"Maura, kita harus segera menyusul Mutia. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus tau dimana Mutia saat ini tinggal, dan siapa gadis yang bersamanya tadi." Aku menarik paksa tangan Maura."Mas, pelan-pelan. Aku lagi hamil anak kamu, loh, ini. Kalau terjadi apa-apa gimana?" Maura terlihat kesal dengan kecerobohanku."Maaf, maaf, Sayang. Aku lupa, buru-buru soalnya, takut keburu hilang mobil yang membawa Mutia." Aku mengelus perut rata Maura. "Mas, dari pada repot-repot menyusul Kak Mutia, lebih baik kita berbagi kabar bahagia ini dengan orang tua kita, mereka pasti sangat senang, Mas." Maura merengek manja, lengannya bergelayut manja di tanganku. Aku hanya tersenyum menghadapi tingkahnya.Aku tahu Maura sedang mengulur waktu. Tentu saja, karena dia tidak akan pernah suka jika aku lebih memprioritaskan Mutia.Tanpa banyak bicara, langsung saja aku membopong tubuhnya. Dengan langkah cepat segera menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Arrgh, sial! Aku kehilangan lagi jejaknya," umpatku
"Tapi, kamu dan Maura harus pergi dari rumahku." Lanjutnya lagi, senyuman yang baru saja terukir kini harus pudar kembali.Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali. Apa yang di maksud dengan 'harus pergi' oleh Mutia.*******"Apa maksud kamu aku harus pergi?" tanyaku memastikan. Aku menatap dalam manik indah milik Mutia."Aku rasa kamu paham, Mas," jawabnya dingin. Kenapa Mutia jadi seperti ini? Ini bukan Mutia yang aku kenal."Mutia, aku tau kamu wanita baik, istri yang selalu berbakti pada suami. Kenapa sekarang kamu tega berbicara seperti ini? Mengusir suamimu sendiri?" tanyaku heran. "Mas, tidak kah kebaikanku selama ini kamu anggap sebagai baktiku terhadap seorang suami? Aku sampai rela berbagi cinta dengan wanita lain, untuk apa? Untuk kebahagiaanmu, untuk mempertahankan rumah tangga kita. Adakah kamu sebagai suami menghargai perasaan aku sebagai istrimu?" Mutia berurai air mata. Entah sesakit apa yang dirasakannya, dia meremas jilbab di bagian da*anya. "M-Mutia ...." Ucapanku t
POV 3 (Author)Selepas kepergian Putra dan Maura, Mutia mengunci dirinya di kamar. Dia menangis sesenggukan, betapa hatinya begitu hancur saat ini. Perjuangannya untuk tetap bertahan di tengah badai yang menerpa, harus berakhir sampai di sini. Pertahanannya selama ini harus berakhir dengan sia-sia."Aku gagal, Ayah, Bunda. Aku gagal menjadi istri yang baik. Maafkan Mutia, betapa pun Mutia mencoba ikhlas dan kuat, nyatanya hati ini begitu rapuh." Mutia tersedu memeluk lututnya sendiri, wajahnya terbenam di antara kedua lengannya."Peluk Mutia, Ayah. Dekaplah aku, Bunda. Aku merindukan kalian," lirihnya. Suaranya melemah, semakin hilang dan tenggelam diantara isak tangisnya. Mutia pun kehilangan kesadarannya.Begitu berat beban yang ditanggung Mutia. Beban hati dan pikiran membuat kesehatannya semakin menurun.Dari luar, Aldiansyah dan Viona mencoba memanggil Mutia. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Mereka begitu khawatir dengan keadaan Mutia. Mereka sangat paham dengan apa yang tengah
Setelah tiba di rumah sakit, aku segera menuju ruang ICU. Bapak, Ibu dan juga Ayah mengikutiku dari belakang.Mutiaku tengah terbaring lemah dengan banyak kabel yang terpasang di tubuhnya. Saat ini untuk bernafas pun dia sampai harus menggunakan selang oksigen.Aku hanya mampu menatapnya dari luar ruangan yang dibatasi dinding kaca."Mutia," lirihku pelan. Lalu satu isakan kecil keluar dari bibirku bersamaan dengan air mata yang jatuh tak terkendali.Tak berselang lama, Ibu pun ikut menangis saat melihat kondisi menantu kesayangannya masih dalam keadaan tak sadarkan diri."Pak ... Mutia, Pak." Ibu sesenggukan dalam dekapan Bapak."Iya, Bu. Kita do'akan yang terbaik untuk Mutia. Semoga dia cepat sadar. Dia harus tau, banyak orang yang sangat menyayanginya dan tidak ingin kehilangan dia." Bapak mengelus pelan punggung Ibu."Nak Putra, lihatlah istrimu. Dia sedang terbaring lemah karena penyakitnya. Dia yang merelakanmu untuk menikahi putriku karena ingin memberikan kebahagian untukmu dis
Waktu berjalan begitu cepat, proses mediasi sudah kami lewati. Mutia tetap dengan pendiriannya, keputusannya untuk berpisah dariku sudah bulat. Mediasi pun gagal.Hari ini adalah hari putusan sidang, karena aku tidak mempersulitnya maka proses perceraian berjalan dengan lancar. Hanya dengan waktu empat bulan, ikrar talak sudah bisa di bacakan. Jujur saja ini hal terberat yang harus aku lakukan, aku tidak menginginkan perpisahan ini. Meskipun saat ini aku memiliki Maura, dan akan segera mempunyai buah hati, tetap saja Mutia tidak akn tergantikan. Dia punya tempat tersendiri dalam hatiku.Namun, apa boleh dikata. Takdir berkata lain, Mutia memilih menyerah dengan pernikahan kami. Ini bukan salah Mutia, karena memang akulah yang memulainya. Aku yang membuat Mutia akhirnya memilih mundur dari pernikahan poligami yang sedang kami jalani ini.Aku datang bersama Ibu dan Bapak, sengaja tidak kuajak Maura. Aku takut dia membuat kegaduhan dan akan kembali menyakiti hati Mutia.Kulihat Mutia du
Kehidupanku mulai berubah setelah berpisah dengan Mutiara. Aku lebih sering merasa hampa, padahal Maura berada di sampingku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Perasaanku terhadap Maura tidak lagi sedalam dulu saat aku dengan lantangnya menyakiti hati Mutia.Semenjak kehamilannya memasuki usia minggu ke delapan, Maura resign dari kantor. Kini hanya aku yang bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan kami. Aku tetap berusaha semangat demi janin yang sedang dikandung Maura. Buah hati yang selama ini sangat aku nantikan. Sebenarnya aku sudah kehilangan sebagian dari semangat hidupku seiring dengan perginya Mutia dari sisiku. Jika saja bukan karena anakku, untuk pergi bekerja pun aku sudah enggan. Beberapa kali aku ditegur oleh atasanku karena performa kerjaku kian hari kian menurun. Aku lebih sering melamun dan pekerjaanku banyak yang terbengkalai karena tidak bisa selesai tepat waktu. Belum lagi penampilanku yang dianggap berantakan oleh Pak Bos.Seperti pagi ini, aku pamit untuk pergi b
POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari
Rasanya permasalahan dalam hidupku tidak pernah selesai. Belum lama ini perceraianku dengan Mutia yang sangat berpengaruh dengan keadaanku sekarang, Maura yang tidak ingin melakukan pekerjaan apapun termasuk mengurusi semua kebutuhanku. Lalu pagi ini, aku di tegur oleh atasan, SP (Surat Peringatan) satu pun keluar. Pasalnya ini bukan pertama kalinya aku melakukan kesalahan di kantor. Aku memang sering datang terlambat karena bangun kesiangan, penampilanku yang lebih sering terlihat berantakan karena barang-barang keperluan untuk aku bekerja harus kusiapkan sendiri. Belum lagi pekerjaanku yang sering terbengkalai, karena lebih sering melamun memikirkan nasibku setelah perginya Mutia dari kehidupanku.Aku tidak pernah membayang nasib pernikahanku akan menjadi seperti ini. Jujur saja, aku sangat merindukan Mutia. Hingga aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumahnya.Tidak, aku tidak akan benar-benar singgah. Hanya lewat saja, lalu memandangi rumah yang penuh dengan kenangan manis itu
POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik
Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in
Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt
Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak
"Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke
Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A
"Thanks, udah mau datang," ucapku pada Aldiansyah yang saat ini tengah duduk di hadapanku. Kami bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Menyempatkan untuk bertemu di jam makan siang."Hmm, it's okay. Ada apa?" Tanpa basa basi Aldiansyah langsung bertanya."Emmh, ini ... perihal Mutia.""Aku sudah menduganya. Kenapa? Jangan lagi mengganggunya. Saat ini kehidupannya sudah lebih membaik." Nada bicaranya terkesan ketus. Aku tahu dia tidak menyukaiku, karena aku pun sempat merasakan hal itu pada dirinya. Akan tetapi saat ini, tak ada lagi alasanku membencinya, dia telah berjasa besar dalam kehidupan Mutia, mantan istriku yang posisinya sama sekali belum tergantikan di hatiku."Syukurlah, aku lega mendengarnya. Emmh, sebenarnya aku ingin bertemu Mutia. Bisakah kamu memberi tahu dimana dia berada saat ini. Aku sudah mencoba mencarinya, tapi nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil." Aku berharap Aldiansyah mengabulkan keinginanku."Hhhh, untuk apa? Kedatanganmu hanya
Rasanya permasalahan dalam hidupku tidak pernah selesai. Belum lama ini perceraianku dengan Mutia yang sangat berpengaruh dengan keadaanku sekarang, Maura yang tidak ingin melakukan pekerjaan apapun termasuk mengurusi semua kebutuhanku. Lalu pagi ini, aku di tegur oleh atasan, SP (Surat Peringatan) satu pun keluar. Pasalnya ini bukan pertama kalinya aku melakukan kesalahan di kantor. Aku memang sering datang terlambat karena bangun kesiangan, penampilanku yang lebih sering terlihat berantakan karena barang-barang keperluan untuk aku bekerja harus kusiapkan sendiri. Belum lagi pekerjaanku yang sering terbengkalai, karena lebih sering melamun memikirkan nasibku setelah perginya Mutia dari kehidupanku.Aku tidak pernah membayang nasib pernikahanku akan menjadi seperti ini. Jujur saja, aku sangat merindukan Mutia. Hingga aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumahnya.Tidak, aku tidak akan benar-benar singgah. Hanya lewat saja, lalu memandangi rumah yang penuh dengan kenangan manis itu
POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari