Melihat Eva yang sudah terlihat sehat, Andra memutuskan untuk membawanya pulang. Jika terlalu lama berada di klinik, bisa-bisa uangnya akan terkuras habis. Mengingat biaya perawatan perharinya cukup menguras kantong. Eva juga terlihat senang saat diberitahu akan segera pulang. Ia bilang sudah merasa bosan berada di tempat tersebut. Andra langsung menuju ke tempat pembayaran untuk melunasi semua biaya perawatan Eva. Sedangkan Eva sibuk merapikan kamar yang bekas menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari itu. Ia juga membereskan sampah bekas makanan yang ada di setiap sudut kasur. Andra kembali ke ruangan yang masih di tempati Eva, lalu ia membawa tas milik wanita tersebut.
"Ayo pulang, Va," kata Andra.
Eva mengangguk lalu menghampiri Andra yang berdiri di bibir pintu. Tapi walau mereka terlihat sangat dekat, seperti masih ada jarak yang tak terlihat. Eva masih terus menjaga jaraknya dengan Andra, karena dia sendiri tidak tahu pria itu orang yang seperti apa. Ia jug
Akhirnya Andra pergi bekerja berkat Eva yang berulang kali memaksanya. Walau ia masih merasa belum tenang, tapi ia tetap melakukan apa yang disuruh oleh wanita itu. Selama di perjalanan, matanya tak kunjung berhenti menoleh ke sekitar. Ia terus berjaga-jaga jika ada seseorang yang mencurigakan. Setelah dirasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, Andra baru bisa berangkat kerja dengan perasaan tenang. Andra menaiki angkutan kota seperti biasa. Saat angkutan kota itu sudah melaju, tiba-tiba Andra melihat sosok berpakaian hitam yang muncul dari balik rumah makan. Kedua mata Andra langsung melebar. Ia hendak turun, tapi posisi duduknya saat ini sangat sulit karena berada paling pojok. Ia mengambil ponsel dari sakunya untuk menghubungi Eva. Tapi ia lupa kalau wanita itu belum punya ponsel. Ia mengusap wajahnya dengan kasar."Pak, bisa turun sebentar?" tanya Andra pada sopir angkutan kota tersebut."Yah, ga bisa," jawab sopir itu.Andra mendesis pelan, ia melihat soso
"Tolong dengarkan ucapan saya, sekali saja!"Andra tidak henti-hentinya memarahi Eva. Sejak kepulangannya yang dadakan hingga dua jam setelahnya, ia terus saja mengungkapkan isi hatinya. Ia mengungkapkan bagaimana cemasnya ia dengan Eva saat ini. Ia menyodorkan sebuah kotak pada Eva. Setelah itu ia kembali pergi ke tempat kerjanya. Ia tidak boleh terlalu menuruti perasaannya dan mengabaikan pekerjaan. Beberapa menit setelah kepergian Andra, Eva langsung membuka kotak tersebut. Awalnya ia mengira itu hanya kotak berisi semprotan merica untuk jaga diri. Ternyata isinya adalah sebuah ponsel. Eva tersenyum tipis lalu menghidupkan ponsel tersebut. Rupanya ponsel itu sudah di aktifkan oleh Andra. Ia mengecek kontak, ternyata ada satu nomor yang diberi nama Andra.Eva langsung menghubungi nomor tersebut. Tapi sayangnya tidak diangkat. Mungkin saja Andra sedang berada di perjalanan saat ini. Makanya dia tidak mengangkat teleponnya. Eva beralih pada sosial media. Ia membuat sat
Eva hanya terdiam saat dirinya dibawa oleh pria berpakaian hitam itu. Ia menatap punggung pria itu tanpa melakukan sedikit pun perlawanan. Ia mengikuti ke mana langkah kaki pria itu pergi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah mobil avanza berwarna hitam. Pria itu menyuruh Eva untuk masuk terlebih dahulu. Sedangkan pria itu nampak tengah menghubungi seseorang. Dari dalam mobil, Eva mendengar suara sirine polisi. Sebenarnya ia ingin keluar dari sana. Tapi jika ia kabur lagi, ia akan terus diganggu oleh pria berbaju hitam ini. Akhirnya ia tetap memilih diam di dalam mobil. Pria itu sesekali menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. Eva mengerti tatapan yang mengartikan agar tetap diam di dalam sana.Eva melihat ponselnya yang ada di dashboard mobil itu berbunyi. Ia bisa menebak bahwa panggilan itu datang dari Andra. Mengingat hanya pria itu yang mengetahui nomor teleponnya. Tidak ada lagi yang tahu, kecuali Andra yang menyebarkan nomornya. Ponselnya kembali meredup, panggi
Hal pertama yang dilakukan Eva saat berhasil mendapatkan ingatannya kembali adalah bekerja. Ia memutuskan untuk pergi bekerja pagi ini. Semalaman penuh ia menjaga Andra di rumah sakit, ia berhasi menemukan kepingan ingatannya. Eva menatap gedung yang entah sudah berapa lama tidak didatanginya. Ia tersenyum tipis lalu berjalan menuju pintu masuk. Nampak kedua satpam yang biasa menjaga gedung itu menatapnya dengan wajah terkejut. Eva sendiri sudah tahu apa yang membuat mereka terkejut. Tentu saja mereka sudah berpikir kalau Eva mengundurkan diri."Loh, mba Eva? Kok bisa ada di sini?" tanya salah satu satpam yang ada di sana.Eva tersenyum tipis ke arah satpam tersebut. "Saya baru selesai cuti, Pak."Kedua satpam itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mempersilakan Eva untuk masuk ke dalam bangunan besar tersebut. Pemandangan yang sekian lama tidak ia lihat. Ia benar-benar merasa terlahir kembali. Saat tengah sibuk memperhatikan sekitar, ia dikejutkan den
Sepulang bekerja, Eva menyempatkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia membawakan makanan kesukaan Andra, yaitu semur tahu. Untung saja makanan kesukaan pria itu aman dikonsumsi saat kondisinya seperti ini. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan tempat Andra dirawat. Suasana di rumah sakit saat itu tidak terlalu ramai, hingga bisa dengan mudah naik melewati tangga tanpa harus berdesakan.Eva mengetuk pintu ruangan Andra beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Itu berarti kedua orang tua Andra sudah pulang. Ia membuka pintu kamar itu secara perlahan. Alangkah terkejutnya Eva saat melihat Andra tengah berdiri menghadap ke jendela. Lalu pria itu menatapnya dengan wajah datar. Hal itu tentu saja membuat Eva menjadi bingung. Padahal ia sama sekali tidak melakukan kesalahan, tapi mengapa pria itu bersikap dingin padanya.Eva berjalan mendekati Andra yang kembali fokus memandang ke luar jendela. Ia tidak peduli pada Eva yang sudah ada di sampingnya. Eva hanya bisa cemberut sa
Eva melemparkan tatapan tajamnya pada Ina yang sedari tadi menambah pekerjaannya. Ia sudah benar-benar lelah menuruti perintah Andra semalaman. Lalu sekarang ia harus bekerja di bawah tekanan Ina dan Vira yang seperti anjing gila. Eva menjambak rambutnya dengan frustasi. Andai saja saat itu ia tidak hilang ingatan, pasti saat ini ia bisa bekerja dengan santai sambil memesan makanan. Eva menatap layar yang ada di depannya, ia mulai menggores apa pun yang ada di kepalanya. Ia terus membuat garis tak beraturan, hingga akhirnya membentuk sesuatu yang membuat matanya langsung melotot. Ia langsung menghapus hasil karya dari jari-jari mungilnya tersebut. Ia menggelengkan kepalanya sekuat mungkin. Ia tidak boleh terus menerus memikirkan Andra saat ini. Jika itu terjadi, pekerjaannya tidak akan selesai sampai tua nanti."Va, Andra telepon nih," kata Ina.Eva menoleh ke arah Ina dengan tatapan tajamnya. Lalu ia menyambar ponsel itu dari tangan Ina, ia menggeser layarnya lalu men
"Maaf, saya terlalu panik. Luka teman saya ini berdarah," kata Erfan dengan panik.Dokter muda itu menaikkan sebelah alisnya. Lalu ia memasuki ruangan Andra untuk memeriksa keadaan pasiennya tersebut. Andra menatap sekilas ke arah Erfan yang terdiam di tempatnya. Ia tersenyum miring, lalu kembali meringis saat dokter muda itu menyentuh lukanya. Dokter itu mendorong Andra ke tempat tidurnya. Erfan yang melihat itu pun langsung tercengang."Dok, tolong pelan-pelan," kata Andra.Dokter itu menoleh ke arah Erfan dengan tatapan tajamnya. "Salahkan teman kamu itu. Dia sudah salah menarik orang!"Erfan menunjuk dirinya dengan ragu. "Sa-saya?""Lo ngapain sih, Fan?" tanya Andra dengan frustasi."Apa?" tanya Erfan dengan wajah bingung."Lo manggil siapa ini?" tanya Andra.Erfan menunjuk dokter muda yang ada di dekat Andra. "Itu ... itu dokter, Ndra. Dokter—""Saya dokter hewan!" tukas wanita itu.Erfan langsung melot
"Kamu itu istri saya!"Eva mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Untuk pertama kalinya ia melihat Andra sefrustasi itu. Bahkan sampai suaranya lebih tinggi dari biasanya. Andra mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terus menatap Eva dengan wajah seriusnya. Sedangkan Eva, terus berusaha untuk tidak tertawa saat ini. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin tertawa karena wajah Andra sekarang ini sangat lucu."Padahal saya cuma bercanda loh," kata Eva."Bercanda bagaimana?" tanya Andra sambil menautkan kedua alisnya."Saya bercanda bilang ke cewek itu kalau saya pacarnya Erfan," jawab Eva.Andra mendesis pelan. "Tapi itu bisa saja bikin wanita itu salah paham, Va."Eva mengedikkan bahunya. "Lagipula, saya ga akan ketemu sama cewek itu lagi.""Tetap ga bisa, Va!" kata Andra sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Eva."Kenapa?" tanya Eva dengan bingung.Andra hampir membuka mulutnya, tapi ia langsung mengatupkannya. Ia tidak
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan