Eva tersenyum kaku menanggapi setiap pertanyaan yang diucapkan oleh mertuanya tersebut. Mereka tak henti-hentinya menyinggung masalah anak. Padahal mereka yang membuat kontrak pernikahan selama 5 bulan itu. Bagaimana bisa mereka punya anak sedangkan usia pernikahan mereka hanya tersisa satu bulan lebih satu hari. Eva menoleh pada Andra, pria itu sudah tertidur sejak tadi. Sial sekali, Eva dibiarkan sendiri menghadapi setiap pertanyaan dari kedua orang tua Andra. Ia ingin sekali mengatakan isi hatinya. Tapi bisa-bisa mereka marah besar, karena isi hati Eva saat ini berupa kata-kata yang tidak enak didengar.
Saat mama Andra tengah berbicara bagaimana cepatnya ia memiliki anak, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Nampak Erfan yang terkejut karena ruangan itu sudah ramai. Kali ini Eva yang merasa sangat terselamatkan dengan kehadiran Erfan. Kini perhatian kedua orang tua Andra tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu itu. Erfan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Ia me
"Saya cuma mau minta, tolong jangan libatkan perasaan dalam hubungan yang singkat ini."Eva merasa seperti tersambar petir saat mendengar ucapan Andra. Ia ingin menolak permintaan pria itu, tapi mulutnya seakan terkunci. Ia benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa saat ini. Ia terpaksa menganggukkan kepalanya. Walau ia tidak yakin bisa melakukan sesuai dengan permintaan Andra. Ia sudah terlanjur melibatkan perasaannya dalam hubungan ini. Ia tahu Andra sama sekali tidak memiliki perasaan padanya, tapi apakah tidak ada kesempatan untuknya? Eva menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senatural mungkin, walaupun hatinya benar-benar terasa sakit. Andra yang melihat respon Eva ikut merasa lega. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan wanita itu saat ini."Oke, permainan selesai!" kata Andra.Andra langsung bangun dari tempat duduknya. Ia pamit untuk pergi keluar, menjemput pesanan mereka. Eva hanya bisa mengiyakan semua ucapan Andra, karena ia sama sek
Eva sama sekali tidak melihat kehadiran Andra di apartemen. Berarti pria itu memang tidak berniat untuk pergi ke sana. Bisa saja saat ini ia sedang mengunjungi wanita yang ia temui di rumah sakit itu, atau mungkin menemui wanita lain. Eva mendecih pelan, memikirkan berapa banyak wanita yang menjadi simpanan Andra. Memang wajah Andra sangat mendukung, tapi sifatnya sama sekali tidak. Ia sempat ragu kalau Andra bisa mendapat wanita lain, tapi ternyata semua laki-laki memang punya pesonanya masing-masing. Andra sudah mendapatkan wanita yang menjadi pilihannya.Eva memasukkan dengan asal semua barangnya ke dalam koper. Sekiranya sudah tidak muat, ia langsung menutupnya. Ia tidak mempedulikan barangnya yang masih belum masuk ke dalam koper. Ia langsung menarik kopernya keluar dari dalam kamar. Setengah berlari ia menuju pintu keluar, untung saja suasana sangat sepi. Ia juga tidak merasakan adanya tanda-tanda kehadiran Andra. Ini saatnya ia untuk pergi ke rumah orang tuanya d
Eva memandang keluar lewat jendela ruangannya. Ia tetap menjalani harinya seperti biasa walaupun hatinya benar-benar kacau. Ia memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tertarik. Sosok Andra terus singgah ke kepalanya sampai membuat fokusnya terbagi. Ia teringat kenangan saat bersama dengan pria itu. Pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan buruk. Lalu hari pertama tinggal di apartemen. Tanpa sadar ia tersenyum begitu natural saat mengingat garis polisi yang membelah apartemen itu menjadi dua bagian. Ia masih ingat bagaimana luas wilayahnya, ia bahkan mendapat kasur yang nyaman. Berbeda dengan kondisi wilayah Andra yang jauh dari kata layak. Untuk pertama kalinya Eva menyadari sosok lain yang tersembunyi di dalam sifat cuek Andra. Sebenarnya pria itu benar-benar hangat dan selalu mengalah. Ia tidak pernah merasa terpaksa melakukan sesuatu untuk pria itu.Tidak, ia pernah merasa terpaksa.Ia merasa sangat terpaksa saat Andra memintanya untuk tidak melibatkan pera
Sepulang bekerja, Andra menyempatkan diri untuk datang ke rumah mertuanya. Entah sudah berapa lama, ia tidak mengunjungi rumah tersebut. Sebelum memasuki kawasan itu, Andra mengintip dari celah gerbang rumah tersebut. Ia memastikan terlebih dahulu kalau Eva tidak ada di sana. Jika ia bertemu dengan Eva sekarang, ia tidak bisa membicarakan semuanya secara baik-baik dan berakhir dengan pertengkaran. Setelah memastikan tidak ada Eva, ia langsung menekan bel rumah tersebut. Cukup lama, sampai ia harus menekan bel itu lebih dari 5 kali. Akhirnya ia mendengar suara pintu yang terbuka. Andra menarik napasnya dalam-dalam, ia bersiap untuk apa pun yang akan dikatakan oleh mertuanya tersebut. Seorang wanita keluar dengan senyum manisnya. Selama ini, memang hanya ibu mertuanya yang paling pengertian. Andra terus mengamati wanita yang sedang membuka gerbang rumah tersebut."Loh, Ada apa Andra? Cari Eva?" tanya Linda.Andra menggaruk tengkuknya dengan senyum kikuk. Ia menggeleng pe
Eva merasa semua ini seperti mimpi. Kini ia berada di dalam ruangan kerjanya. Ia memilih berdiam diri di sana sampai rasa sakitnya mereda. Ia sama sekali tidak memberitahukan kedua orang tuanya. Satu-satunya orang yang ia hubungi hanyalah Ina. Ia meminta sahabatnya itu untuk meminjamkannya beberapa baju selama tinggal di sana. Ina langsung mengiyakan permintaan Eva tanpa menanyakan apa pun. Ia bersyukur memiliki sahabat yang pengertian seperti Ina. Mungkin karena wanita itu lebih dewasa dari Eva, jadi ia bisa mengerti situasi saat ini. Eva merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam ruangan kerjanya tersebut. Semua ucapan Andra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Harusnya ia sudah siap dengan hal itu, tapi entah mengapa ia malah melarikan diri seperti ini. Ia tersenyum kecil, lalu mengusap wajahnya dengan kasar."Cukup, Va! Lupain Andra!" kata Eva sambil mengepalkan kedua tangannya.Ia memang sudah bertekad untuk melupakan pria itu, tapi entah mengapa sangat sulit.
Andra menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia sudah tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Padahal ia merasa pilihannya ini benar. Ia sudah memperingatkan Eva agar tidak melibatkan perasaan dalam hubungan ini. Tapi nampaknya wanita itu tidak setuju dengannya. Andra mengambil makanan ringan yang ada di meja, lalu melemparnya ke arah Erfan yang sedang sibuk dengan ponsel. Untuk pertama kalinya ia merasa iri dengan hidup sahabatnya itu. Erfan bisa hidup sesantai itu tanpa memikirkan sesuatu yang merepotkan seperti masalah percintaan. Jika ia bisa memilih hidup, rasanya ia ingin hidup seperti Erfan.Erfan yang merasa terganggu itu melempar kembali makanan ringan tepat ke wajah Andra. Ia sama sekali tidak memedulikan wajah Andra yang sudah berubah menjadi monster. Andra kembali melempar makanan ringan itu dengan kekuatan penuh. Tapi sialnya Erfan berhasil mengelak hingga bungkusan makanan ringan itu menabrak pintu. Erfan membulatkan mulutnya saat melihat bungkus makanan itu terb
Eva memandang Andra yang masih bertengger di atas motornya. Walau wajah pria itu terlihat tidak setuju, tapi dia sama sekali tidak bergerak. Eva berdeham pelan, ia mencoba untuk berpikir tentang apa yang akan ia bicarakan saat ini. Sejujurnya, ia belum menyiapkan apa pun untuk pertemuan dadakan ini. Ia menoleh sekilas ke arah taman, Ina masih berada di sana sambil mengepalkan sebelah tangannya. Eva mendesis pelan, ia menyesali keputusannya tersebut. Andai waktu bisa diputar kembali, ia tidak akan datang hanya karena rasa kasihan. Akibat terlalu lama berdiri, akhirnya Eva merasa kedua kakinya sangat pegal. Ia menatap Andra yang nampak sangat nyaman duduk di atas motornya. Kalau seperti ini, ia yang merasa dirugikan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menemukan sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menunggu angkutan umum. Eva menunjuk ke arah kursi itu. Andra pun mengikuti arah jari wanita tersebut."Kita duduk di sana," kata Eva.Andra menaikkan sebelah alisnya. "B
Berkat pertemuannya dengan Andra, Eva kembali pulang ke rumahnya. Kedua orang tuanya sangat cemas. Untung saja mereka belum menghubungi polisi atau melaporkannya sebagai orang hilang. Ia membawa semua pakaian yang diberikan oleh Ina. Sahabatnya itu sudah pergi sejak pertemuannya dengan Andra. Eva melempar tas yang berisi pakaian itu ke sembarang arah. Ia mengelus perutnya, ia gagal makan karena tanpa sengaja menghubungi Andra.Eva keluar dari kamarnya, lalu beranjak menuju meja makan. Ia langsung memakan apa pun yang ada di atas meja tersebut. Linda menghampirinya, lalu menepuk bahunya pelan. Eva yang semula fokus pada makanannya langsung menoleh ke belakang. Cengiran langsung menghiasi wajahnya. Ia meletakkan sendok yang ada di tangannya. Linda menarik salah satu kursi dan duduk di samping putrinya tersebut."Kamu ke mana saja, Va?" tanya Linda."Main, Bu," jawab Eva dengan cengirannya.Linda mencebikkan bibirnya. Ia mengusap puncak kepala putrinya terse