Rex selesai menelepon Marina, lalu jatuh tertidur hingga sore. Saat pintu kamarnya diketuk, ia pun terbangun. Berjalan gontai menuju pintu, membukanya, dan melihat sang ayah di depan kamar.
“Malam ini kita akan makan di luar. Berangkat satu jam lagi. Beritahu Lyra, ya? Mana dia?” tanya Harlan saat melongok ke kamar dan tidak menemukan menantunya.“Aku tidak tahu, dia keluar kamar dari siang. Katanya mau ke bawah,” jawab Rex mengendikkan bahu.“Kamu ini bagaimana? Istri sendiri di mana, kok, tidak tahu? Kamu lupa kata-kata Papa? Mau fasilitas dicabut?” kesal Harlan menghela jengkel. “Ayo, cari sekarang!”Rex menahan emosi, “Papa ini kenapa, sih? Dengan Lyra, kok, perhatian sekali? Dia itu Cuma perawat Nenek Tariyah saja, Pa!”“Dia itu perempuan yang sudah kamu rudapaksa, Rex! Sebagai seorang wanita dia pasti hancur! Papa kasihan padanya! Apa kamu tidak punya hati nurani sampai terus mengasarinya?” balas Harlan ikut melangkah mencari Lyra.Rex hanya diam diomeli begitu oleh sang Ayah. Sebagai anak manja yang tidak pernah disalahkan oleh Ajeng sejak kecil, pemuda itu memang minim nurani, apalagi empati.Sampai di lantai satu, keduanya bertemu dengan salah satu pekerja, “Mbak, lihat Lyra?” tanya Rex menguap."Tadi masuk ke kamarnya, Tuan," jawab asisten rumah tangga tersebut.“Kamarnya?” Harlan bingung.“Kamarnya saat masih jadi perawat. Saat sebelum menikah dengan Tuan Rex,” jelas wanita paruh baya itu tersenyum canggung.“Oh,” sahut Rex kemudian berbalik menuju kamar neneknya. “Aku bilang apa, Pa. Dia itu tetap merasa menjadi seorang perawat, makanya tidak mau tidur satu ranjang denganku.”Padahal, dia sendiri yang mengusir Lyra hingga terjatuh dari atas tempat tidurnya. Sekarang, memutarbalikkan fakta di depan Harlan.“Lyra! Buka pintu!” seru Rex mengetuk kamar istrinya.Suara langkah kaki terdengar, “Eh, Tuan Rex dan Tuan Harlan, eh ... Papa?” jawab Lyra begitu melihat ayah mertua dan suaminya.“Masih panggil Rex dengan sebuatan Tuan? Wah, itu tidak boleh! Panggil Mas atau sekalian sebutan yang mesra, misal Sayang,” tawa Harlan meksi bersamaan dengan menatap iba. Ia bisa melihat mata Lyra sedikit bengkak, baru saja menangis.“I-iya, Pa, ehm ... maaf, belum terbiasa,” angguk Lyra menunduk, tidak berani melihat pada sang suami.“Kamu kenapa tidur di sini? Kamu sudah menikah, jadi kamarmu adalah bersama Rex. Itu barang-barangmu sudah dipak, nanti akan dibawa ke kamarnya Rex. Lagipula, besok akan ada perawat baru untuk menggantikanmu.”“Apaaa!” pekik Rex tanpa sadar menoleh dengan tatapan seakan ingin mati saja. “Barang-barangnya kenapa harus di kamarku? Biarkan saja di sini!” tolaknya spontan.Harlan menghela panjang, lalu menatap pada menantu perempuannya. “Lyra, kamu naik dulu ke kamarnya Rex dan segera bersiap, ya. Satu jam lagi kita akan makan di restoran.”Terkejut, Lyra berharap ia bisa menolak. “Boleh saya tidak ikut?” Bagi gadis desa ini, pergi bersama keluarga Adiwangsa sama saja dengan mimpi buruk.“Tentu tidak boleh! Kita akan pergi satu keluarga!” geleng Harlan. “Sudah, cepat bersiap.”Tak ada pilihan, Lyra terpaksa mengikuti saja apa kata ayah mertuanya. Toh, hanya Harlan satu-satunya yang bersikap baik. Ia tidak ingin mengecewakan atau pun membuat masalah. “Baik, Pa.”Setelah Lyra pergi, mata Harlan langsung memandang tajam pada putranya. “Kamu membuat dia menangis sampai pergi ke sini, ‘kan?”“Papa jangan asal tuduh! Aku tidak berbuat apa-apa!” dusta Rex. “Siapa tahu dia ke sini untuk berbicara dengan pacarnya, lalu menangis?”“Tutup mulutmu! Mulai sekarang, Jaguar-nya tidak bisa kamu pakai! Cukup pakai Mercy saja! Uang jajan bulananmu juga papa potong tinggal 25 juta saja!”“Pa! Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi! Papa ini apa-apaan!” pekik Rex bak disambar petir.“Setelah Papa lihat Lyra bahagia, setelah Papa yakin kamu perlakukan dia dengan baik, baru akan Papa kembalikan fasilitasmu! Paham!” bentak Harlan kemudian berlalu dengan gusar.***Rex masuk ke kamar dengan geram. Lyra baru saja keluar dari kamar mandi untuk berganti baju. Melihat suaminya datang dengan wajah penuh amarah, jantungnya langsung berdetak kencang.“Kamu wanita brengsek! Wanita sialan! Lacur, kamu itu lacur!” maki Rex mendadak mencekik leher istrinya dan mendorong hingga punggung Lyra menghantam dinding kokoh.Dengan mata memerah, pemuda itu berdesis. “Kamu harus terlihat bahagia menjadi istriku di depan Papa! Apa kamu paham?”Lyra mengangguk dengan susah payah. Jemarinya mencengkeram jemari Rex, tetapi ia kalah kuat. Tidak bisa berbicara, bahkan kerongkongan sudah sangat sakit.“Apa pun yang aku perbuat, kamu tidak boleh menangis! Mengerti, brengsek? Sialan! Gara-gara kamu kelihatan baru saja menangis, sekarang satu mobilku ditarik, dan uang jajan bulananku juga dipangkas separuh!” cekik Rex makin kencang penuh dengan emosi.“Awas, kamu, ya! Sampai buat gara-gara, aku rudapaksa lagi tanpa ampun! Mau?” ancam pemuda tersebut gelap mata, berucap sesuka hati.Lyra menggeleng, mata berkaca-kaca, tetapi bukankah ia dilarang menangis?Rex menyeringai, “Camkan itu baik-baik di otak bodohmu!” desisnya melepas cekikan.Spontan mengambil napas panjang, Lyra pun terbatuk akibat leher yang baru saja lepas dari cekikan sang suami. Ia bersandar di tembok, terengah, menahan setengah mati agar air mata tidak terjatuh.“Minggir! Aku mau mandi!” bentak Rex lagi mendorong kasar, lalu membanting pintu kamar mandi.Napas Lyra masih tercekat, dengan gontai ia berjalan menuju kursi. Duduk di sana, mengusap air mata yang meleleh. “Jangan menangis, Lyra! Jangan menangis! Kamu tidak boleh menangis!”Wajahnya pias, memandang ranjang tempat di mana ia kehilangan keperawanan secara keji. Sprei telah diganti. Titik merah tak ada lagi di situ. Perasaan menyesal mulai menyeruak. Berpikir tak seharusnya dia menerima tawaran Harlan pada waktu itu.‘Mungkin menjadi ibu tunggal itu susah, tapi paling tidak aku tidak sesakit ini. Aku tidak ditindas!’Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana mengembalikan uang dari Harlan? Tentu saja tidak mungkin. Perjanjiannya tetap harus diikuti, dan dia harus bertahan.‘Paling tidak, ada Papa Harlan yang masih berbaik hati kepadaku. Dia memanusiakan aku. Tidak seperti Bu Ajeng, Eva, atau pun Rex. Selama ada beliau, aku pasti baik-baik saja,’ yakin Lyra dalam hati, menguatkan diri.***Makan malam tiba, semua berangkat menggunakan satu mobil Alphard seperti biasa. Mendatangi sebuah restoran mewah, di mana hanya ada deretan mobil mahal di area parkir. Pengunjungnya pun terlihat dari kalangan kelas atas.“Rex, besok belikan Lyra pakaian mahal! Lihat itu, dia seperti pembantu!” desis Ajeng melirik jijik pada menantu perempuannya.“Ya, kan, memang pembantu, Ma. Eh, perawat,” kekeh Eva tidak kalah sinis.“Terus, ya!” geram Harlan. “Lama-lama, fasilitas kalian juga Papa kurangi separuh seperti Rex! Mau?”“Hah? Kak Rex sudah dikurangi fasilitasnya? Apa saja yang dipotong!” pekik Eva sontak khawatir.“Aku tidak mau membahasnya!” tukas Rex melirik benci pada sang istri yang hanya menunduk dan terdiam.Ajeng menatap pada sang suami dan menggeleng. Dalam hati ia berkata, ‘Demi satu perempuan brengsek, kamu menyakiti anak kita, Mas! Keterlaluan!’ engahnya tertahan.Mereka duduk di sebuah meja bundar. Seorang pelayan sigap datang dan melayani dengan penuh rasa hormat.Lyra menatap sekitar. ‘Begini rasanya menjadi orang kaya? Dihormati, diutamakan,’ batinnya berkata.“Lyra makan apa?” tanya Rex berpura-pura perhatian di depan ayahnya.“Mana yang enak saja, Mas,” jawab Lyra juga berpura-pura semua baik-baik saja.Harlan melirik, lalu tersenyum kecil. Berharap apa yang dia lihat akan bertahan selamanya. Berharap juga dengan adanya istri, maka rasa tanggung jawab Rex mulai muncul dan mau mulai masuk ke perusahaan, untuk belajar menggantikan posisinya di sana.“Ya, sudah, pesan ribb steak saja. Itu enak, kok,” putus Rex kemudian memesankan pada pelayan. Saking totalitasnya berakting, ia bahkan meletakkan lengan di belakang pundak istrinya, seakan mesra.Lyra memaksa diri untuk tersenyum. ‘Nah, benar, bukan? Selama ada Papa Harlan, aku aman. Dia tidak berani menyakitiku terlalu berlebihan,’ ucapnya menghela dalam hati.Namun, apa yang kemudian dia dengar bagai petir di siang bolong.“Besok pagi Papa harus berangkat ke Jepang untuk urusan bisnis. Harus meninjau pabrik serta kantor utama calon rekan kerja baru.”Harlan memberi informasi yang sangat mengejutkan bagi Lyra.“Berapa lama, Pa?” tanya Eva.“Paling cepat dua minggu, paling lama satu bulan.”Di sisi lain, Lyra tertegun saat mendengar Harlan akan pergi meninggalkan rumah antara dua minggu sampai satu bulan lamanya.
'Bagaimana nasibku nanti?' paniknya dalam hati.
BERSAMBUNGVisual tokoh bisa dilihat di I* Author @Rein_Angg, Tiktok @rein_angg47. Mau menghalu bareng pembaca lain, silakan join Grup F******k: Rein Angg And Friends
Lyra sampai tidak jadi menyuap sendok makanan ke dalam mulut. Ia letakkan kembali ke atas piring. “Kok, lama sekali, Mas?” tanya Ajeng. “Pa, kalau Papa pergi selama itu, bagaimana dengan Honda Accord terbaruku? Teman-teman sudah terus bertanya kapan mobilku diganti?” rengek Eva cemberut. “Papa mundurkan terus beli mobil baruku!” Harlan menghela, “Ini ke Jepang untuk meninjau beberapa pabrik, lalu memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu mau Papa kena tipu? Kalau sampai kena tipu, tidak usah bicara Honda Accord terbaru! Mengerti?” tegas sang ayah pada Eva. Lyra menunduk, meremas jemarinya sendiri dengan kegugupan yang luar biasa. Ia melirik ke sebelah di mana Rex mengeluarkan ponsel. Sekilas, bisa melihat apa yang dilakukan suaminya yaitu mengirim pesan kepada kekasih gelapnya. [Papa akan ke Jepang selama dua minggu. Kita merdeka! Sampai rumah akan kutelepon. Love you, Sayang.] Terengah, tetapi ditahan. Benar saja, kepergian Harlan tentu menjadi surga bagi Rex untuk berbuat apa
Lyra tak percaya dengan apa yang dia dengar. Apalagi, Rex mengucap dengan tanpa beban. Seakan benih yang mungkin ada itu hanyalah seonggok sampah tak penting! Padahal, bukankah itu darah dagingnya sendiri?“Mengugurkan bayi tak berdosa sama saja melakukan pembunuhan! Aku tidak mau membunuh anak kita sendiri!” hentak Lyra dengan tegas. Rex makin emosi hingga dadanya kembang kempis dan napas memburu panas. “Bawel, kamu, ya! Sok punya nurani, padahal aslinya kamu yang menjebakku, sialan kamu!” makinya mendadak menerkam Lyra. Akan tetapi, sang wanita berhasil menghindar hingga tangan Rex hanya menyentuh udara kosong. Tentu saja, ini membuatnya semakin murka. “Lacur sialan! Awas, kamu!” “Aku ini istrimu! Tidur di ranjang saja tidak boleh, itu keterlaluan!” seru Lyra kembali mencoba menghindar. “Apa kamu sama sekali tidak punya hati, Mas?” Namun, kali ini ia gagal! Jemari kokoh Rex berhasil mencengkram lengannya. Tanpa rasa kasihan sama sekali, tubuh Lyra dihempas ke arah pintu hingga m
Niat hati tidak ikut makan pagi bersama keluarga Adiwangsa. Akan tetapi, saat Harlan menelepon dan mencari Rex, tidak ada yang bisa ia perbuat selain mencoba untuk masuk ke dalam ruang yang terasa menyeramkan tersebut. “Kamu itu pantasnya makan di belakang, dengan pembantu dan sopir! Jangan merasa sudah menjadi bagian dari keluarga kami, ya!” bentak Ajeng sekali lagi. Lyra berhenti melangkah, hatinya bergetar dengan perih kesekian ribu kalinya. Eva tertawa pelan, “Mungkin dia merasa besar kepala karena Papa selalu membelanya. Ajian apa, sih, yang kamu beri ke Papaku sampai bisa tunduk begitu?” Menggeleng, “Demi Tuhan, saya tidak pernah menggunakan hal-hal kotor semacam itu!” seru Lyra mendelik. “Eh, tapi benar, lho, Ma! Katanya Marina juga paling Lyra ini memakai ilmu hitam sampai Papa seperti kerbau dicocok hidung. Lihat saja bagaimana Papa selalu membelanya dan menyengsarakan kita!” desis Rex terkekeh, melirik sinis pada sang istri. “Kalau aku pakai ilmu hitam, kenapa tidak ka
Rex terbahak mendengar apa yang diucapkan oleh Marina, kekasih gelapnya. Mereka berdua dengan sengaja menghina mantan perawat lansia tersebut."Coba dicek, Rex. Apa dia bau GPU?" gelak Marina makin kencang."Apa itu GPU?" Rex ikut tertawa meski tidak paham apa yang dimaksud. "Itu, GPU minya gosok! Biasanya orang tua kalau dipijat pakai minyak GPU!" Meledaklah tawa Marina disambut hak serupa oleh Rex. Tertegun, Lyra menatap layar, memperhatikan wajah Marina yang nampak sangat cantik. Hidung mancung, rambut dicat cokelat terang, dan memakai soft lens berwarna biru terang. Untuk sesaat, kekasihnya Rex itu terlihat seperti orang asing sungguhan. 'Ya, Tuhan. Inikah yang bernama Marina? Dia sungguh cantik! Sedangkan aku? Astaga! Mereka pasti akan terus menghinaku karena aku tak secantik dia!' jerit Lyra di dalam batin. Rex tertawa mendengar ejekan kekasihnya, “Iya, ‘kan, dia jelek? Makanya, kamu tidak usah cemburu meski aku satu kamar dengannya. Biar ada gempa bumi sekalipun, aku tidak
Rexanda Adiwangsa, pemuda kaya raya yang minus didikan moral dari ibunya akibat terlalu dimanja serta ayah yang terlalu banyak ke luar negeri untuk bekerja. Kini, ia tidak pernah merasa bersalah telah menodai seorang gadis perawan. Bahkan, terus mempercayai kalau dia dijebak demi menutupi kesalahan diri sendiri. Lyra Kanigara, wanita desa sederhana yang bekerja menjadi perawat lansia demi menanggung beban pengobatan orang tua di rumah. Tak pernah menyangka kesuciannya direnggut sedemikian kasar, ditambah siksaan batin serta raga yang seakan tiada ujung. Bahkan, sang suami kini menamparnya dan menawarkan untuk bercerai. Berderai air mata di pipi akibat sentuhan kasar tak berbelas kasih. Jika hati bisa bersenandung, maka hanya kehancuran yang ia nyanyikan. “Ayo, tinggalkan rumah ini! Pergi dari hidupku! Katakan pada Papa kalau kamu minta cerai! Cepat!” bentak Rex pada istri barunya dengan berapi-api. Namun, sebesar apa pun keinginan Lyra untuk pergi dari siksaan neraka dunia ini, ad
Rex terus berpikir dan memutar otak bagaimana caranya membelikan tas Balenciaga keluaran terbaru untuk Marina. Ia sampai berniat ingin berbohong pada ayahnya supaya dikucuri uang lebih banyak lagi.Di saat ia sedang berpikir keras, Marina tiba-tiba merebahkan kepala di pundaknya dan mengembus lelah.“Tapi, kalau kamu memang sedang tidak ada uang, ya, tidak apa-apa, Rex. Aku soalnya juga harus membayar tagihan credit card yang agak banyak bulan ini. Siapa tahu kamu bisa bantu.” Marina membelai dada bidang sang Tuan Muda. “Atau … bagaimana kalau aku pinjam saja dulu uangmu? Nanti kalau rumah mendiang ayahku yang di Pantai Indah Kapuk sudah laku, aku akan mengembalikan uangnya. Kemarin sudah ada pembeli yang sepertinya tertarik dengan serius,” ucap Marina berbinar.Sesungguhnya, saat ini Marina dan keluarganya sedang mengalami kesulitan keuangan. Semenjak ayahnya yang pejabat eselon itu meninggal, harta mereka sedikit demi sedikit terkuras habis. Kebiasaan Marina dan ibunya bermewah-me
Suara orang sedang bercinta dengan liar bersama desahannya terdengar di ponsel Lyra. Ia membeku hingga tak terasa apa pun di dalam hatinya. Segala sesuatu nampak buram dan telinganya hanya fokus pada apa yang terdengar. “Rex, aaahhh! Aku hampir sampai!” seru Marina entah di mana. Tak tanggung, sang lelaki pun mengatakan hal serupa. Namun, mendadak Rex tertawa dan bertanya sambil terengah. “Heh, istri jelek! Mau apa menelepon, hah? Mau mendengarku bercinta dengan Marina, ya?” Pertanyaan Rex membawa Lyra kembali pada kesadarannya yang sempat hilang beberapa saat. Sekujur tubuh lemas, tangannya pun gemetar. Dia hanyalah gadis polos dari desa yang tidak tahu hingar bingar kehidupan ibu kota. Tak paham kenapa bisa Rex dan Marina yang masih berstatus kekasih sudah tidur bersama. Ia juga tidak paham kenapa Rex yang sudah berjanji suci saat akad nikah mempermainkan agama sedemikian rupa? Tak takutkah suaminya itu akan dosa? Kenapa pula Marina mau bercinta dengan suami orang? Apa wanita it
Memasuki kamar Nenek Tariyah, ia menyapa wanita renta dengan hangat. “Halo, Nenek. Ini saya, Lyra. Mau saya pijat, Nek?” senyumnya langsung duduk di tepi ranjang dan menekan-nekan kaki berkulit keriput. “Lyra dari mana?” tanya Nenek Tariyah. “Dari dapur, Nek. Setelah ini, Nenek makan, ya? Ada perawat baru, namanya Emi.” “Lyra pergi?” wajah Nenek Tariyah nampak sedih. “Tidak, Nek. Lyra pindah tugas di lantai dua. Tapi, setiap pagi Lyra akan main kemari, ya?” senyum Lyra terus memijit. Emi sudah kembali membawa semangkuk bubur yang diberi kuah soto serta ayam yang telah dihaluskan. Nenek Tariyah sudah sulit mengunyah makanan keras, setiap hari ia hanya makan bubur. “Nek, makan dengan Emi, ya?” seru Emi meniup bubur yang masih terlihat sedikit panas, asap mengepul. “Ranjangnya dinaikkan dulu, Mbak Emi,” ucap Lyra mengingatkan lagi untuk membuat sandaran bed Nenek Tariyah menjadi lebih naik. Ranjang yang digunakan adalah ranjang rumah sakit, bagi Harlan ini lebih memudahkan bagi pa
“Apa-apaan! Kalian apa sudah gila menuduhku begitu!” bentak Marina dengan dada kembang kempis dan wajah yang mulai memucat. Dua polisi tetap tenang dan hanya tersenyum datar. “Anda baru saja melakukan pemerasan terhadap Tuan Rexanda Adiwanga. Semua bukti percakapan telah direkam, dan bukti pengiriman uang telah dilakukan oleh beliau.”“Oleh beliau? Beliau siapa?” engah Marina menggeleng. “Ini sebuah kesalahan! Aku tidak melakukan apa pun!”“Itu, pria yang ada di depan restoran yang telah melaporkan kasus ini kepada kami sejak tadi malam.”Dua lelaki bertubuh besar menggeser posisi mereka agar Marina bisa melihat siapa yang dimaksud. Mata wanita licik itu tebelalak saat memandang siapa yang ada di depan pintu restoran.Rexanda berdiri di sana, merangkul Lyra dengan mesra. Keduanya menatap ke arah Marina sambil tersenyum puas. Kali ini, tidak akan ada lagi yang mengganggu rumah tangga mereka. “Selamat menikmati penjara sampai beberapa tahun ke depan!” seru Rex sambil memberikan kiss b
“Pilihan apa yang kamu punya, hah? Mau hamil seorang diri? Mumpung kehamilanmu masih di awal, lebih baik punya suami supaya tidak malu!” bentak Harlan. “Kamu punya calon lebih baik?”Rex menghela panjang, “Sudahlah, Eva. Terima saja, kamu tidak ada pilihan lain. Kalau mencari lelaki yang sederajat dengan kita, mana ada yang mau?”Gadis itu menangis tersedu sembari menangkup wajahnya. Ia kembali didera perasaan sedang dihukum. Dulu selalu menghina Lyra orang kampung. Sekarang, dirinya pun akan memiliki suami orang kampung. Harlan mengembus berat, penuh beban, “Sudah, itu adalah yang terbaik. Minggu depan mereka datang ke rumah dan kalian akan menikah secara sederhana. Kita akan mengatakan pada orang-orang karena Mama sedang sakit, maka tidak jadi mengadakan pesta.”“Apa Papa sudah berhasil menemukan Ichad?” isak Eva masih berharap kekasihnya yang akan menikahi dia.“Polisi masih mencarinya. Tapi, saat ditemukan pun, kata polisi bukti penipuan adalah lemah. Kamu dengan sengaja dan sada
“Kurang ajar! Wanita siala4n!” Rex memaki layar ponselnya sendiri. “Bisa-bisanya kamu mengancamku!”Dengan terengah, ia segera menelepon Marina. “Bangs4t kamu, ya!”Namun, yang dimaki hanya tertawa santai, “Kamu yang bangs4t, Rex! Kamu dulu janji mau menikahi aku saat mengambil keperawananku. Masih ingat, tidak?”“Waktu itu, saat kamu menelanjangiku, kamu bilang … aku mencintaimu, Marina. Aku akan menikahimu, aku berjani. Dan aku percaya, aku serahkan kesucianku padamu. Nyatanya apa? Dua tahun berlalu, kamu justru meniduri pembantu sialan itu!” desis foto model seksi itu tersenyum culas. Rex terengah, “Kalau sampai kamu sebar video itu, aku akan membuat perhitungan denganmu, brengs3k! Aku tidak akan tinggal diam!” “Silakan saja, silakan buat perhitungan denganku. Kamu pikir aku takut? Biar semua teman-teman kita, biar semua keluargamu melihat kita sedang sama-sama telanjang. Aku mau tahu, apa kamu dan istri kampungan tercinta masih bisa hidup nyaman setelah itu?” tawa Marina makin t
Mengurungkan niat untuk pergi ke restoran dan merayakan kehamilan Lyra, akhirnya justru mereka mengepak barang untuk kembali ke Jakarta. Kondisi Ajeng yang kritis membuat detak jantung Harlan dan Rex tidak bisa tenang.“Pak, Bu, maaf, karena kami harus segera kembali ke Jakarta siang ini juga. Nanti, saya akan kirim kontraktor kemari untuk memperbaiki rumah Bapak dan Ibu, ya,” pamit Rex sekaligus mengatakan itu semua saat mencium tangan kedua mertuanya.“Kontraktor untuk memperbaiki rumah? Tidak usah, Nak Rexanda. Bapak belum ada dananya. Lain kali saja, ya?” geleng Suripto menolak dengan gugup. “Saya yang menanggung biayanya. Bapak dan Ibu tenang saja dan tinggal menikmati rumah yang nanti lebih baik dari ini,” senyum Rex. Lyra yang ada di sebelahnya terbelalak, nyaris tak percaya.Ajeng menggeleng, “Aduh, jangan, Nak Rexanda. Nanti habisnya banyak. Sudah, yang penting Bapak dan Ibu titip Lyra saja. Perlakukan istrimu dengan baik dan penuh kasih sayang, itu sudah lebih dari cukup. K
Pagi yang berembun di kaki gunung, tempat Lyra tinggal selama beberapa hari ini. Seperti biasa, mereka semua sarapan pagi bersama. Namun, kali ini ada yang berbeda. “Hmmppp!” Lyra menutup mulutnya secara mendadak dan berlari ke kamar mandi. “Hmppff!” Suara muntah tertahan semakin intens terdengar.Narsih dan Suripto saling pandang, begitu juga Rex dan Harlan yang bertukar tatap dengan bingung. Tanpa disuruh, Tuan Muda Adiwangsa cepat berlari mengikuti langkah istrinya menuju kamar mandi. “Hoeeek! Hoeeek!”Lyra memuntahkan apa yang dia makan barusan. Rasa mual menghajarnya dengan cukup ekstrim pagi ini. Rexanda memasuki kamar mandi, membantu menyibak ke belakang rambut hitam tebal dan panjang milik sang istri.Lalu, ia bertanya, “Kamu masuk angin, Sayang?” Dengan khawatir memijit tengkuk wanita yang ia cintai.Lyra tidak menjawab, terus saja ia memuntahkan sarapan yang baru beberapa menit masuk ke dalam lambung. Suara terengah hebat terdengar dari bibirnya.“Panggil dokter, ya?” Rex
Tiga hari berlalu dan Lyra belum ada tanda-tanda akan luluh. Pagi keempat, saat sarapan bersama, wajah Rex terlihat pucat. Ia pun berkali-kali bersin dan berdehem. “Kamu sakit?” tanya Harlan melirik. “Cuma flu saja, Pa,” geleng Rex. “Tenggorokanku agak perih. Mungkin efek hawa dingin. Aku belum terbiasa.”“Di kamarmu ada AC yang selalu dipasang 18’, Mas. Apa iya kamu tidak tahan dingin?” sindir Lyra melirik dan tetap cemberut. Rex mengendikkan bahu, “Mungkin karena aku selalu tidur di lantai. Jadi, dinginnya lebih menusuk tulang.”“Nak Rex tidur di lantai? Ya, Tuhan! Lyra, kamu apa-apaan!” pekik Narsih terkejut. Lyra mendelik, menatap jengkel pada suaminya. Lalu, ia menoleh pada ibunya, “Kasur aku kan kecil, Bu. Mana muat dibuat tidur berdua? Jadi, ya, Mas Rex tidur di atas tikar.”Harlan terkikik, lalu menggeleng. ‘Sekarang kamu merasakan jadi orang susah, Rex!’“Tidak apa, Bu. Saya hanya flu biasa. Apa ada obat flu?” senyum Rex berusaha nampak sebagai menantu idaman yang tidak ba
Rex sangat terkejut dengan tepisan tangan Lyra yang menolak sentuhannya. Apalagi, sang istri mengatakan jijik dengan dirinya. Ia menggeleng pilu, “Maafkan aku, please?”“Tidak mau! Aku sudah sering memaafkan kamu sebelumnya! Sudah, kembali saja sana ke Jakarta! Aku tidak mau memaafkanmu!” desis Lyra menolak.“Aku memang bajing4an, aku bersalah sepenuhnya, Sayang. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi? Aku janji akan berubah!”“Apanya berubah? Kamu janji tidak mau minum lagi, tidak mau mabuk lagi, tidak berhubungan dengan Marina lagi. Nyatanya apa? Semua itu kamu langgar! Kamu tidak bisa dipercaya!”“Iya, iya, aku memang brengs3k, aku tahu itu. Kamu boleh memakiku sepuasnya, tapi ... maafkan aku, ya?” rajuk Rex menampilkan wajah memelasnya. Lyra mendengkus, “Aku akan memaafkan kamu, kalau kamu kemari membawa surat cerai!”Rex terbelalak, lalu merengek, “Jangan begitu, Sayang. Kita tidak boleh sedikit-sedikit bercerai. Kalau rumah tangga ada masalah harus diselesaikan, bukan ditinggal
Mata Lyra sontak mendelik saat melihat ada kendaraan hitam berhenti di depan rumahnya. Siapa lagi yang naik mobil mendatangi rumah Bapak Suripto jika bukan seseorang dari kota? Kalau tetangga, biasanya naik sepeda atau sepeda motor.Yakin itu adalah sang suami yang datang, Lyra justru melompat turun dari kursi dan berlari sekencang mungkin menuju kamar sambil berteriak, “Aku tidak mau bertemu Mas Reeex! Suruh saja dia pulaaang!”Suripto dan Narsih saling lirik. Ada apa dengan putri mereka sampai sebegitunya? Namun, mereka hanya menggeleng dan menahan tawa melihat kelakuan Lyra.Pasangan suami istri itu kemudian berdiri dan segera keluar rumah, bersamaan dengan dua lelaki turun dari mobil. Dugaan mereka tidak salah karena itu sungguh adalah Harlan dan Rexanda yang datang. Ayah dan anak sedang menurunkan koper dari bagasi kendaraan.“Pak Suripto! Besanku tersayang! Apa kabar?” seru Harlan langsung menjabat dan memeluk ramah. Sedikit bergurau, memanggil besannya dengan kata tersayang. Ta
Rexanda sedang dalam perjalanan menuju bandara bersama ayahnya. Tujuan penerbangan adalah kota Surabaya. Ada misi khusus yaitu menguntai ulang benang rumah tangga yang sedang terancam putus.Ia banyak terdiam sepanjang melalui keramaian jalan raya. Ponsel berbunyi, ada notifikasi masuk. Melihat siapa yang mengirim pesan, napasnya terembus jengkel. Marina [Halo, Rex, apa kabar?] Rex [Mau apa menghubungiku?]Marina [Mau minta tolong. Ini benar-benar darurat.]Rex [Apa?]Marina [Aku butuh uang, Rex. Adikku sakit usus buntu, tadi malam masuk rumah sakit. Kami tidak punya asuransi lagi seperti dulu. Aku pinjam 100 juta bisa? Nanti kalau ada rejeki pasti kukembalikan.]Rex [Aku tidak ada uang.]Marina [Ayolah, Rex. Demi kemanusiaan? Lagipula, kita kemarin baru saja tidur bersama. Apa iya kamu tidak ada rasa kasihan sama sekali kepadaku?]Rex [Aku mabuk! Kamu yang menelepon Lyra, ‘kan? Aku tidak mungkin segila itu meneleponnya! Saat aku mabuk berat, aku biasanya tidur, tidak berbuat apa-ap