BRAKKK!Aku terlonjak bangun. Ketika pintu kamarku dibuka kasar dari luar. Baru saja tubuhku rebah malam ini. Setelah selesai menyesap rokok di teras balkon tadi. Nampak Nakula berdiri di ambang pintu kamar.Dia menatapku tajam. Baru kali ini, tatapannya itu begitu menusuk. Dia berjalan masuk ke dalam kamarku dengan cepat."Apa yang udah lo lakuin sama Karina, Bang?!" hardiknya saat ini di hadapanku.Aku mengernyit mendengarnya. "Lakuin apa maksud kamu?" "Ngapain Abang nemuin dia di depan kantornya? Suruh dia jauhin gue. Ngapain, Bang?! Gara-gara lo, Karina mutusin hubungannya sama gue!" teriaknya.Aku turun dari tempat tidur untuk berdiri di hadapannya. "Jadi bener, kamu ada hubungan sama dia? Ck. Baguslah kalau dia tahu diri untuk mengakhiri hubungannya sama kamu!" ujarku."Lo apa-apaan sih, Bang? Ngapain lo recokin hubungan gue sama Karina?" sentaknya padaku."Kamu adik abang, Naku! Abang ga mau kamu ada hubungan sama Karina. Lagian apa sih yang kamu liat dari Karina? Kurus, aroga
Pukul 08.00 pagi.Aku keluar dari kamar setelah berpakaian rapi dan bersiap ke cafe meski sekarang weekend. Menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Lalu menuju ruang makan. Sarapan pagi sudah tersaji seperti biasa. Aku menyendok sedikit nasi dan menyiramnya dengan kuah ikan patin."Pak Dewa," sapa Bu Titi sambil menggendong Davina."Iya?" jawabku. Seraya tetap meneruskan sarapan yang tinggal sedikit."Pak, izin jalan-jalan ya. Bu Ti, Bi Ima, mau ke alun-alun, sama Davina juga. Boleh, Pak?" ujar Bu Titi.Sarapaku sudah habis. Aku lantas meneguk segelas air, lalu mengelap sekitar mulut dengan tissue."Kapan, Bu?" tanyaku kemudian."Paling sebentar lagi, Pak.""Naik apa ke sana?""Nanti pesan taksi online.""Ngapain ke sana, Bi?""Yaa, jalan-jalan aja, Pak. Biar ga jenuh gitu Pak di rumah terus. Bawa main Davina juga Pak. Atau Bapak juga ikut? Sekali-sekali quality time sama Davina, Pak."Aku terdiam mendengar ajakan Bu Titi. Quality time bersama Davina? Seperti yang sering Kharisma tu
POV NAKULA*****[Kita putus!] Pesan singkat yang dikirim Karina seakan meruntuhkan dunia yang tengah kujejaki.Tidak ada angin, tidak ada hujan. Namun pesan singkat itu bak petir yang menggelegar. Segera aku menelponnya, sesaat setelah pesan itu masuk ke nomorku magrib tadi.Ternyata Karina tak terima. Bang Dewa mendatanginya di depan kantor sore tadi. Bang Dewa meminta Karina menjauhiku. Bang Dewa menyamakan Karina dengan Kharisma, kakaknya. Karina pun kukuh ingin putus denganku.Terpaksa aku ke rumah Bang Dewa dan memintanya untuk berhenti mengganggu hubunganku dengan Karin. Dia memang adik Kharisma. Tapi bukan berarti Bang Dewa berhak menilai Karina seperti Kakaknya.Karina perempuan apa adanya. Dia tidak suka berdandan seperti Kharisma. Karina terkesan tomboy dan ceplas ceplos. Tapi, dia bagai langit dan bumi jika disandingkan dengan Kakaknya.Karina tidak pernah mau kuajak bersenang-senang di klub malam. Berbeda dengan Kharisma, yang sering kujumpai ada di klub malam. Bahkan ent
Selesai sarapan pagi ini. Aku masih duduk di kursi meja makan. Tidak buru-buru beranjak untuk menyesap rokok seperti kebiasanku. Selesai merokok. Aku akan segera meluncur ke cafe.Tapi pagi ini, aku putuskan untuk di rumah. Meski sudah dua hari dan menjadi tiga hari dengan hari ini. Aku tidak pergi ke cafe."Jangan terlalu sibuk, Dewa. Kamu itu Bos-nya. Kamu itu owner. Kalau kamu sibuk, apa gunanya kamu punya banyak pekerja dan juga kekuasaan kamu?""Harusnya kamu bisa agak santai dan menikmati waktu kamu lebih banyak bersama Davina di rumah. Kamu ke cafe kalau weekend saja, gunakan waktu kamu untuk membersamai Davina!""Aku saja ada di kantor sampai jam makan siang. Sisanya aku serahkan urusan kantor sama wakilku. Dari siang hingga malam, aku di rumah. Menemani Naga. Meski Naga juga punya pengasuh. Tapi aku ngga mau melewatkan masa tumbuh kembangnya, Dewa!"Petuah yang Alwina berikan saat kami bertemu di alun-alun kota kemarin lusa. Benar-benar membuka pikiranku. Pemikirannya sangat
"Uhukkk uhukkk!!!" Tenggorokanku langsung tersedak mendengarnya."Uhukk uhukk!" Masih terbatuk aku bergegas ke ruang makan untuk meneguk segelas air.Menikah? Nakula mau menikah? Dengan siapa? Lalu menyerahkan pengelolaan toko pada istrinya? Segala pertanyaan tiba-tiba memenuhi pikiranku.Setelah tenggorokanku rasa membaik. Aku kembali menemui Ibu yang masih bersama Davina. Menghenyakan bobot kembali di atas karpet bulu yang empuk.Aku berdehem. "Bu, emang Nakula ada bilang sama Ibu kalau dia mau me-nikah?" tanyaku hati-hati.Ibu mengangguk cepat. "Ada, Wa. Dia katanya udah punya calon istri," jawab Ibu seraya tersenyum."I-ibu tahu calon istrinya?"Ibu terlihat menggeleng. "Belum, Wa. Ibu belum tahu. Tapi secepatnya mau dia bawa ke rumah, mau dia kenalin sama Ibu!"Glek!Aku menelan saliva dengan susah payah. Semoga Karina cukup sadar diri dan sudah menjauh dari adik lelakiku itu. Dan semoga calon istri yang akan Nakula kenalkan pada Ibu bukanlah Karina."Ibu ngga dikasih tahu juga s
Istirahat makan siang. Aku meninggalkan cafe. Kupercayakan cafe kepada setiap kepala bagian.Kupacu Fortuner hitam menuju rumah untuk menjemput Davina serta Bu Titi. Aku sudah membuat janji dengan Alwina.Kami akan bertemu di arena bermain keluarga yang tersedia di sebuah pusat perbelanjaan. Sesampainya di depan bangunan rumahku, Bu Titi dan Davina sudah standby. Segera Bu Titi memasuki mobil dengan Davina yang digendongnya. Setelah mereka masuk, aku kembali memacu mobil membelah jalanan di siang hari ini.Pertemuan ini merupakan ajakanku pada Alwina. Entah kenapa, aku merasa senang bisa dekat dengan wanita sederhana itu. Tutur katanya lembut tapi juga tegas. Dia mampu menata hatinya yang remuk meski tak utuh kembali. Dia juga sudah mampu melupakan pengkhianatan Guntur dan Kharisma. Entah kenapa, rasanya aku betah berbincang lama-lama dengannya.Dua puluh menit, aku sudah sampai di tujuan. Memarkirkan mobil di basement kemudian menuju arena bermain keluarga.Benar saja. Alwina beserta
Aku mematut diri di depan cermin. Pukul tujuh malam ini aku sudah siap pergi ke rumah Ibu. Davina sudah tidur bersama Bu Titi. Saat bertemu di area bermain tadi. Alwina mendadak sakit perut dan memutuskan pulang lebih dulu. Sedangkan aku menunggui Davina yang masih betah bermain dan baru pulang jam lima sore tadi.Selesai bercermin aku segera keluar dari kamar. Bergegas ke lantai bawah dan keluar dari rumah menuju rumah Ibu.Pintu rumah Ibu terbuka lebar. Mobil Pajero putih milik Ibu tak ada di carport. Nampaknya Nakula memakai mobil Ibu untuk menjemput wanitanya.Segera aku bergegas ke dalam rumah Ibu. Berjalan menuju ruang makan dan menemui Ibu yang sudah ada di meja makan sana"Dewa, duduk duduk, Wa! Naku sebentar lagi kembali. Dia masih di jalan, jemput calon istrinya," terang Ibu.Aku duduk di sebelah kiri Ibu. Di meja makan, sudah tersaji rupa-rupa hidangan menggugah selera. Bi Yuyun—ART di rumah Ibu terlihat masih menghidangkan makanan yang lain. Padahal makanan sudah cukup ban
Mendengar hardikan Ibu. Nakula nampak susah payah menelan makanan dalam mulutnya. Sang kekasih dengan sigap menyodorkan segelas air untuk Nakula yang kesulitan menelan. Aku pun segera menghabiskan makanan ku yang tinggal."Ekheemm." Nakula berdehem. Dia sudah menyelesaikan makannya. Tangannya lantas terulur meraih tangan Ibu. Lalu menggenggamnya. "Bu, calon istri yang mau aku kenalkan sama Ibu itu ... Karina!" jelas Nakula kemudian."APAAA?! Kamu jangan bercanda Nakula! Ini ngga lucu! Kamu mau ngerjain Ibu kamu sendiri hah?" teriak Ibu di tempat duduknya. Seraya menarik tangannya yang digenggam Nakula. Matanya melotot seakan hendak keluar.Nakula menggeleng. "Aku ngga bercanda, Bu. Aku serius! Aku mencintai Karina. Dan dialah calon istriku, Bu!" tegas Nakula.Ibu nampak melongo. Pasti Ibu tidak percaya pada ucapan bungsunya itu. "Yang bener kamu, Naku! Jangan main-main! Kamu sadar sama apa yang kamu bilang?" hardik Ibu lagi.Nakula mengangguk pasti. Dia tanpa ragu meraih tangan Karina
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih