Selesai sarapan pagi ini. Aku masih duduk di kursi meja makan. Tidak buru-buru beranjak untuk menyesap rokok seperti kebiasanku. Selesai merokok. Aku akan segera meluncur ke cafe.Tapi pagi ini, aku putuskan untuk di rumah. Meski sudah dua hari dan menjadi tiga hari dengan hari ini. Aku tidak pergi ke cafe."Jangan terlalu sibuk, Dewa. Kamu itu Bos-nya. Kamu itu owner. Kalau kamu sibuk, apa gunanya kamu punya banyak pekerja dan juga kekuasaan kamu?""Harusnya kamu bisa agak santai dan menikmati waktu kamu lebih banyak bersama Davina di rumah. Kamu ke cafe kalau weekend saja, gunakan waktu kamu untuk membersamai Davina!""Aku saja ada di kantor sampai jam makan siang. Sisanya aku serahkan urusan kantor sama wakilku. Dari siang hingga malam, aku di rumah. Menemani Naga. Meski Naga juga punya pengasuh. Tapi aku ngga mau melewatkan masa tumbuh kembangnya, Dewa!"Petuah yang Alwina berikan saat kami bertemu di alun-alun kota kemarin lusa. Benar-benar membuka pikiranku. Pemikirannya sangat
"Uhukkk uhukkk!!!" Tenggorokanku langsung tersedak mendengarnya."Uhukk uhukk!" Masih terbatuk aku bergegas ke ruang makan untuk meneguk segelas air.Menikah? Nakula mau menikah? Dengan siapa? Lalu menyerahkan pengelolaan toko pada istrinya? Segala pertanyaan tiba-tiba memenuhi pikiranku.Setelah tenggorokanku rasa membaik. Aku kembali menemui Ibu yang masih bersama Davina. Menghenyakan bobot kembali di atas karpet bulu yang empuk.Aku berdehem. "Bu, emang Nakula ada bilang sama Ibu kalau dia mau me-nikah?" tanyaku hati-hati.Ibu mengangguk cepat. "Ada, Wa. Dia katanya udah punya calon istri," jawab Ibu seraya tersenyum."I-ibu tahu calon istrinya?"Ibu terlihat menggeleng. "Belum, Wa. Ibu belum tahu. Tapi secepatnya mau dia bawa ke rumah, mau dia kenalin sama Ibu!"Glek!Aku menelan saliva dengan susah payah. Semoga Karina cukup sadar diri dan sudah menjauh dari adik lelakiku itu. Dan semoga calon istri yang akan Nakula kenalkan pada Ibu bukanlah Karina."Ibu ngga dikasih tahu juga s
Istirahat makan siang. Aku meninggalkan cafe. Kupercayakan cafe kepada setiap kepala bagian.Kupacu Fortuner hitam menuju rumah untuk menjemput Davina serta Bu Titi. Aku sudah membuat janji dengan Alwina.Kami akan bertemu di arena bermain keluarga yang tersedia di sebuah pusat perbelanjaan. Sesampainya di depan bangunan rumahku, Bu Titi dan Davina sudah standby. Segera Bu Titi memasuki mobil dengan Davina yang digendongnya. Setelah mereka masuk, aku kembali memacu mobil membelah jalanan di siang hari ini.Pertemuan ini merupakan ajakanku pada Alwina. Entah kenapa, aku merasa senang bisa dekat dengan wanita sederhana itu. Tutur katanya lembut tapi juga tegas. Dia mampu menata hatinya yang remuk meski tak utuh kembali. Dia juga sudah mampu melupakan pengkhianatan Guntur dan Kharisma. Entah kenapa, rasanya aku betah berbincang lama-lama dengannya.Dua puluh menit, aku sudah sampai di tujuan. Memarkirkan mobil di basement kemudian menuju arena bermain keluarga.Benar saja. Alwina beserta
Aku mematut diri di depan cermin. Pukul tujuh malam ini aku sudah siap pergi ke rumah Ibu. Davina sudah tidur bersama Bu Titi. Saat bertemu di area bermain tadi. Alwina mendadak sakit perut dan memutuskan pulang lebih dulu. Sedangkan aku menunggui Davina yang masih betah bermain dan baru pulang jam lima sore tadi.Selesai bercermin aku segera keluar dari kamar. Bergegas ke lantai bawah dan keluar dari rumah menuju rumah Ibu.Pintu rumah Ibu terbuka lebar. Mobil Pajero putih milik Ibu tak ada di carport. Nampaknya Nakula memakai mobil Ibu untuk menjemput wanitanya.Segera aku bergegas ke dalam rumah Ibu. Berjalan menuju ruang makan dan menemui Ibu yang sudah ada di meja makan sana"Dewa, duduk duduk, Wa! Naku sebentar lagi kembali. Dia masih di jalan, jemput calon istrinya," terang Ibu.Aku duduk di sebelah kiri Ibu. Di meja makan, sudah tersaji rupa-rupa hidangan menggugah selera. Bi Yuyun—ART di rumah Ibu terlihat masih menghidangkan makanan yang lain. Padahal makanan sudah cukup ban
Mendengar hardikan Ibu. Nakula nampak susah payah menelan makanan dalam mulutnya. Sang kekasih dengan sigap menyodorkan segelas air untuk Nakula yang kesulitan menelan. Aku pun segera menghabiskan makanan ku yang tinggal."Ekheemm." Nakula berdehem. Dia sudah menyelesaikan makannya. Tangannya lantas terulur meraih tangan Ibu. Lalu menggenggamnya. "Bu, calon istri yang mau aku kenalkan sama Ibu itu ... Karina!" jelas Nakula kemudian."APAAA?! Kamu jangan bercanda Nakula! Ini ngga lucu! Kamu mau ngerjain Ibu kamu sendiri hah?" teriak Ibu di tempat duduknya. Seraya menarik tangannya yang digenggam Nakula. Matanya melotot seakan hendak keluar.Nakula menggeleng. "Aku ngga bercanda, Bu. Aku serius! Aku mencintai Karina. Dan dialah calon istriku, Bu!" tegas Nakula.Ibu nampak melongo. Pasti Ibu tidak percaya pada ucapan bungsunya itu. "Yang bener kamu, Naku! Jangan main-main! Kamu sadar sama apa yang kamu bilang?" hardik Ibu lagi.Nakula mengangguk pasti. Dia tanpa ragu meraih tangan Karina
[Ibu masuk IGD]Kukirim pesan singkat pada Nakula. Karena panggilanku tidak juga dia terima. Sesampainya di rumah sakit, Ibu segera dibawa ke ruang IGD. Supaya cepat mendapat tindakan. Aku rasa asam uratnya naik hingga penyakit hipertensi yang Ibu derita juga ikut naik karena Nakula malam ini.Aku mondar-mandir gelisah di depan ruang IGD. Bi Yuyun pun duduk tak tenang di kursi tunggu sebelahku. Kakinya yang bertumpu di lantai nampak tak bisa diam. Menggambarkan bahwa dia cemas dengan kondisi Ibu.Kurang lebih dua puluh menit. Pintu IGD akhirnya terbuka. Muncul seorang dokter pria dari balik pintu."Gimana Ibu saya, Dok?" tanyaku cepat. Pada Dokter ber-name tag Hilman ini. Terlihat dari wajahnya. Kurasa, dokter ini seusia denganku. Dokter di hadapanku ini nampak membenahi bagian depan jas dinasnya. "Asam urat Bu Utari naik. Begitu juga hipertensinya. Persendian di bagian kakinya yang paling terkena dampak. Malam ini, biar dirawat dulu. Besok sudah boleh pulang. Untuk sehari-hari nanti
"Eh, Pak? Ada apa?" tanya karyawan outlet yang aku belum tahu namanya. Namun dia pasti sudah tahu, kalau aku kakak dari Nakula."Sudah mau tutup?" Aku balik bertanya.Karyawan lelaki di hadapanku ini mengangguk cepat. "Malam minggu kita tutup agak akhir memang, Pak!""Saya ada perlu, boleh saya masuk?" tanyaku lagi."Silahkan, Pak." Karyawan itu menggeser tubuhnya dan membiarkan ku masuk ke dalam bangunan outlet.Netraku seketika awas dengan keadaan di dalam outlet ini. Tidak kudapati motor yang tadi Nakula pakai. Apa dia memang tidak kemari juga?Aku terus mengawasi keadaan di dalam outlet. Barang yang dijual ternyata banyak juga. Dari kaos berkualitas standar hingga premium. Semuanya tersedia di sini.Kepandaian Nakula dalam bisnisnya memang tidak diragukan lagi. Hanya saja otaknya itu sedang tidak sinkron karena mencintai perempuan seperti Karina. Padahal, dengan kesuksesan di usia mudanya. Dia bisa memilih perempuan yang lebih berkelas.Aku berjalan di antara rak serta kaus-kaus y
*****Hari Minggu sore. Kulajukan Fortuner hitamku meninggalkan parkiran kafe cabang. Seharian tadi, aku bergantian mengontrol tiga kafe cabang milikku yang tersebar di kota ini.Tidak ada masalah yang menimpa. Ketiga kafe cabang milikku beroperasi seperti biasa. Bahkan kulihat, pengunjungnya semakin meningkat saja.Sepulang dari kafe cabang ini, aku akan langsung ke rumah Ibu. Pagi tadi, Ibu sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Setelah memastikan Ibu beristirahat di kamarnya. Aku pun lantas pergi. Sudah kusewa perawat perempuan untuk mengurusi Ibu. Serta menitipkan juga Ibu pada Bi Yuyun.Pagi tadi, Nakula masih belum kembali ke rumah Ibu. Entah kemana dia. Pesan serta panggilan dariku pun tidak mendapatkan respon darinya.Sekitar empat puluh menit dari kafe cabang terakhir yang aku datangi. Aku pun sampai di sebrang bangunan rumah Ibu. Aku akan memastikan Ibu dirawat dengan baik oleh perawat yang kusewa.Menggeser pintu pagar, aku pun beranjak memasuki halaman. Kulangkahkan kak