Suryo melotot menatapnya.“Ada apa lagi?” tanya pak Suryo mengernyit.Tiara cemberut lalu menghentakkan kakinya. Ia duduk di samping ayahnya.“Aku sakit hati ayah, masak dia ngata-ngatain aku sih,” sungut Tiara.“Bu Rini? Masak dia ngata-ngatain kamu?” tanya pak Suryo gemas, ia paling tidak suka ada anggota keluarganya yang dihina orang lain. Siapapun itu harus mendapatkan balasannya, minimal sakit.“Masak dia bilang aku gak becus jaga anak, pake bilang aku perempuan gak bener, Yah.” Tentu saja Tiara menambahkan bumbu setiap kata yang ia keluarkan.“Lalu apa lagi?” tanya Pak Suryo.“Mereka bilang aku murahan, Yah. Dan mereka akan menuntut hak asuh Nando.” Dalam hati Tiara tersenyum bahagia, karena sepertinya ayahnya mulai terpengaruh lagi. Tiara tidak jera dan sangat tega melihat ayahnya kesakitan, ia tahu ayahnya pasti kalah melawan Adnan, tapi apa salahnya dicoba? Kita tidak tahu, keberhasilan biasanya akan sete
Pukul 8 pagi, Jo sudah berada di kantornya, beberapa menit lagi ia harus meeting dengan klien penting. Ia berjalan cepat dari tempat parkir menuju ruangannya. Sesekali ia mengangguk saat berpapasan dengan karyawannya.CeklekJo mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah kotak yang berukuran sedang di atas mejanya. Ia menatap sekeliling sebelum masuk ke dalam ruangannya, tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai.Setelah menutup pintu, ia berjalan menuju meja kerjanya. Ia menatap kotak yang berwarna merah muda itu dengan teliti, mencari nama pengirim atau semacamnya. Sayangnya, tidak ada.“Siapa pengirimnya? Salah kirim atau bukan?” tanya Jo, berbicara sendiri.Jo membuka kotak itu perlahan, matanya melebar saat melihat isinya. Ia mengangkat dengan ujung jarinya, seolah jijik. Sebuah celana dalam dan bra dengan renda di setiap tepi.‘Siapa orang g*la yang mengirimkan benda menjijikkan ini?’ batin Jo kesal.Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah kertas yang terselip di antara bra berwar
[Mbak, ini foto yang mbak Tiara minta.]Pesan masuk dari bu Keke, tetangga Adnan yang rumahnya persis di depan. Beliau mengirimkan setidaknya ada 10 foto Nando, saat ia bermain di halaman, bahkan foto saat makan di suapi Bu Rini, ibu Adnan.“Ya Allah, cerdas sekali bu Keke, bisa mendapatkan foto di dalam rumah.”Mata Tiara terbelalak saat melihat salah satu foto Nando yang makan hanya dengan nasi putih, Tiara yakin itu hanya nasi yang ditaburi garam. Tiara ingat sekali, saat Adnan tidak punya uang, ia lebih memilih makan dengan garam saja.“Aku harus kirim foto ini agar segera di proses di pengadilan.” Tiara segera mengirimkan semua foto itu pada Jo yang saat ini masih berada di kantor.Tiara yakin, kemarin Jo sudah menghubungi pak Dewa untuk menggugat hak asuh Nando ke pengadilan.Memang salah Tiara, dulu mengizinkan Nando di asuh oleh Adnan, saat itu Tiara belum bisa berpikir jernih, belum berkomitmen dengan Jo. Jadi ia masih bingung dengan keadaan dirinya sendiri.Tok tok tok“Ma,
“Pa, tolong buatkan susu untuk Reihan.” Tiara sedang memandikan Reihan, buah cintanya bersama Jo.“Kan masih mandi?” protes Jo.“Iya, setelah mandi biar langsung minum susu, Pa. Udah gih, cepetan bikinin.”“Iya iya,” jawab Jo sambil beranjak keluar dari kamar mandi. Karena Tiara sudah menyiapkan air, botol, dan susu di atas meja, mudah saja Jo meraciknya.Tiara mengangkat Reihan ke atas ranjang, lalu mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk. Lalu mengoleskan minyak telon, bedak, dan memakaikan baju. Bayi berumur 7 bulan itu terus menggerakkan kaki dan tangannya senang, sesekali menyunggingkan senyum.“Lucu sekali anak mama, udah ganteng sekarang.” Tiara menyemprotkan sedikit parfum pada baju Reihan setelah mengoleskan minyak rambut.Tiara bersyukur, Allah memberikan banyak berkah di dalam hidupnya. Menghadirkan Jo sebelum terlambat, memberikan kenikmatan hidup selama ini.Reihan hadir membawa suasana baru di rumah Jo, setelah ada Reihan, Jo lebih sering menghabiskan waktunya di rumah
“Kamu jahat, Mas. Kamu apakan dia?” teriak Mila sambil terisak.Mila segera berlari menghampiri Erga yang sudah terkapar tidak berdaya di teras. Ia menyangga kepala Erga dengan tangannya.“Kamu jahat sekali, apa salah dia? Kenapa kamu hajar sampai seperti ini?” teriak Mila histeris. Bukan seperti ini keinginan Mila, ia tidak suka Adnan berbuat kasar dan main hakim sendiri.“Bela terus selingkuhanmu itu! Kalau perlu sekalian saja kamu keluar dari rumah ini. Perempuan sepertimu tidak pantas diperjuangkan,” hardik Adnan, matanya memerah menahan emosi.Hati dan pikiran Adnan sudah dibutakan oleh nafsu dan gelap karena iri dan benci. Ia sudah pernah dikhianati, sekarang seseorang yang dulu ia perjuangkan mati-matian juga mengkhianati cintanya.“Jaga ucapanmu, Mas. Secara tidak langsung kamu sudah menalakku.”“Lebih baik berpisah saja, aku lelah terus dikhianati.”“Baiklah! Aku akan pergi dari sini.”Mila membantu Erga bangun, bibir dan hidungnya mengeluarkan darah segar bekas pukulan Adnan
“Mama... “ teriak Nando berlari dan menghamburkan peluk ke arah Tiara.Jo mengernyit melihat Nando begitu dekat dengan Tiara, dan memanggilnya mama.“Siapa anak ini?” Tanya Jo pada Tiara.Nando sudah berada di gendongan Tiara, sambil mencium dan memeluk leher mamanya erat.Tiara tersenyum pada Jo, lalu berkata,” Ini anakku yang pernah aku ceritakan.”“Jadi, kamu... “ Jo menunjuk Tiara dan Adnan bergantian.“Iya, Mas. Dia mantan suamiku.” Mendengar itu, Jo mengangguk paham. Lalu mengambil alih gendongan Nando, ia tidak mau Tiara kelelahan karena saat ini sedang hamil.“Halo, jagoan. Nama kamu siapa?” Jo bertanya pada Nando dengan riang, seolah sudah pernah bertemu.“Nando,” jawab Nando singkat.“Aku gak nyangka, ternyata istri lo bekas gue,” celetuk Adnan sambil menyunggingkan sebelah bibirnya.Seketika Jo merasa panas, emosi sudah berada di ubun-ubun. Segera Tiara mengelus lengan suaminya, dan mencoba menenangkannya.Sang tuan rumah belum terlihat, sepertinya masih sibuk di belakang.
“Ah, kenalkan, ini Mila. Dia pacarku,” ucap Erga jumawa.Tiara mengernyitkan dahinya tidak percaya dengan ucapan Erga.‘Dasar perempuan gila, sudah mengambil suamiku, masih mencari laki-laki lain’ batin Tiara kesal.“Pacar kamu?” tanya Tiara tak percaya.Erga menganggukkan kepala mantap, sedangkan Mila melotot menatap Tiara.“Kamu udah cek status dia?” Tanya Tiara tak peduli Mila yang terus melotot padanya. Ia harus menyelamatkan Erga dari jerat Mila, seingat Tiara Erga sekarang sedang berada di puncak kejayaannya. Bisa jadi Mila hanya memanfaatkan Erga. Setidaknya itu yang ada di pikiran Tiara sekarang.“Maksud kamu?” tanya Erga bingung mendengar pertanyaan Tiara.“Iya, coba tanya dia yang lebih paham. Dan juga, sekedar saran, jangan gampang percaya dengan ucapan orang, coba kamu cek siapa perempuan itu sebenarnya.” Setelah mengucapkan itu, Tiara menerima uang kembalian dadi kasir. “Aku duluan ya,” pamit Tiara cuek.Entah setelah ini Mila tetap berhubungan dengan Erga atau tidak buka
“Ck, kamu sudah berani melawanku, Mila!” geram Adnan, matanya terus menatap Mila.“Ka-kamu mau apa, Mas?” tanya Mila terbata-bata. Ia sangat takut melihat Adnan marah, karena baru kali pertama hal itu terjadi.“Kamu sudah berani minta cerai? Bisa apa kamu tanpa aku? Masih beruntung aku mau menikahimu dulu.”Mila meringis saat Adnan semakin menekan tangannya.“Aku hanya lelah, Mas. Salahku di mana?” tanya Mila lirih, ia sudah mulai tidak bertenaga lagi untuk melawan.“Lelah? Bilang! Jangan memaksa ibu melakukan apa yang tidak mampu beliau lakukan! Kamu gila atau goblok sih? Masak gitu aja gak paham?”“Lalu, kalau aku bilang, apa kamu akan menuruti semua?” tantang Mila.“Tentu tidak, lihat dulu apa permintaanmu.”“Cih, itu aku yang gak suka, kamu hanya mendahulukan ibu dan anak-anak. Kapan mau mendengar keinginanku?” tangis Mila mulai luruh. Ia tidak tahan untuk tidak menangis, beban yang ia tanggung rasanya sangat berat.“Kapan kamu minta sesuatu padaku?” tanya Adnan ketus.“Seharusnya
Pov Mila“Syukurlah, lain waktu aku ingin ke rumahmu,” ucap Erga yakin.“Untuk apa?” tanyaku terkejut.“Melamarmu.”Erga menyunggingkan senyum indahnya, senyum yang sama, senyum yang selalu membuatku rindu.Seketika aku menjadi salah tingkah, bagaimana ini? Aku sudah menikah, dan ini memang baju untuk anakku. Bagaimana caraku mengatakan yang sesungguhnya? Namun, senyum itu membuatku terpesona. Lidahku menjadi kelu, tak mampu menjawab.“Bagaimana?” tanya Erga. “Aku sudah menunggumu dari masa SMA, masa kamu tolak?”“Maaf, aku ada urusan. Aku pulang dulu, ya? Makasih buat traktirannya.”Segera aku keluar dari toko dan segera menarik gas motor secepat mungkin. Tak kupedulikan pandangan sekitar yang menatapku aneh.Aku menggelengkan kepala berkali-kali mencoba mengenyahkan pikiran tentang Erga. Bisa berabe kalau dia tahu aku berbohong, lagian mas Adnan tidak akan bisa memaafkan kalau sampai berkhianat.Kenapa Erga datang di saat aku sudah menikah dan punya anak sih? Harusnya dia datang leb
Pov MilaAku melihat kedatangan Tiara dengan takjub, penampilannya jauh lebih berkelas dari saat terakhir bertemu. Dan lagi, ia keluar dari mobil mewah, siapa laki-laki yang ia jerat kali ini? Enak sekali hidupnya. Berbeda jauh denganku yang harus bersusah payah mengasuh anaknya di sini. Untuk merawat diri saja tidak sempat, apalagi menyenangkan suami.Mainan yang dibawa Tiara kutaksir semuanya jutaan rupiah, keberuntungan dari mana ia dapatkan semua? Lagi, ada cincin yang indah tersemat di jari manis Tiara.Bahkan sikapnya kini lebih kalem, Tiara yang sekarang bukanlah Tiara yang dulu. Andaikan melihat ini, Mas Adnan mungkin saja akan tergoda lagi. Aku saja yang sesama perempuan, sangat menyukai penampilan Tiara saat ini, pembawaannya yang tegas, nan elegan.“Apa-apaan ini?” teriak ibu dari belakang, sepertinya beliau terkejut dengan kedatangan Tiara yang mendadak, aku lupa memberitahu beliau, Tiara akan datang.“Ada Tiara, Bu,” jawabku pendek. Moodku seketika ambyar melihat kedatang