Eva merasa semua ini seperti mimpi. Kini ia berada di dalam ruangan kerjanya. Ia memilih berdiam diri di sana sampai rasa sakitnya mereda. Ia sama sekali tidak memberitahukan kedua orang tuanya. Satu-satunya orang yang ia hubungi hanyalah Ina. Ia meminta sahabatnya itu untuk meminjamkannya beberapa baju selama tinggal di sana. Ina langsung mengiyakan permintaan Eva tanpa menanyakan apa pun. Ia bersyukur memiliki sahabat yang pengertian seperti Ina. Mungkin karena wanita itu lebih dewasa dari Eva, jadi ia bisa mengerti situasi saat ini. Eva merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam ruangan kerjanya tersebut. Semua ucapan Andra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Harusnya ia sudah siap dengan hal itu, tapi entah mengapa ia malah melarikan diri seperti ini. Ia tersenyum kecil, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Cukup, Va! Lupain Andra!" kata Eva sambil mengepalkan kedua tangannya.
Ia memang sudah bertekad untuk melupakan pria itu, tapi entah mengapa sangat sulit.
Andra menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia sudah tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Padahal ia merasa pilihannya ini benar. Ia sudah memperingatkan Eva agar tidak melibatkan perasaan dalam hubungan ini. Tapi nampaknya wanita itu tidak setuju dengannya. Andra mengambil makanan ringan yang ada di meja, lalu melemparnya ke arah Erfan yang sedang sibuk dengan ponsel. Untuk pertama kalinya ia merasa iri dengan hidup sahabatnya itu. Erfan bisa hidup sesantai itu tanpa memikirkan sesuatu yang merepotkan seperti masalah percintaan. Jika ia bisa memilih hidup, rasanya ia ingin hidup seperti Erfan.Erfan yang merasa terganggu itu melempar kembali makanan ringan tepat ke wajah Andra. Ia sama sekali tidak memedulikan wajah Andra yang sudah berubah menjadi monster. Andra kembali melempar makanan ringan itu dengan kekuatan penuh. Tapi sialnya Erfan berhasil mengelak hingga bungkusan makanan ringan itu menabrak pintu. Erfan membulatkan mulutnya saat melihat bungkus makanan itu terb
Eva memandang Andra yang masih bertengger di atas motornya. Walau wajah pria itu terlihat tidak setuju, tapi dia sama sekali tidak bergerak. Eva berdeham pelan, ia mencoba untuk berpikir tentang apa yang akan ia bicarakan saat ini. Sejujurnya, ia belum menyiapkan apa pun untuk pertemuan dadakan ini. Ia menoleh sekilas ke arah taman, Ina masih berada di sana sambil mengepalkan sebelah tangannya. Eva mendesis pelan, ia menyesali keputusannya tersebut. Andai waktu bisa diputar kembali, ia tidak akan datang hanya karena rasa kasihan. Akibat terlalu lama berdiri, akhirnya Eva merasa kedua kakinya sangat pegal. Ia menatap Andra yang nampak sangat nyaman duduk di atas motornya. Kalau seperti ini, ia yang merasa dirugikan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menemukan sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menunggu angkutan umum. Eva menunjuk ke arah kursi itu. Andra pun mengikuti arah jari wanita tersebut."Kita duduk di sana," kata Eva.Andra menaikkan sebelah alisnya. "B
Berkat pertemuannya dengan Andra, Eva kembali pulang ke rumahnya. Kedua orang tuanya sangat cemas. Untung saja mereka belum menghubungi polisi atau melaporkannya sebagai orang hilang. Ia membawa semua pakaian yang diberikan oleh Ina. Sahabatnya itu sudah pergi sejak pertemuannya dengan Andra. Eva melempar tas yang berisi pakaian itu ke sembarang arah. Ia mengelus perutnya, ia gagal makan karena tanpa sengaja menghubungi Andra.Eva keluar dari kamarnya, lalu beranjak menuju meja makan. Ia langsung memakan apa pun yang ada di atas meja tersebut. Linda menghampirinya, lalu menepuk bahunya pelan. Eva yang semula fokus pada makanannya langsung menoleh ke belakang. Cengiran langsung menghiasi wajahnya. Ia meletakkan sendok yang ada di tangannya. Linda menarik salah satu kursi dan duduk di samping putrinya tersebut."Kamu ke mana saja, Va?" tanya Linda."Main, Bu," jawab Eva dengan cengirannya.Linda mencebikkan bibirnya. Ia mengusap puncak kepala putrinya terse
Entah sudah berapa kali Eva mengelilingi pasar untuk mencari alat kebersihan. Salahnya yang menolak bantuan ibunya untuk mengantarnya berbelanja. Jadilah ia sendirian bingung mencari segala kebutuhannya. Eva bukanlah wanita yang biasa keluar masuk kawasan pasar, apalagi pasar tradisional yang jalannya masih agak berlumpur. Ia lebih suka berbelanja di supermarket atau mall besar. Tapi kali ini ia mencoba menantang dirinya untuk memasuki pasar tradisional. Ada satu hal yang ia sesali, mengapa ia memilih pasar yang dekat dengan tempat tinggal Andra? Eva mencoba untuk tetap berpikir positif, tidak mungkin pria itu memiliki waktu untuk pergi ke pasar. Selama tinggal bersama, yang dilakukan pria itu hanya di rumah. Selain itu, dia hanya makan di warung makan atau bakso pakde, tidak ada aktivitas lainnya. Eva tersenyum lega saat memikirkan itu. Ia kembali mengelilingi pasar dengan kepala yang menoleh ke kanan dan ke kiri."Oh di sini kayaknya ada," gumam Eva saat melihat perabotan r
Setelah mengantar Andra dan Erfan, Eva segera bergegas untuk mencari tempat makan. Sebenarnya ia belum makan dari pagi karena menantang dirinya untuk berbelanja di pasar. Akhirnya sampai matahari sudah tepat berasa di atas kepala, perutnya masih belum terisi dengan apa pun. Ia mengamati setiap tempat yang ada di pinggir jalan. Beberapa kali ia melihat rumah makan, tapi entah mengapa ia sangat tidak tertarik untuk ke sana. Sampai saat ia melihat sebuah restoran yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Andra. Ia segera memasuki kawasan parkir restoran tersebut. Dari awal turun sampai memasuki restoran itu, ia benar-benar merasa tidak asing dengan keadaan ini. Waktu itu ia datang mengendarai mobil, walaupun mobil itu milik Ina. Eva melirik jam yang melingkar di tangannya. Rupanya sudah masuk waktu makan siang. Waktu itu juga ia datang tepat di waktu makan siang. Ia tersenyum lalu membuka pintu restoran tersebut.Eva menyapukan pandangannya ke segala arah, ia berusaha meng
Sedih, marah, dan gelisah. Kata-kata itu sangat cocok untuk menggambar perasaan Eva saat ini. Ia benar-benar tidak menyangka kalau pertemuan mereka saat itu malah berujung mempercepat perceraian seperti ini. Padahal ia yakin selama pertemuan itu, tidak melakukan kesalahan. Ia ingin menanyakannya pada Andra, tentang alasan sebenarnya mengapa pria itu ingin sekali berpisah dengannya. Tapi ia sudah tidak bisa main-main dengan pekerjaannya kalau tidak mau dipecat. Eva memijat pelipisnya, pusing sudah mulai menyerangnya. Tiba-tiba sebuah tangan ikut memijat pelipisnya dari belakang. Eva sama sekali tidak menepis tangan itu, karena cukup membantunya mereda pusing."Apa yang membuat Eva ini terlihat sangat pusing?" tanya Ina.Eva menoleh sekilas dengan senyumnya. "Kehabisan uang, Bunda."Ina langsung melebarkan kedua matanya saat Eva memanggilnya dengan sebutan bunda. Ia memukul bahu Eva cukup keras hingga membuat sahabatnya itu meringis. Eva membentuk jarinya membentu
Langit jingga perlahan mulai meredup, Eva masih tetap duduk di tempatnya. Ia memandangi kue berwarna kuning yang ada di mejanya. Andra yang memesankan kue itu padanya. Rupanya pria itu melihat Eva dan Robi kemarin. Katanya, Andra sudah memiliki alasan yang cukup untuk berpisah dengannya. Entah mengapa ia benar-benar merasa bersalah, padahal ia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang aneh dengan Robi. Kemarin ia hanya makan kue pemberian pria itu.Eva menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas dalam berulang kali untuk meredakan rasa sakit di hatinya. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berhenti di dekatnya. Eva mengangkat kepalanya, lalu ia melihat Robi dengan senyum lebarnya. Pria itu langsung menempati kursi kosong yang semula ditempati oleh Andra. Padahal Eva belum memberi izin untuknya. Ia meletakkan tisu di meja sambil tersenyum. Eva mengernyitkan dahinya, ia menatap Robi dengan bingung."Apa maksud kamu selama ini? Kenapa kamu dekatin saya?
Ruri yang melihat kepergian Eva yang begitu tergesa-gesa jadi curiga. Ia pamit pada Linda untuk mengambil sesuatu di mobil. Linda yang tidak menaruh curiga pada tamunya itu pun mengiyakan saja. Ruri berjalan cepat menuju ke gerbang, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya. Setelah benar-benar aman, ia mengendap-endap dan mengintip keluar melalui celah gerbang. Ia melihat Eva yang memunggunginya, lalu di sampingnya ada seorang pria yang tengah tersenyum begitu manis. Ruri mengernyitkan dahinya, ia yakin kalau pria itu yang memicu perceraian Andra dan Eva. Walaupun mereka memang menikah kontrak, tapi Andra tidak mungkin meminta agar perceraian mereka dipercepat seperti itu.Tiba-tiba pintu gerbang itu dibuka oleh Eva. Ruri dan Eva sama-sama terkejut, begitu juga dengan Robi. Mereka terjebak dalam diam beberapa saat, mereka hanya bisa saling memandang dengan bingung. Robi yang mengira kalau Ruri itu ibunya Eva langsung menjabat tangan wanita
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan