Sepulang dari kantor aku mendapati rumah dalam keadaan gelap gulita. Kutinggalkan Maura yang masih berada di dalam mobil. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Mutia. Aku pulang terlambat karena harus menemani Maura belanja keperluannya. "Mutia ...." Aku berteriak sambil melangkah memasuki rumah, mendapati pintunya dalam keadaan tidak terkunci, membuatku semakin panik dan tidak karuan. Itu artinya Mutia ada di rumah, tapi kenapa semua lampu rumah ini belum ada yang menyala.Kaki ini melangkah dengan setengah berlari menuju saklar lampu ruang tamu, saat ini ruangan sudah terang, tapi belum terlihat juga tanda-tanda keberadaan Mutia."Mutia ...." Aku kembali memanggilnya, tetap tak ada jawaban.Semakin kupercepat langkah kaki untuk memasuki kamar kami berdua. Ternyata Mutia juga tak ada di sana. "Arrgh ...." Aku berteriak, mengacak rambutku frustasi. "Mutia, kamu di mana." Aku meracau sendiri."Mas, kenapa panik banget, sih. Mungkin Kak Mutia sedang ke rumah saudaran
POV MutiaTak ada hal lain yang paling kutunggu selain kedatangan Mas Putra setelah selama seminggu dia bersama Maura.Aku selalu melakukan yang terbaik setiap kali Mas Putra bersamaku. Menyiapkan makanan terbaik, segala kebutuhannya selalu kupenuhi. Berusaha melayaninya semampuku, aku melakukan itu semata-mata untuk menutupi kekuranganku sebagai seorang istri yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.Ya, aku sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Rasanya begitu menyakitkan. Itu juga alasanku memintanya untuk tidak menyentuhku selama dua bulan sejak pernikahannya dengan Maura. Aku yakin, hidupku tidak akan selama itu. Penyakit kanker ovarium yang aku derita menggerogoti organ tubuhku dengan liar. Terakhir aku cek up, Aldiansyah bilang kangkerku sudah memasuki stadium empat, bukankah mustahil untuk aku bisa sembuh kembali. Aku memilih bertahan, demi bakti terakhirku pada sang suami, demi menjaga marwahku sebagai seorang wanita. Karena aku sudah tidak punya siapa pun lagi. Aku ju
POV Mutia"Ayah ... Bunda ... Mutia datang." Aku bersimpuh diantara tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir mereka. Mengusap kedua batu nisan dihadapanku.Tidak terasa air mataku terjatuh, lolos begitu saja. Bibirku bergetar, banyak yang ingin aku ceritakan pada mereka. Namun, rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya.Hanya beberapa bait do'a yang bisa aku panjatkan, lalu menaburkan berbagai macam jenis bunga di atas tempat peristirahatan terakhir mereka."Ayah, sesuai permintaanmu, aku tetaplah wanita yang kuat meski tanpa kalian di sisiku. Ibu, aku sudah berusaha menjdi istri yang baik untuk suamiku, sesuai dengan keinginanmu." Akhirnya tangisku benar benar pecah."Aku rindu kalian, sangat. Tapi Bunda dan Ayah tidak perlu khawatir, tidak lama lagi aku akan datang. Kita akan segera berkumpul, hanya tinggal menghitung waktu saja." Kupaksakan tersenyum, meski rasanya sulit mengukir sebuah senyuman disaat hati kita benar-benar di patahkan oleh orang yang paling kita say
Saat ini aku sudah berdiri di depan rumah Bapak dan Ibu. Aku bingung, harus masuk atau tidak. Kalau mereka bertanya kenapa aku mencari Mutia, aku harus menjawab apa, tapi kalau hanya berdiri di sini, mana aku tau Mutia ada dimana.Saat aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba Ibu keluar."Loh, Putra. Ngapain malem-malem berdiri di sana? Ayo masuk. Ibu mau ke warung depan sebentar, stok kopi bapakmu sudah habis soalnya." "Ahh, iya, Bu. Aku masuk. Emmh, atau Ibu mau kuantar?" tanyaku."Tidak perlu, kamu masuk saja temani bapakmu. Warung 'kan deket, Put." Ibu terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum canggung, pasti Ibu tau aku hanya basa basi.Di dalam rumah kulihat Bapak sedang menonton acara TV. Aku pun mendekatinya."Assalamu'alaikum, Pak." Aku mencium tangannya dengan takzim."Wa'alaikumsalam warohmatulloh, sendirian kamu, Put?" tanya Bapak. Dia menurunkan kacamatanya sampai batas hidung, lalu menaikannya kembali."Iya, aku sendirian, Pak." Aku memaksakan untuk sedikit tersenyum."Hhhh. Ba
Hari ini aku datang ke rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Syukur kalau bisa bertemu dia di sini, seandainya enggak pun yang penting bisa mendapatkan alamat rumahnya. Kulihat seorang perawat wanita lewat di depanku."Sus, apa Dokter Aldiansyah ada jadwal praktek hari ini?" tanyaku padanya."Dokter Aldiansyah praktek siang ini, Pak, jam sebelas," jawabnya lugas."Oh, iya. Saya ada keperluan dengannya, saya suami dari pasien Dokter Aldiansyah. Apa bisa saya meminta alamat rumah beliau?" Aku berbicara sesopan mungkin, agar terlihat meyakinkan."Emmh, mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu, bukan ranah saya untuk berbicara ini. Saya permisi." Suster itu berjalan melewatiku."Tunggu!" Teriakanku menghentikan langkah suster muda itu. Dia menoleh padaku."Saya mohon, Sus. Ini sangat mendesak, terkait dengan kondisi istri saya." Aku memelas.Suster itu hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan berjalan lagi meninggalkanku.Arrgh, sial. Aku kira ini akan mudah. Sepenting apa, sih
Sudah tiga hari ini Mutia pergi dari rumah. Entah dimana dia tinggal dengan kondisinya yang lemah seperti itu. Aku sangat khawatir pada keadaan Mutia.Aku yang harus tetap bekerja membuat waktuku untuk mencari Mutia begitu terbatas.Lihatlah, tiga hari selepas kepergian Mutia, rumah ini begitu kacau. Aku sampai pusing melihatnya. Perabotan sudah penuh dengan debu, lantainya tidak pernah di sapu atau di pel. Piring dan gelas bekas makan madih menumpuk di westafel, Maura tidak pernah menyentuhnya. Alasannya takut kukunya rusak dan tangannya jadi kasar. Ahh, beginilah rasanya memiliki istri yang hanya pandai merawat diri. Semua pekerjaan rumah terbengkalai. Ini hari libur, aku memanfaatkan waktu untuk membereskan rumah. Sebenarnya bisa saja aku menyewa asisten rumah tangga, tapi Mutia memilih untuk melakukannya sendiri. Aku tidak tau alasannya, padahal ini sangat melelahkan.Aku bingung harus mulai dari mana, hingga akhirnya sapu dan pel-an yang menjadi pilihanku. "Maura, bantulah aku
Aku menjatuhkan bobotku di sofa ruang tamu. Lalu membalik amplop yang ada di tanganku. Aku begitu syok saat melihat tulisan yang tertera di belakang amplop yang kupegang."Mutia," ucapku lirih.********Segera saja aku membuka surat yang ada di dalamnya. Dadaku benar-benar terasa sesak. Tak sanggup membacanya lagi aku melemparkan surat itu ke atas meja. Aku meraup wajahku kasar."Mutia, kamu gegabah," lirihku pelan. "Lho, Mas. Katanya mau nunggu di mobil?" Maura bertanya lalu duduk di sampingku.Aku tidak menjawabnya, pikiranku benar-benar kacau saat ini. Kulihat Maura mengambil surat yang ada di atas meja."Apa ini, Mas?" tanya-nya lagi."Mas, pengadilan agama? Kak Mutia menggugat cerai?" Sebuah pertanyaan yang tidak perlu aku jawab. Karena jawabannya sudah jelas. Ahh, aku benar-benar gusar. "Mutia, apa yang kamu lakukan?" lirihku pelan."Bagus, dong, Mas. Itu artinya aku bakalan jadi istri satu-satunya, yes." Maura bersorak gembira dengan kabar ini. Sebuah ucapan yang seharusnya t
"Maura, kita harus segera menyusul Mutia. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus tau dimana Mutia saat ini tinggal, dan siapa gadis yang bersamanya tadi." Aku menarik paksa tangan Maura."Mas, pelan-pelan. Aku lagi hamil anak kamu, loh, ini. Kalau terjadi apa-apa gimana?" Maura terlihat kesal dengan kecerobohanku."Maaf, maaf, Sayang. Aku lupa, buru-buru soalnya, takut keburu hilang mobil yang membawa Mutia." Aku mengelus perut rata Maura. "Mas, dari pada repot-repot menyusul Kak Mutia, lebih baik kita berbagi kabar bahagia ini dengan orang tua kita, mereka pasti sangat senang, Mas." Maura merengek manja, lengannya bergelayut manja di tanganku. Aku hanya tersenyum menghadapi tingkahnya.Aku tahu Maura sedang mengulur waktu. Tentu saja, karena dia tidak akan pernah suka jika aku lebih memprioritaskan Mutia.Tanpa banyak bicara, langsung saja aku membopong tubuhnya. Dengan langkah cepat segera menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Arrgh, sial! Aku kehilangan lagi jejaknya," umpatku
POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik
Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in
Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt
Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak
"Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke
Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A
"Thanks, udah mau datang," ucapku pada Aldiansyah yang saat ini tengah duduk di hadapanku. Kami bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Menyempatkan untuk bertemu di jam makan siang."Hmm, it's okay. Ada apa?" Tanpa basa basi Aldiansyah langsung bertanya."Emmh, ini ... perihal Mutia.""Aku sudah menduganya. Kenapa? Jangan lagi mengganggunya. Saat ini kehidupannya sudah lebih membaik." Nada bicaranya terkesan ketus. Aku tahu dia tidak menyukaiku, karena aku pun sempat merasakan hal itu pada dirinya. Akan tetapi saat ini, tak ada lagi alasanku membencinya, dia telah berjasa besar dalam kehidupan Mutia, mantan istriku yang posisinya sama sekali belum tergantikan di hatiku."Syukurlah, aku lega mendengarnya. Emmh, sebenarnya aku ingin bertemu Mutia. Bisakah kamu memberi tahu dimana dia berada saat ini. Aku sudah mencoba mencarinya, tapi nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil." Aku berharap Aldiansyah mengabulkan keinginanku."Hhhh, untuk apa? Kedatanganmu hanya
Rasanya permasalahan dalam hidupku tidak pernah selesai. Belum lama ini perceraianku dengan Mutia yang sangat berpengaruh dengan keadaanku sekarang, Maura yang tidak ingin melakukan pekerjaan apapun termasuk mengurusi semua kebutuhanku. Lalu pagi ini, aku di tegur oleh atasan, SP (Surat Peringatan) satu pun keluar. Pasalnya ini bukan pertama kalinya aku melakukan kesalahan di kantor. Aku memang sering datang terlambat karena bangun kesiangan, penampilanku yang lebih sering terlihat berantakan karena barang-barang keperluan untuk aku bekerja harus kusiapkan sendiri. Belum lagi pekerjaanku yang sering terbengkalai, karena lebih sering melamun memikirkan nasibku setelah perginya Mutia dari kehidupanku.Aku tidak pernah membayang nasib pernikahanku akan menjadi seperti ini. Jujur saja, aku sangat merindukan Mutia. Hingga aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumahnya.Tidak, aku tidak akan benar-benar singgah. Hanya lewat saja, lalu memandangi rumah yang penuh dengan kenangan manis itu
POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari