"Kamu itu istri saya!"
Eva mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Untuk pertama kalinya ia melihat Andra sefrustasi itu. Bahkan sampai suaranya lebih tinggi dari biasanya. Andra mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terus menatap Eva dengan wajah seriusnya. Sedangkan Eva, terus berusaha untuk tidak tertawa saat ini. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin tertawa karena wajah Andra sekarang ini sangat lucu.
"Padahal saya cuma bercanda loh," kata Eva.
"Bercanda bagaimana?" tanya Andra sambil menautkan kedua alisnya.
"Saya bercanda bilang ke cewek itu kalau saya pacarnya Erfan," jawab Eva.
Andra mendesis pelan. "Tapi itu bisa saja bikin wanita itu salah paham, Va."
Eva mengedikkan bahunya. "Lagipula, saya ga akan ketemu sama cewek itu lagi."
"Tetap ga bisa, Va!" kata Andra sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Eva.
"Kenapa?" tanya Eva dengan bingung.
Andra hampir membuka mulutnya, tapi ia langsung mengatupkannya. Ia tidak
Eva tersenyum kaku menanggapi setiap pertanyaan yang diucapkan oleh mertuanya tersebut. Mereka tak henti-hentinya menyinggung masalah anak. Padahal mereka yang membuat kontrak pernikahan selama 5 bulan itu. Bagaimana bisa mereka punya anak sedangkan usia pernikahan mereka hanya tersisa satu bulan lebih satu hari. Eva menoleh pada Andra, pria itu sudah tertidur sejak tadi. Sial sekali, Eva dibiarkan sendiri menghadapi setiap pertanyaan dari kedua orang tua Andra. Ia ingin sekali mengatakan isi hatinya. Tapi bisa-bisa mereka marah besar, karena isi hati Eva saat ini berupa kata-kata yang tidak enak didengar.Saat mama Andra tengah berbicara bagaimana cepatnya ia memiliki anak, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Nampak Erfan yang terkejut karena ruangan itu sudah ramai. Kali ini Eva yang merasa sangat terselamatkan dengan kehadiran Erfan. Kini perhatian kedua orang tua Andra tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu itu. Erfan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Ia me
"Saya cuma mau minta, tolong jangan libatkan perasaan dalam hubungan yang singkat ini."Eva merasa seperti tersambar petir saat mendengar ucapan Andra. Ia ingin menolak permintaan pria itu, tapi mulutnya seakan terkunci. Ia benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa saat ini. Ia terpaksa menganggukkan kepalanya. Walau ia tidak yakin bisa melakukan sesuai dengan permintaan Andra. Ia sudah terlanjur melibatkan perasaannya dalam hubungan ini. Ia tahu Andra sama sekali tidak memiliki perasaan padanya, tapi apakah tidak ada kesempatan untuknya? Eva menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senatural mungkin, walaupun hatinya benar-benar terasa sakit. Andra yang melihat respon Eva ikut merasa lega. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan wanita itu saat ini."Oke, permainan selesai!" kata Andra.Andra langsung bangun dari tempat duduknya. Ia pamit untuk pergi keluar, menjemput pesanan mereka. Eva hanya bisa mengiyakan semua ucapan Andra, karena ia sama sek
Eva sama sekali tidak melihat kehadiran Andra di apartemen. Berarti pria itu memang tidak berniat untuk pergi ke sana. Bisa saja saat ini ia sedang mengunjungi wanita yang ia temui di rumah sakit itu, atau mungkin menemui wanita lain. Eva mendecih pelan, memikirkan berapa banyak wanita yang menjadi simpanan Andra. Memang wajah Andra sangat mendukung, tapi sifatnya sama sekali tidak. Ia sempat ragu kalau Andra bisa mendapat wanita lain, tapi ternyata semua laki-laki memang punya pesonanya masing-masing. Andra sudah mendapatkan wanita yang menjadi pilihannya.Eva memasukkan dengan asal semua barangnya ke dalam koper. Sekiranya sudah tidak muat, ia langsung menutupnya. Ia tidak mempedulikan barangnya yang masih belum masuk ke dalam koper. Ia langsung menarik kopernya keluar dari dalam kamar. Setengah berlari ia menuju pintu keluar, untung saja suasana sangat sepi. Ia juga tidak merasakan adanya tanda-tanda kehadiran Andra. Ini saatnya ia untuk pergi ke rumah orang tuanya d
Eva memandang keluar lewat jendela ruangannya. Ia tetap menjalani harinya seperti biasa walaupun hatinya benar-benar kacau. Ia memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tertarik. Sosok Andra terus singgah ke kepalanya sampai membuat fokusnya terbagi. Ia teringat kenangan saat bersama dengan pria itu. Pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan buruk. Lalu hari pertama tinggal di apartemen. Tanpa sadar ia tersenyum begitu natural saat mengingat garis polisi yang membelah apartemen itu menjadi dua bagian. Ia masih ingat bagaimana luas wilayahnya, ia bahkan mendapat kasur yang nyaman. Berbeda dengan kondisi wilayah Andra yang jauh dari kata layak. Untuk pertama kalinya Eva menyadari sosok lain yang tersembunyi di dalam sifat cuek Andra. Sebenarnya pria itu benar-benar hangat dan selalu mengalah. Ia tidak pernah merasa terpaksa melakukan sesuatu untuk pria itu.Tidak, ia pernah merasa terpaksa.Ia merasa sangat terpaksa saat Andra memintanya untuk tidak melibatkan pera
Sepulang bekerja, Andra menyempatkan diri untuk datang ke rumah mertuanya. Entah sudah berapa lama, ia tidak mengunjungi rumah tersebut. Sebelum memasuki kawasan itu, Andra mengintip dari celah gerbang rumah tersebut. Ia memastikan terlebih dahulu kalau Eva tidak ada di sana. Jika ia bertemu dengan Eva sekarang, ia tidak bisa membicarakan semuanya secara baik-baik dan berakhir dengan pertengkaran. Setelah memastikan tidak ada Eva, ia langsung menekan bel rumah tersebut. Cukup lama, sampai ia harus menekan bel itu lebih dari 5 kali. Akhirnya ia mendengar suara pintu yang terbuka. Andra menarik napasnya dalam-dalam, ia bersiap untuk apa pun yang akan dikatakan oleh mertuanya tersebut. Seorang wanita keluar dengan senyum manisnya. Selama ini, memang hanya ibu mertuanya yang paling pengertian. Andra terus mengamati wanita yang sedang membuka gerbang rumah tersebut."Loh, Ada apa Andra? Cari Eva?" tanya Linda.Andra menggaruk tengkuknya dengan senyum kikuk. Ia menggeleng pe
Eva merasa semua ini seperti mimpi. Kini ia berada di dalam ruangan kerjanya. Ia memilih berdiam diri di sana sampai rasa sakitnya mereda. Ia sama sekali tidak memberitahukan kedua orang tuanya. Satu-satunya orang yang ia hubungi hanyalah Ina. Ia meminta sahabatnya itu untuk meminjamkannya beberapa baju selama tinggal di sana. Ina langsung mengiyakan permintaan Eva tanpa menanyakan apa pun. Ia bersyukur memiliki sahabat yang pengertian seperti Ina. Mungkin karena wanita itu lebih dewasa dari Eva, jadi ia bisa mengerti situasi saat ini. Eva merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam ruangan kerjanya tersebut. Semua ucapan Andra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Harusnya ia sudah siap dengan hal itu, tapi entah mengapa ia malah melarikan diri seperti ini. Ia tersenyum kecil, lalu mengusap wajahnya dengan kasar."Cukup, Va! Lupain Andra!" kata Eva sambil mengepalkan kedua tangannya.Ia memang sudah bertekad untuk melupakan pria itu, tapi entah mengapa sangat sulit.
Andra menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia sudah tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Padahal ia merasa pilihannya ini benar. Ia sudah memperingatkan Eva agar tidak melibatkan perasaan dalam hubungan ini. Tapi nampaknya wanita itu tidak setuju dengannya. Andra mengambil makanan ringan yang ada di meja, lalu melemparnya ke arah Erfan yang sedang sibuk dengan ponsel. Untuk pertama kalinya ia merasa iri dengan hidup sahabatnya itu. Erfan bisa hidup sesantai itu tanpa memikirkan sesuatu yang merepotkan seperti masalah percintaan. Jika ia bisa memilih hidup, rasanya ia ingin hidup seperti Erfan.Erfan yang merasa terganggu itu melempar kembali makanan ringan tepat ke wajah Andra. Ia sama sekali tidak memedulikan wajah Andra yang sudah berubah menjadi monster. Andra kembali melempar makanan ringan itu dengan kekuatan penuh. Tapi sialnya Erfan berhasil mengelak hingga bungkusan makanan ringan itu menabrak pintu. Erfan membulatkan mulutnya saat melihat bungkus makanan itu terb
Eva memandang Andra yang masih bertengger di atas motornya. Walau wajah pria itu terlihat tidak setuju, tapi dia sama sekali tidak bergerak. Eva berdeham pelan, ia mencoba untuk berpikir tentang apa yang akan ia bicarakan saat ini. Sejujurnya, ia belum menyiapkan apa pun untuk pertemuan dadakan ini. Ia menoleh sekilas ke arah taman, Ina masih berada di sana sambil mengepalkan sebelah tangannya. Eva mendesis pelan, ia menyesali keputusannya tersebut. Andai waktu bisa diputar kembali, ia tidak akan datang hanya karena rasa kasihan. Akibat terlalu lama berdiri, akhirnya Eva merasa kedua kakinya sangat pegal. Ia menatap Andra yang nampak sangat nyaman duduk di atas motornya. Kalau seperti ini, ia yang merasa dirugikan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menemukan sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menunggu angkutan umum. Eva menunjuk ke arah kursi itu. Andra pun mengikuti arah jari wanita tersebut."Kita duduk di sana," kata Eva.Andra menaikkan sebelah alisnya. "B
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan