Eva melemparkan tatapan tajamnya pada Ina yang sedari tadi menambah pekerjaannya. Ia sudah benar-benar lelah menuruti perintah Andra semalaman. Lalu sekarang ia harus bekerja di bawah tekanan Ina dan Vira yang seperti anjing gila. Eva menjambak rambutnya dengan frustasi. Andai saja saat itu ia tidak hilang ingatan, pasti saat ini ia bisa bekerja dengan santai sambil memesan makanan. Eva menatap layar yang ada di depannya, ia mulai menggores apa pun yang ada di kepalanya. Ia terus membuat garis tak beraturan, hingga akhirnya membentuk sesuatu yang membuat matanya langsung melotot. Ia langsung menghapus hasil karya dari jari-jari mungilnya tersebut. Ia menggelengkan kepalanya sekuat mungkin. Ia tidak boleh terus menerus memikirkan Andra saat ini. Jika itu terjadi, pekerjaannya tidak akan selesai sampai tua nanti.
"Va, Andra telepon nih," kata Ina.
Eva menoleh ke arah Ina dengan tatapan tajamnya. Lalu ia menyambar ponsel itu dari tangan Ina, ia menggeser layarnya lalu men
"Maaf, saya terlalu panik. Luka teman saya ini berdarah," kata Erfan dengan panik.Dokter muda itu menaikkan sebelah alisnya. Lalu ia memasuki ruangan Andra untuk memeriksa keadaan pasiennya tersebut. Andra menatap sekilas ke arah Erfan yang terdiam di tempatnya. Ia tersenyum miring, lalu kembali meringis saat dokter muda itu menyentuh lukanya. Dokter itu mendorong Andra ke tempat tidurnya. Erfan yang melihat itu pun langsung tercengang."Dok, tolong pelan-pelan," kata Andra.Dokter itu menoleh ke arah Erfan dengan tatapan tajamnya. "Salahkan teman kamu itu. Dia sudah salah menarik orang!"Erfan menunjuk dirinya dengan ragu. "Sa-saya?""Lo ngapain sih, Fan?" tanya Andra dengan frustasi."Apa?" tanya Erfan dengan wajah bingung."Lo manggil siapa ini?" tanya Andra.Erfan menunjuk dokter muda yang ada di dekat Andra. "Itu ... itu dokter, Ndra. Dokter—""Saya dokter hewan!" tukas wanita itu.Erfan langsung melot
"Kamu itu istri saya!"Eva mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Untuk pertama kalinya ia melihat Andra sefrustasi itu. Bahkan sampai suaranya lebih tinggi dari biasanya. Andra mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terus menatap Eva dengan wajah seriusnya. Sedangkan Eva, terus berusaha untuk tidak tertawa saat ini. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin tertawa karena wajah Andra sekarang ini sangat lucu."Padahal saya cuma bercanda loh," kata Eva."Bercanda bagaimana?" tanya Andra sambil menautkan kedua alisnya."Saya bercanda bilang ke cewek itu kalau saya pacarnya Erfan," jawab Eva.Andra mendesis pelan. "Tapi itu bisa saja bikin wanita itu salah paham, Va."Eva mengedikkan bahunya. "Lagipula, saya ga akan ketemu sama cewek itu lagi.""Tetap ga bisa, Va!" kata Andra sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Eva."Kenapa?" tanya Eva dengan bingung.Andra hampir membuka mulutnya, tapi ia langsung mengatupkannya. Ia tidak
Eva tersenyum kaku menanggapi setiap pertanyaan yang diucapkan oleh mertuanya tersebut. Mereka tak henti-hentinya menyinggung masalah anak. Padahal mereka yang membuat kontrak pernikahan selama 5 bulan itu. Bagaimana bisa mereka punya anak sedangkan usia pernikahan mereka hanya tersisa satu bulan lebih satu hari. Eva menoleh pada Andra, pria itu sudah tertidur sejak tadi. Sial sekali, Eva dibiarkan sendiri menghadapi setiap pertanyaan dari kedua orang tua Andra. Ia ingin sekali mengatakan isi hatinya. Tapi bisa-bisa mereka marah besar, karena isi hati Eva saat ini berupa kata-kata yang tidak enak didengar.Saat mama Andra tengah berbicara bagaimana cepatnya ia memiliki anak, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Nampak Erfan yang terkejut karena ruangan itu sudah ramai. Kali ini Eva yang merasa sangat terselamatkan dengan kehadiran Erfan. Kini perhatian kedua orang tua Andra tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu itu. Erfan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Ia me
"Saya cuma mau minta, tolong jangan libatkan perasaan dalam hubungan yang singkat ini."Eva merasa seperti tersambar petir saat mendengar ucapan Andra. Ia ingin menolak permintaan pria itu, tapi mulutnya seakan terkunci. Ia benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa saat ini. Ia terpaksa menganggukkan kepalanya. Walau ia tidak yakin bisa melakukan sesuai dengan permintaan Andra. Ia sudah terlanjur melibatkan perasaannya dalam hubungan ini. Ia tahu Andra sama sekali tidak memiliki perasaan padanya, tapi apakah tidak ada kesempatan untuknya? Eva menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan senatural mungkin, walaupun hatinya benar-benar terasa sakit. Andra yang melihat respon Eva ikut merasa lega. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan wanita itu saat ini."Oke, permainan selesai!" kata Andra.Andra langsung bangun dari tempat duduknya. Ia pamit untuk pergi keluar, menjemput pesanan mereka. Eva hanya bisa mengiyakan semua ucapan Andra, karena ia sama sek
Eva sama sekali tidak melihat kehadiran Andra di apartemen. Berarti pria itu memang tidak berniat untuk pergi ke sana. Bisa saja saat ini ia sedang mengunjungi wanita yang ia temui di rumah sakit itu, atau mungkin menemui wanita lain. Eva mendecih pelan, memikirkan berapa banyak wanita yang menjadi simpanan Andra. Memang wajah Andra sangat mendukung, tapi sifatnya sama sekali tidak. Ia sempat ragu kalau Andra bisa mendapat wanita lain, tapi ternyata semua laki-laki memang punya pesonanya masing-masing. Andra sudah mendapatkan wanita yang menjadi pilihannya.Eva memasukkan dengan asal semua barangnya ke dalam koper. Sekiranya sudah tidak muat, ia langsung menutupnya. Ia tidak mempedulikan barangnya yang masih belum masuk ke dalam koper. Ia langsung menarik kopernya keluar dari dalam kamar. Setengah berlari ia menuju pintu keluar, untung saja suasana sangat sepi. Ia juga tidak merasakan adanya tanda-tanda kehadiran Andra. Ini saatnya ia untuk pergi ke rumah orang tuanya d
Eva memandang keluar lewat jendela ruangannya. Ia tetap menjalani harinya seperti biasa walaupun hatinya benar-benar kacau. Ia memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tertarik. Sosok Andra terus singgah ke kepalanya sampai membuat fokusnya terbagi. Ia teringat kenangan saat bersama dengan pria itu. Pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan buruk. Lalu hari pertama tinggal di apartemen. Tanpa sadar ia tersenyum begitu natural saat mengingat garis polisi yang membelah apartemen itu menjadi dua bagian. Ia masih ingat bagaimana luas wilayahnya, ia bahkan mendapat kasur yang nyaman. Berbeda dengan kondisi wilayah Andra yang jauh dari kata layak. Untuk pertama kalinya Eva menyadari sosok lain yang tersembunyi di dalam sifat cuek Andra. Sebenarnya pria itu benar-benar hangat dan selalu mengalah. Ia tidak pernah merasa terpaksa melakukan sesuatu untuk pria itu.Tidak, ia pernah merasa terpaksa.Ia merasa sangat terpaksa saat Andra memintanya untuk tidak melibatkan pera
Sepulang bekerja, Andra menyempatkan diri untuk datang ke rumah mertuanya. Entah sudah berapa lama, ia tidak mengunjungi rumah tersebut. Sebelum memasuki kawasan itu, Andra mengintip dari celah gerbang rumah tersebut. Ia memastikan terlebih dahulu kalau Eva tidak ada di sana. Jika ia bertemu dengan Eva sekarang, ia tidak bisa membicarakan semuanya secara baik-baik dan berakhir dengan pertengkaran. Setelah memastikan tidak ada Eva, ia langsung menekan bel rumah tersebut. Cukup lama, sampai ia harus menekan bel itu lebih dari 5 kali. Akhirnya ia mendengar suara pintu yang terbuka. Andra menarik napasnya dalam-dalam, ia bersiap untuk apa pun yang akan dikatakan oleh mertuanya tersebut. Seorang wanita keluar dengan senyum manisnya. Selama ini, memang hanya ibu mertuanya yang paling pengertian. Andra terus mengamati wanita yang sedang membuka gerbang rumah tersebut."Loh, Ada apa Andra? Cari Eva?" tanya Linda.Andra menggaruk tengkuknya dengan senyum kikuk. Ia menggeleng pe
Eva merasa semua ini seperti mimpi. Kini ia berada di dalam ruangan kerjanya. Ia memilih berdiam diri di sana sampai rasa sakitnya mereda. Ia sama sekali tidak memberitahukan kedua orang tuanya. Satu-satunya orang yang ia hubungi hanyalah Ina. Ia meminta sahabatnya itu untuk meminjamkannya beberapa baju selama tinggal di sana. Ina langsung mengiyakan permintaan Eva tanpa menanyakan apa pun. Ia bersyukur memiliki sahabat yang pengertian seperti Ina. Mungkin karena wanita itu lebih dewasa dari Eva, jadi ia bisa mengerti situasi saat ini. Eva merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam ruangan kerjanya tersebut. Semua ucapan Andra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Harusnya ia sudah siap dengan hal itu, tapi entah mengapa ia malah melarikan diri seperti ini. Ia tersenyum kecil, lalu mengusap wajahnya dengan kasar."Cukup, Va! Lupain Andra!" kata Eva sambil mengepalkan kedua tangannya.Ia memang sudah bertekad untuk melupakan pria itu, tapi entah mengapa sangat sulit.