Dua bulan berlalu, sejak hari perceraian Eva dengan Andra. Begitu juga hubungan Eva dengan Robi, mereka kini sudah sangat dekat. Robi sudah menganggap mengantar dan menjemput Eva sebagai rutinitasnya. Kedua sahabat Eva juga menyambut manis hubungan mereka. Vira mengatakan kalau ia merasa sangat iri dengan Eva. Ia mengutarakan kalau ingin juga memiliki kekasih seperti pria itu. Namun ia masih belum mendapatkannya. Entah karena jodohnya masih belum tiba atau belum lahir.
Vira menepuk bahu Eva cukup keras. Ia menunjuk ke depan melalui matanya. Eva mengikuti arah pandangan sahabatnya itu. Rupanya ia hendak memberitahu kalau Robi sudah menunggunya di parkiran. Eva tersenyum begitu manis, ia pamit pada kedua sahabatnya untuk pergi terlebih dahulu. Langkahnya terarah menuju Robi yang baru keluar dari mobil. Pria itu nampaknya telah menyadari kalau Eva hendak menghampirinya. Pria itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kanannya. Ya, seperti inilah hubungan asmara yang diinginka
Pernikahan.Untuk kedua kalinya Eva di hadapkan pada satu kata itu. Sebenarnya hatinya masih belum siap untuk menjalin hubungan seperti itu lagi. Selain karena ia masih trauma, ia juga masih belum bisa sepenuhnya melupakan perasaannya pada Andra. Walaupun ia sudah bisa mulai menyukai Robi, bukan berarti perasaannya pada Andra sudah sirna. Ia memutar otaknya dengan susah payah, memikirkan kalimat yang tepat untuk sedikit mengulur waktu. Jika harus menjawabnya sekarang, ia bisa memilih pilihan yang salah.Eva menggigit bibir bawahnya dengan panik. Berulang kali ia menatap Robi dan ibunya secara bergantian. Ia melihat sorot mata penuh harap dari pria tersebut. Sedangkan ibunya menatapnya dengan penuh cemas. Namun baru saja ia ingin membuka mulutnya, Robi langsung mendeham pelan."Saya tahu Eva pasti masih belum siap," kata Robi sambil tersenyum manis.Eva mengangkat kedua alisnya dengan terkejut, lalu mengangguk pelan. "I-iya, benar. Saya masih belum siap."
Andra menyandarkan kepalanya di sebuah sofa bekas yang ada di rooftop bangunan tempat tinggalnya ini. Sebenarnya ini tidak bisa disebut dengan kost, lebih tepat di bilang rumah susun. Tapi tempat ini lebih bersih hingga membuatnya sangat nyaman berada di sini. Penghuninya juga tidak mengganggu, ia bisa tidur dengan nyaman. Selain itu, ia juga bisa terbebas dari hidupnya yang berat.Andra menghela napasnya pelan, menengadahkan kepalanya ke langit yang biru. Ia meringis saat cahaya matahari langsung merobos masuk ke dalam matanya. Ia memejamkan matanya erat, membiarkan panas matahari membakar tubuhnya. Terdengar suara langkah kaki dari tangga. Nampaknya akan ada penghuni lain yang naik. Ia segera bangun dari sofa, lalu mengambil gelas dan teko yang ia bawa. Ia berlari kecil menuju tangga, lalu ia berpapasan dengan Udin yang tengah merengut. Andra yang semula hanya berlari kecil itu langsung mempercepat langkahnya. Suasana sekitar yang sepi, memudahkannya menjadi mangsa bagi seo
Eva tidak tahu lagi apa yang dipikirannya. Ia benar-benar mendatangi tempat Andra bekerja. Ia melihat Erfan yang tengah menelusui koridor dengan tatapan kosongnya. Eva langsung berlari kecil menghampiri pria itu. Namun nampaknya pria itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Ia tetap berjalan melewati Eva yang tengah menatapnya dengan bingung. Eva yang mulai kesal langsung menendang kaki Erfan, hingga membuat pria itu meringis dan pincang. Eva tersenyum puas melihat korbannya yang kesakitan.Erfan menoleh, keadaannya sangat memperihatinkan. Eva sangat terkejut melihat apa yang terjadi dengannya. Terutama saat melihat lingkaran hitam di matanya. Eva tidak bisa lagi membedakannya dengan tuyul yang ada di film. Tanpa pikir panjang, Eva langsung menarik tubuh Erfan ke kamar mandi. Pria itu mengikutinya tanpa memberontak sedikit pun.Sesampainya di depan kamar mandi, Eva langsung mendorongnya ke dalam ruangan yang gelap tersebut. Kemudian ia menutupnya dengan keras. Mem
Erfan mendecak sebal saat melirik Eva dari spion motornya. Padahal ia sudah membayangkan pergi bersama Vira. Jika dipikir-pikir, benar juga. Kalau naik motor tentu saja hanya berdua, kalau pun bertiga, bisa saja tapi sama karung beras. Erfan mendesis pelan, merutuki betapa bodoh dirinya. Menjadi guru ternyata tidak serta merta membuat seseorang menjadi secerdas kelihatannya. Buktinya Erfan masih saja bisa dibodohi dengan hal remeh seperti ini."Fan, kita mau cari ke mana?" tanya Eva sambil menoleh ke kanan dan kiri."Ke toilet umum aja, Va!" celetuk Erfan dengan ketus.Eva mencebikkan bibirnya. "Judes banget lo!""Lagian lo bohongin gue!" kata Erfan dengan suara meninggi.Eva mendecak pelan, ia menepuk bahu Erfan dengan keras. "Diam lo! Orang yang lihat bisa salah paham ngira kita pengantin yang lagi berantem.""Eh ma—""Sssttt!!"Erfan hanya bisa mendecak sebal, ia belum sempat membantah tapi Eva sudah menyuruhnya diam.
Andra melirik jam yang melingkar di tangannya. Entah ia yang datang terlalu cepat atau Eva yang terlambat. Ia mengetukkan telunjuknya di meja. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk. Mereka sepakat bertemu di restoran tempat pertama mereka bertemu. Walau jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal Andra yang sekarang, tapi ia tetap menyetujuinya. Jantungnya berdegup cepat, otaknya seakan terus berpikir mencari topik apa yang akan ia bahas saat sudah bertemu dengan wanita itu.Tak lama, lonceng di pintu restoran itu berbunyi. Andra menoleh cepat ke arah pintu. Nampak Eva yang tengah tersenyum ke arahnya. Wanita itu nampak sangat cantik dibalut dengan dress putih selutut. Rambutnya yang biasa terikat itu, ia biarkan tergerai bebas. Eva berjalan ke arahnya, entah mengapa ia merasa kalau wanita itu lebih cantik dari biasanya. Apakah karena selama ini Andra terlalu sibuk membohongi perasaannya sendiri?"Maaf saya telat," kata Eva sambil menarik kursi yang akan menjadi te
Setelah memantapkan hatinya, Eva berhasil menyingkirkan sedikit demi sedikit perasaannya pada Andra. Bahkan untuk melihat status pria itu di sosial media saja, ia sudah mulai terbiasa. Memang sudah seharusnya ia tegas pada perasaannya. Walaupun ia masih menyukai Andra, namun kecil kemungkinan bagi mereka untuk kembali bersama.Terdengar ketukan pintu pelan dari luar ruangan. Eva menoleh sekilas lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Pintu itu langsung terbuka dan menampakkan sosok Vira dengan wajah lesunya. Ia memeluk Eva dari belakang. Terdengar helaan napas pelan lolos dari bibirnya. Eva melirik sahabatnya itu lewat ekor matanya."Ada apa lagi hari ini?" tanya Eva.Vira mengerucutkan bibirnya. Ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Nampaklah sebuah gantungan kunci yang rusak di telapak tangannya. Eva bisa mengenali dengan jelas gantungan kunci tersebut. Ia memberikan itu pada Vira saat pertama kali bertemu. Eva menatap sahabatnya itu, lalu tertawa cukup
Sesuai perjanjian, Robi menjemput Eva tepat pukul 5 sore. Setelah tiba di parkiran, Robi bisa melihat Eva yang sudah menunggu di depan pintu kantor. Eva melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum lebar. Biasanya ia akan otomatis tersenyum. Tapi kali ini, bibirnya terasa kaku hingga sulit untuk menarik sudut bibirnya. Robi keluar dari mobilnya lalu berjalan menghampiri Eva. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menarik kedua sudut bibirnya.Eva langsung menghambur ke arahnya sambil tersenyum lebar. Robi tersenyum samar, lalu menggandeng lengan Eva. Perlahan mereka melangkah ke mobil yang ada di parkiran. Eva menceritakan bagaimana pekerjaannya hari ini, namun entah mengapa Robi sama sekali tidak mendengarkannya. Pikirannya tengah sibuk berkeliaran di mana-mana. Otaknya seperti menanggung banyak beban pikiran saat ini. Ia melirik sekilas ke arah Eva. Wanita itu masih belum menyadari perubahannya tersebut."Bagaimana kalau nanti kita makan dulu?" kata Eva sambil tersenyum leba
Keesokan harinya, Eva datang ke tempat bekerjanya dengan wajah murung. Baru datang beberapa menit, ia langsung merebahkan kepalanya di meja. Ia tidak bersemangat sama sekali menjalani harinya. Vira dan Ina belum datang, padahal ia ingin bercerita tentang apa yang terjadi kemarin. Ia tidak tahu apa-apa, tapi Robi tiba-tiba mengacuhkannya. Eva melipat kedua tangan di meja untuk menjadikannya sebagai bantal.Setengah jam kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Terdengar helaan napas pelan dari arah pintu. Eva mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke belakang. Rupanya Vira terlebih dahulu datang dibandingkan Ina. Rekan kerjanya itu terlihat masih mengantuk, ia menguap beberapa kali tanpa menutup mulutnya. Eva yang ingin bercerita, langsung mengurungkan niatnya. Percuma jika cerita pada Vira yang masih mengantuk, tidak akan nyambung. Ia akan menunggu sampai Ina datang.Lebih dari 1 jam, Ina belum juga datang. Eva menoleh ke arah jam dinding yang ada di belakangnya. Kurang 5 menit
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan